TABIR TIPIS KEMATIAN
Masih ingatkah akan cerpen saya tentang alam yang berjudul
Cerita Sebuah Pohon Tanjung? Cerpen ini diunggah 10 Februari 2013 sehari
sebelum saya ulang tahun ke-49. Cerpen itu berkisah tentang hati saya yang biru
dan lebam karena 2 pohon tanjung besar di rumah saya ditebang karena lahan di
dekatnya akan dibangun rumah, padahal pohon tanjung itu pohon peneduh di
pinggir jalan. Pohon tanjung itu sudah
berusia sekitar 18 tahun kala ia ditebang. Hati saya merana sampai rasanya
sakit saat saya bernafas. Kala itu saya benci terhadap orang yang akan jadi
calon tetangga saya yang membangun rumahnya disamping rumah saya denagn
mengorbankan pohon tanjung besar yang saya cintai.
Ini adalah lanjutan kisah sesudah 3 tahun lebih peristiwa itu
berlalu. Kami dengan penebang pohon
tanjung ini menjadi tetangga. Ada asam dan manis menjadi tetangga. Awalnya saya
agak canggung ketika bertegur sapa denagn keluarga ini. Apalagi saat saya
mengingat dua pohon tanjung, hati saya teriris lagi. Namun, dengan bergeraknya
waktu yang ajaib, kami menjadi tetangga yang baik. Anak-anaknya 3 orang anak
laki-laki mulai bermain ke rumah kami. Main bersama si bungsu, Abhimanyu. Terutama
anak nomor dua yang usianya selisih 1 tahun dengan bungsu saya. Nonton yutube bersama, main game bersama, naik
sepeda bersama, makan bareng, jatuh bareng, nakal bareng. Pokoknya menjadi
sahabat baik. Alvin, nama anak kedua tetangga baru ini hampir setiap hari main
ke rumah saya. Mungkin karena di rumah ada vasilitas internet dan laptop yang
bisa dijadikan dua anak generasi Z ini bermain. Jadilah kedua anak ini
menjadikan rumah saya jadi amrkas mereka.
Saya sendiri sudah jatuh cinta dengan Alvin. Anak laki-laki
yang rambutnya selalu dipotong plontos itu sangat pandai membawakan diri saat
bermain dengan Abhimanyu. Demikian pula kami orang tua, akhirnya mulai berperilaku
layaknya tetangga, saling mencicipi
oleh-pleh bila habis bepergian, berbagi masakan yang kami masak. Hati saya
sudah tidak biru lagi. Pohon tanjung masih ada dalam ingatan saya, tetapi sakit
hati mulai terkikis. Itu keajaiban waktu.
Kebetulan pula bahwa saya orang Sunda dan keluarga ini suami
istri dari kabupaten yang sama denagn saya. Bahkan, sang istri satu kecamatan
dengan saya. Jadilah kami sering mengobrol dengan bahasa Sunda yang sangat
langka saya gunakan di sini karena tak ada lawan. Begitulah kami akhirnya menjadi tetangga yang
baik.
Memang ada beberapa hal dari keluarga ini yang tak cocok
denagn prinsip saya, contohnya dalam hal
lingkungan dan pola pengasuhan anak. Namun itu hal lumrah karena tidak tiap
orang harus sama dengan apa yang saya mau. Dalam hal lingkungan keluarga ini saat
membangun rumah memindahkan batas jalan
umum untuk memperlebar batas tanahnya. Waktu itu salah satu dari warga blok
kami sudah ada yang mengingatkan, tetapi tetangga baru saya tak menggubriusnya.
Masih dalam hal lingkungan, keluarga ini
tidak membuat bak sampah dekat rumahnya, melainkan menempatkan pot besar
sebagai pengganti tempat sampah di samping bak sampah saya yang dibangun
permanen. Dalam pola pengasuhan anak, tak ada batasan waktu anak bermain di
luar atau ke rumah tetangga. Anak akan dibiarkan pulang sendiri. Terkadang saya
harus mengusir Alvin pulang karena sudah kelamaan di rumah saya.
Hal-hal demikian bukan menjadi pengahalang dalam bertetangga
itu pikir saya. Namun, untuk melebarkan batas tanah sempat menjadi bahan
pemikiran saya. Itu karena saya dibesarkan dalam budaya pertanian yang sangat
menghargai tanah, tanaman, dan air. Ayah saya almarhum pernah memberikan
petuahnya bahwa jangan pernah kita melebihkan batas tanah kita dengan mengambil
batas tanah orang lain. Itu pamali.
Saya masih ingat karena saat itu tidak puas dengan pernyataan pamali. Lantas saya bertanya : Kenapa?
Ayah saya bilang tanah itu menyangkut ‘hurip’
kehidupan. Semua mahluk bumi hidup dari tanah dan air. Karena itu kalau kamu
memindahkan batas, kamu sudah mencurangi
kehidupan. begitu penjelasan ayah saya. Pasti ada akibatnya. Waktu saya
bertanya apa akibatnya? Tapi Emak (ibu saya) bilang kalau pamali itu tak usah
dipertanyakan karena itu aturan leluhur yang juga diturunkan dari sononya.
Mereka membuat aturan itu berdasarkan pengalaman mereka. Jadi saya tidak
bertanya lagi.
Nah, kata-kata ayah saya jadi terngiang lagi ketika tetangga
baru saya memindahkan batas itu. Tapi karena banyak perkara lain yang menyita pikiran saya, hal tersebut tidak
berkepanjangan, dengan sendirinya hilang begitu saja.
Hingga pada suatu hari Kamis tanggal 18 Agustus 2018, saya
pulang dari tempat kerja melewati rumah tetangga baru saya sebelum masuk ke
pintu pagar saya. Saya melihat di gang sudah dipasang tenda. Saya lewat saja
karena pikir saya mungkin Papa Alvin mau menyelenggarakan pesta. Ketika saya
masuk, Abhimanyu sedang menonton chanel yutube kesukaannya, tiba-tiba
mengatakan, “Ibu, Alvin meninggal tadi pagi.”
Saya sontak melepaskan barang bawaannya saya dari tangan
saya, seolah petir di siang bolong berita itu masuk ke kepala saya. “Kenapa
Alvin, Abhi?”
“Alvin sudah dipanggil Tuhan. Tapi kamu gak usah sedih.”
Sudah pasti sedih dan kaget. Meskipun Abhimanyu berpesan begitu.
Masih terlihat di sudut mata saya, Alvin duduk berdua dengan Abhimanyu di kursi
yang sekarng diduduki Abhimanyu saat melihat chanel yutube atau bermain game
bersama. Masih terbayang di pelupuk mata kaus – celana setelan hijau ada strip kuning
di lengannya dengan gambar pahlawan power ranger di depannya. Di halaman rumah,
tepatnya jalan gang blok kami, Alvin akan main bola atau main kayu bersama
adiknya. Semuanya nyata di mata saya yang sekarang basah bersimabha air mata.
Tanpa mengganti seragam kerja berwarna biru ngejreng yang
melekat di tubuh saya, saya langsung menyambangi tetangga baru saya. Keluarga
inti Alvin tak ada di rumah. Mereka membawa jenazah Alvin ke kampung ibunya,
berarti ke daerah saya, untuk memakamkannya di sana. Yang menyambut saya adalah
paman dan bibinya yang dipercaya menjaga rumah.
Saya bertanya pada mereka penyebab Alvin meninggal. Mereka
mengatakan Alvin panas 3 hari, ini hari keempat ia meninggal. Tubuh Alvin
membiru saat meninggal, terutama di bagian kuku dan lidahnya. Saya kaget
sekali. Saya penasaran apa yang menyebkan kematian bocah ini. Namun, mereka menjelaskan
saat dibawa ke RS Medika, Alvin sudah meninggal sehingga tak bisa diketahui apa
penyebabnya.
Saat saya berbincang dengan teman sekerja saya yang sekaligus
tetangga saya selang satu rumah, topik kami
masih pertanyaan seputar penyebab kematian Alvin. Pak Jaka kawan saya
akhirnya menelepon adiknya yang seorang dokter. Adik Pak Jaka menyatakan kalau
dengan tanda seperti itu, kematian itu disebabkan kekurangan oksigen. Apakah
Alvin mempunyai penyakit asma? Saya tak berani menanyakan pada orang tuanya
hingga saat ini. Saya bertemu dengan mereka tak pernah menyinggung Alvin. Saya
tahu hal itu akan melukai mereka.
Saya dan Abhimanyu khususnya mendoakan Alvin saat doa malam
kami. Dua hari setelah kematian Alvin, berarti itu hari ketiganya Alvin tiada,
Abhimanyu minta sendiri untuk mendoakan Alvin. Kami berdoa dimualai dengan doa
Abhimanyu untu Alvin dan untuk supaya tidak mimpi buruk, melainkan mimpi indah.
Lalu doa saya lanjutkan juga masih untuk Alvin. Selesai kami membuat tanda
salib tanda doa berakhir, Abhimanyu tiba-tiba berkata, “Bu, kok kamar kita
wangi sekali. Apa ada minyak wangi yang tumpah? Coba Ibu cium!” Tapi saya tak
mencium apa pun. Sampai saya cari di seputar kamar bahkan ke luar dekat
jendela, saya tak menemukan apa-apa. Namun, Abhimanyu tetap ‘keukeuh’
menyatakan bahwa kamarnya wangi sekali, wangi parfum dengan aroma manis, begitu
ia mendeskripsikan.
Saya tidak diberi berkat untuk mencium wangi itu. Wangi itu
hanya khusus UNTUK ABHIMANYU SAJA. Ketika ia bertanya itu wangi apa, saya agak
sukar untuk menjawab pertanyaan itu. Saya ngarang bahwa mungkin itu wangi yang
dibawa angin ke rumah kita lalu mampir di kamarmu. Begitu saya menjelaskan.
Untung dia mengantuk sehingga pertanyaan tidak bersambung.
Setiap malam acara rutin saya bermeditasi (Zen Qi Sirkulasi)
untuk tujuan kebugaran tubuh. Biasanya dilakukan sesudah doa malam atau sebelum
rutinitas pagi. Pukul 3 .30 pagi saya bangun, lalu doa dilanjutkan meditasi.
Lumayan kalau ada masalah tidak langsung nyamber ke titik emosi negatif saya,
kepala jadi agak adem.
Penyebab kematian Alvin masih bersarang di otak saya. Karena
itu akhirnya saya bawa dalam meditasi pernafasan saya. Apa yang didapat
saudara? Ingatan kembali ke tahun 2013 saat tetangga baru saya membabat habis
pohon tanjung dan membuat hati saya biru lebam. Otak saya menghubungkan pohon
tanjung itu adalah sumber oksigen untuk tiap mahluk yang ada di sekitarnya.
Pohon adalah pabrik oksigen. Pohon ditebang artinya kita menghancurkan pabrik
oksigen. Artinya merampas oksigen dari mahluk
yang membutuhkannya. Alvin mati kekurangan oksigen. Bapaknya Alvin 3
tahun lalu menghilangkan sumber oksigen. Bapak Alvin mengubah batas tanah yang
merupakan jalan umum- hajat hidup orang banyak untuk memperluas tanahnya
sendiri. Sekarang hidup Alvin terenggut?
Dalam meditasi itu air mata saya menetes deras. Saat itu saya
sangat takut dengan hukum alam. Atau huku karma. Atau hukum sebab akibat. Atau
hukum pamali yang ayah saya katakan. Saya sangat takut. Otak neokortek saya
yang merupakan otak akal budi menepis hasil analisis otak reptilia dan otak
mamalia saya. Saya bertanya apakah pamali yang Ayah saya ajarkan itu benar
terjadi? Apakah benar ketika kita melakukan tindakan gegabah pada alam bisa
berdampak langsung seperti itu? Tapi kenapa kalau itu benar terjadi apda anak kecil yang tak
mengerti apa-apa?
Itu semua analisis di otak reptilia dan otak mamalia saya
saat meditasi. Salah satu Suhu pernah
menyatakan bermeditasi itu adalah proses otak untuk menganalisis, memilah,
mengungakp, menimbang, membangun, dan
akhirnya memaparkan. Namun, benar atau tidaknya, Walallahu Alam.
(Ch. Enung Martina)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar