Guru diberikan kehormatan dengan cara negara memberikan setiap tanggal 25 November sebagai hari untuk
menghormati profesi ini. Ini menunjukkan bahwa profesi guru dihargai dan
dihormati sebagai sebuah profesi yang membawa dampak baik bagi bangsa ini. Anak
bangsa akan menjadi cerdas dengan bimbingan para guru. Berkat pendampingan dan
pengajaran mereka para anak bangsa mempunyai harkat yang baik karena mereka
mempunyai pendidikan. Pendidikan yang mengngkat seseorang menjadi lebih
berharkat.
Guru dengan pendidikan tak bisa dipisahkan. Ibarat cabai
denagn pedasnya, gula dengan manisnya, dan garam dengan asinnya. Menjadi
senyawa yang tak terpisahkan. Ketika garam tak lagi asin maka dia tak lagi
disebut garam. Demikian juga guru. Bila guru tak lagi mendidik dia bukan lagi
sebagai seorang guru yang layak digugu atau ditiru.
Guru bukan lagi sebagai sebuah profesi dengan ijasah dan
pendidikan keguruan di belakangnya belaka.
Profesi guru bersenyawa dengan kepribadian guru tersebut. Profesi guru menuntut
seseorang menghayati profesinya dan sekaligus menjadikan kepribadiannya juga
layak disebut guru. Ada sejumlah persyaratan tak tertulis yang harus dipenuhi
seseorang ketika dia memutuskan untuk
menjadi guru. Ada integritas yang harus dipenuhi ketika seseorang menjadi guru.
Dalam fase kehidupan manusia seorang pendidik mempunyai andil
pada proses pembentukan karakter. Guru yang memiliki makna “digugu lan ditiru”
(dipercaya dan dicontoh) secara tidak langsung juga memberikan pendidikan
karakter pada peserta didiknya. Oleh karena itu, profil dan penampilan guru
seharusnya memiliki sifat-sifat yang dapat membawa peseta didiknya ke arah
pembentukan karakter yang kuat. (M.Furqon Hidayatullah, 2009).
Dari pendapat diatas,
kita dapat memberikan persepsi mengenai makna dari guru itu sendiri. Sebagai
guru yang dituntut untuk profesional, memberikan makna bagi sarjana pendidikan
yang akan menjadi penopang estafet mendidik anak bangsa untuk memberikan suatu
realita contoh dari diri mereka. Sikap yang ditunjukkan didalam diri mereka
kepada anak didik merupakan suatu bukti nyata dari hasil kombinasi etika dan
moral yang dimiliki oleh seorang guru. Jika rusak etika dan moral mereka
sebagai guru, maka rusaklah sikap mereka kepada anak didik dan tidak patut
dijadikan sebagai contoh dan panutan. Namun pertanyaannya adalah bagaimana
seharusnya yang dilakukan oleh seorang sarjana pendidikan sebagai guru dan
penerus estafet didalam mendidik anak didik? Inilah yang perlu dikaji secara
mendalam dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan saat ini dengan
kesejahteraan guru yang semakin meningkat.
Moral dan Etika merupakan bentuk
kontributif dari sikap yang ditunjukan oleh guru kepada anak didiknya. Jika
Moral dan Etika buruk, maka buruk juga sikap guru dimata anak didiknya, dan
terkadang anak didik menjadikan panutan didalam kehidupan sehari-hari mereka.
Untuk mencapai moral dan etika yang baik kepada siswa, sudah selayaknya sebagai
guru yang profesional, mampu mengkonstruksi kembali perencanaan pendidikan yang
akan dilakukan kepada anak didik. Untuk mendapatkan apresiasi yang baik dari
anak didik, maka terlebih dahulu guru membenahi moral dan etika mereka
dihadapan anak didik dan bukan menjadikan moral sebagai topeng. Karena jika
moral dan etika hanya dijadikan sebagai topeng, maka suatu saat moral buruk
akan kembali dan merusak tatanan sebelumnya sehingga menjadikan topeng baik
menjadi topeng buruk.
Sudah selayaknya moral dan etika guru sebagai wajah yang selalu tertanam didalam diri manusia. Bukan sebagai topeng yang sekali waktu bisa tergantikan denagn topeng yang lainnya.
Kurangnya respon guru terhadap anak didik didalam
pembelajaran atau sebaliknya memberikan andil didalam menurunkan moral dan
etika seorang guru. Terkadang ketika didalam proses belajar mengajar siswa
kurang memberikan apresiatif terhadap guru yang sedang mengajar didepan kelas,
misalnya ribut. Jika siswa ribut, terkadang guru sering lepas emosi, alhasil
memberikan citra buruk kepada guru tersebut dihadapan peserta didik. Siswa
menganggap guru killer, dan tidak mustahil dapat berimbas pada minat maupun
motivasi siswa terhadap mata pelajaran yang diajarkan oleh guru tersebut. Oleh
karena itu, selayaknya seorang guru mampu mengontrol emosinya pada saat keadaan
yang tidak terkendali.
Sebagai seorang pengajar yang akan memberikan materi
penlajaran kepada siswanya seharusnya seorang guu memberikan inovasi-inovasi
didalam pengajarannya dengan model-model pembelajaran dan pemanfaatan teknologi
yang menarik bagi siswa, tetapi tetap disesuaikan dengan kondisi sekolah dan
permasalahan siswa. Selain itu, sudah selayaknya seorang guru memberikan
apresiasi besar kepada siswa dengan apa yang dilakukan oleh mereka didalam
proses belajar mengajar serta menjadikan anak didik sebagai mitra didalam
proses pembelajaran bukan menjadikan anak didik sebagai pesuruh ataupun lainnya
yang bersifat memberikan kesenjangan dengan siswa. Peserta didik sebagai
subjek, bukan sebagai objek.
Menurunnya moral seorang guru juga dapat disebabkan oleh
kurangnya komunikasi antar guru. Dengan kurangnya komunikasi antar guru,
terkadang sesama guru tidak dapat mengembangkan inovasi pembelajaran yang
efektif dan efisien. Kurangnya komunikasi antar guru juga dapat berakibat pada
tidak terselesaikannya permasalahan yang terjadi pada anak didik, misalnya
prestasi belajar, dan permasalahan administratif. Terkadang juga dengan
kurangnya komunikasi antar guru memberikan sikap kaku didalam sekolah.
Dengan demikian, sangatlah penting seorang guru memberikan
sikap saling pengertian dengan guru lainnya, saling komunikatif, dan
menciptakan suasana yang kondusif didalam sekolah itu sendiri. Dengan semakin
komunikatifnya guru didalam sekolah dapat menguntungkan satu sama lain, yaitu
dapat melakukan penelitian terhadap permasalahan didalam pembelajaran kepada
anak didik. Sesama guru dapat saling membantu untuk memecahkan permasalahan
didalam pembelajaran.
Permasalahan internal dari guru itu sendiri juga memberikan
andil didalam mempengaruhi moral seorang guru. Kita tidak dapat memungkiri,
terkadang beberapa guru mencampuradukan permasalahan internal, baik itu permasalahan
keluarga maupun lainnya ke dalam kewajibannya didalam mengajar. Sehingga
terkadang membuat guru tersebut malas mengajar atau tidak respek dengan apa
yang dilakukan siswa didalam proses belajar mengajar. Alhasil guru bersifat
masa bodoh dan acuh tak acuh sehingga mengesampingkan makna pendidikan itu
sendiri. Sudah seharusnya seorang guru bersifat profesional dan mampu memilah
antara permasalahan internal dan proses belajar mengajar.
Kurangnya religiusitas yang berdampak pada kurangnya
kecerdasan spiritual seorang guru juga
turut member andil didalam penurunan moral dan etika dari seorang guru. Dengan
kurangnya kecerdasan spiritual, guru terkadang cepat emosi dan keluar dari
koridor-koridor yang semestinya. Namun sebaliknya, dengan adanya pendidikan religi
batasan-batasan yang perlu dilakukan oleh seorang guru dapat terwujud dan
meningkatkan moral dan etika pendidik.
Oleh karenanya, pihak sekolah dan dinas kementrian pendidikan
nasional perlu mengevaluasi tingkat moral dan etika dari seorang guru yang
menjadi tanggung jawab mereka. Dengan adanya evaluasi, diharapkan dapat
meminimalisir permasalahan yang mengakibatkan penurunan moral dan etika yang
dapat berakibat pada permasalahan-permasalahan krusial, seperti tindak asusila,
korupsi, dan tindak lainnya. Perlunya pemahaman moral-sosial dengan
pelatihan-pelatihan dan menejemen konflik juga diharapkan dapat meminimalisir
dekadensi moral dari para guru.
Guru sebagai seorang
pendidik yang memang lahir dan berkarya untuk pendidikan sudah selayaknya
menjadi seseorang yang memiliki
integritas yang tinggi. Integritas artinya selarasnya moral
dan etika dengan tidakan nyata yang
dilakukannya dalam kehidupan kesehariannya.
Peningkatan kualitas prestasi anak didik merupakan tanggung
jawab dari seorang pendidik. Pendidikan tidak hanya mencakup pada tersampainya
materi pembelajaran, tetapi juga tercapainya pendidikan karakter pada siswa
yang dapat dilihat dari kepribadian siswa keseharian. Moral peserta didik menjadi bagian dari tanggung jawab guru
sebagai pendidik. Jangan salahkan anak didik jika mereka sering mencontek,
karena pendidiknya pun acuh tak acuh dan tidak respon dengan baik atau buruknya
kegiatan yang mereka lakukan. Sudah selayaknya guru sebagai pendidik menjadi
model bagi peserta didik. Baik atau
buruknya moral seorang pendidik berpengaruh besar kepada anak murid yang
dididiknya. Pendidik adalah panutan untuk memunculkan potensi positif didalam
diri anak didik bukan sebaliknya.
(Ch. Enung Martina)