Wawasan dari “Manuskrip Celestine” yang ada dalam novel The Celestine Prophecy karya James
Redfield:
(1) Wawasan Pertama,
atau “Massa yang Kritis”
Segala momen kebetulan yang terjadi memiliki tujuan yang
lebih besar dalam hidup ini. Kita memiliki pilihan bebas untuk memaknai momen
kebetulan sebagai sebuah isyarat untuk menentukan langkah selanjutnya, atau
mengabaikan hal itu sepenuhnya. Yang paling penting adalah bahwa kita harus
memeriksa setiap momen kecil yang terjadi dalam hidup harian, bahwa hal itu
terjadi karena suatu tujuan, bahwa hal itu bisa saja merupakan isyarat atau
semacam panduan untuk melangkah ke depan. Kita juga harus bisa menyadari momen
kebetulan dalam kehidupan seseorang. Ada semacam kesadaran spiritual baru yang
perlahan bangkit dan terjadi di sekitar kita. Ini adalah pengalaman personal
sekaligus kolektif dan sebuah perjalanan yang dirangsang oleh momen kebetulan
misterius.
(2) Wawasan Kedua, atau
“Kekinian yang Lebih Panjang”
Kita harus sadar bahwa manusia telah berevolusi secara
kontinuitas dari bentuknya yang paling sederhana di masa lalu. Perubahan
terus-menerus terjadi dalam kehidupan manusia. Kita berkembang menjadi pribadi
yang lebih dewasa dan sadar secara spiritual. Kita saat ini berada dalam era
teknologi yang menawarkan kenyamanan dan keamanan material dalam bentuk maya.
Keadaan ini berkembang karena kita terus-menerus mengajukan pertanyaan tentang
kebenarannya kepada diri sendiri. Kita, pada satu titik, mengalami kegelisahan
eksistensial tentang tujuan hidup ini. Dengan pemikiran semacam ini, dan
keinginan untuk tetap mempertanyakan segalanya serta memelihara hasrat untuk
terus mencari makna hidup, kita akan berkembang menuju kesadaran spiritual yang
lebih baik. Kita bakal mengalami peningkatan pemahaman tentang sejarah dunia
dan evolusi manusia. Sementara kemajuan teknologi merupakan langkah penting
dalam evolusi manusia dan bisa dikatakan telah memberikan banyak “manfaat”. Kesadaran kita terhadap berbagai macam momen
kebetulan yang terjadi dalam hidup harian akan menuntun kita menuju tujuan
kehidupan yang sebenarnya di planet ini dan memahami sistem “kekacauan alamiah”
semesta. Kita harus hidup dengan pikiran yang tetap terbuka dan terus berotasi (berjalan-bergerak)
dengan hati yang sekuat batu karang
untuk siap menghadapi apa pun dan ikhlas menerima segala konsekuensinya.
(3) Wawasan Ketiga,
atau “Masalah Energi”
Kita harus menyadari bahwa semua makhluk hidup memiliki medan
energi. Tanaman, manusia, hewan, atau makhluk hidup apa pun, memiliki energi
tertentu dan kita bisa melatih diri untuk merasakan atau bahkan melihat
pancarannya. Kita bisa memfokuskan energi kita pada hal-hal yang kita inginkan,
dan vice versa (diposisikan
sebaliknya). Dengan setiap upaya untuk memfokuskan energi kita ke arah atau
keberadaan tertentu, kita bukan hanya menciptakan lingkungan hidup yang
kondusif untuk aksi semacam itu, melainkan juga memengaruhi sistem energi lain
untuk mewujudkannya. Kita harus sadar bahwa kita tidak hidup di dunia material
dan semesta materialistis belaka, namun juga pada dimensi energi yang dinamis
dan sakral.
(4) Wawasan Keempat,
atau “Saling Berebut Kekuasaan”
Manusia dan semua makhluk hidup adalah energi. Segala hal
yang kita berikan kepada orang lain dan apa-apa yang kita terima dari orang
lain merupakan energi. Kita hanya sedikit memahami fakta bahwa kita adalah
sumber energi yang cukup hebat bagi Bumi. Kita gagal mengenali potensi
tersembunyi untuk menyalurkan energi atau menerima energi dari sumber lain.
Kita harus sadar bahwa kita menghidupkan energi orang lain dengan jumlah yang
sama dengan yang kita berikan pada mereka. Kita terkadang terputus dari energi
kita sendiri dan akhirnya merasa hina serta depresi. Terkadang kita mencoba
untuk mendapatkan energi secara agresif, dengan menyerang atau menghina orang
lain, dan hal ini mengganggu keseimbangan energi orang lain. Saat kita
mendominasi orang lain dengan cara berbicara kasar atau melakukan aksi menindas
seenaknya, kita sebenarnya sedang berusaha merebut-paksa energi orang lain dan
menciptakan ketidak-seimbangan. Kita terbiasa bersaing untuk memperebutkan
energi lebih banyak untuk kepentingan diri kita sendiri dengan mengorbankan dan
menindas orang lain, dan inilah yang asal-muasal terciptanya konflik.
(5) Wawasan Kelima,
atau “Pesan Para Penganut Mistik”
Kita harus sadar bahwa manusia punya kecenderungan /
keranjingan untuk mengontrol orang lain atau apa pun. Kita harus menyadari
bahwa penyebab sebenarnya dari ketegangan, keresahan, kekerasan, kegelisahan,
kecemasan, masalah dan konflik mental adalah karena “drama pengendalian mental”
yang kita berikan (atau terima) kepada (atau dari) orang lain. Kita harus
sepenuhnya menyadari bahwa energi negatif yang dihasilkan oleh “drama
pengendalian mental” ini tidak memberikan manfaat apa pun bagi kita atau orang
lain di sekitar kita. Saat kita bisa terhubung dengan kejernihan batin kita,
maka ketegangan, keresahan, kekerasan, kegelisahan, ketidak-amanan, dan
emosi-emosi negatif lainnya akan lenyap. Selanjutnya kita bisa merasakan
keringanan dan kecerahan hati, yang bentuk tertingginya digambarkan sebagai
kemurnian cinta dan kasih sayang.
(6) Wawasan Keenam,
atau “Menjernihkan Masa Lalu”
Kita harus mulai membentuk kesadaran bahwa hidup ini memiliki
tujuan dan makna. Kita punya impian untuk dipenuhi dan lembaran takdir yang
harus ditulis sendiri. Tidak ada satu pun yang hidup tanpa tujuan, entah itu
dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dan hidup adalah tentang menemukan makna
dan memenuhi tujuannya — menghidupi hidup: amor
fati! Kita semua memiliki “misi spiritual” serta terus-menerus melakukan
pencarian tujuan dan makna di dalamnya. Kita harus tetap terhubung, untuk
menyelaraskan pikiran dan batin, setiap saat. Kita harus sebisa mungkin
menjernihkan masa lalu dan tetap memiliki koneksi dengan diri kita sendiri.
Kita harus bisa menyadari bahwa saat kita berada dalam tekanan yang tidak
mengenakkan, kita cenderung kehilangan hubungan dengan pikiran dan batin kita
sendiri, dan hal ini membuat energi kita bagai getah dibawa ke semak. Kita
menjadi rentan untuk dikontrol oleh “drama pengendalian mental” orang lain atau
energi kita sepenuhnya diserap dan direbut-paksa oleh orang lain.
(7) Wawasan Ketujuh,
atau “Melibatkan Arus”
Beberapa tindakan dan pemikiran kita dalam hidup ini
dirangsang dan dipandu oleh faktor eksternal. Ada begitu banyak pertanda,
pesan, indikasi, momen kebetulan, dan semacamnya yang harus selalu kita
perhatikan dengan cermat. Jika kita tahu dan paham tentang “misi” kita dalam
hidup personal, maka kita akan dituntun menuju pemenuhan takdir dengan
pemikiran, pesan, mimpi, intuisi, dan lain-lain. Semua ini mengarah pada
situasi saat intuisi kita diselaraskan dengan orang lain dan kebijaksanaan
bakal mengekor di belakangnya. Pikiran dan hati kita akan segera mengetahuinya
jika kita terbuka untuk menerima arus pesan semacam itu.
(8) Wawasan Kedelapan,
atau “Etika Antarpribadi”
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang kita ajukan bisa
muncul dalam berbagai bentuk. Kita harus menyadari bahwa orang-orang tertentu
yang kita jumpai dalam hidup ini memiliki jawaban untuk beberapa pertanyaan
kita, dan vice versa — serta
perjumpaan semacam ini bisa terjadi karena kita terus menjaga api hasrat
pencarian tetap menyala. Kita harus sadar bahwa orang lain bisa memberikan
jawaban yang selama ini kita cari. Oleh sebab itu, kita harus terbuka kepada
orang lain yang pada gilirannya akan bisa membantu kita — semacam timbal-balik
atau aksi-reaksi yang saling menguntungkan dari simbiosis mutualisme. Kita bisa
meningkatkan frekuensi perjumpaan semacam ini di dalam hidup harian kita dan
menyuburkannya dengan kekayaan pengetahuan. Kita harus berhati-hati untuk tidak
kehilangan hubungan dengan pikiran dan batin kita sendiri saat terseret ke
dalam persoalan yang serius atau ketika terlibat dengan / kecanduan terhadap
orang lain. Anak-anak harus diperlakukan sebagai individu yang utuh dan harus
dihormati apa adanya. Pengetahuan sejati harus diberikan kepada anak-anak
dengan metode pembelajaran yang tulus, jujur, dan sesuai dengan pengertian
mereka.
(9) Wawasan Kesembilan,
atau “Kebudayaan [Baru] yang Muncul”
Kita bergerak menuju tingkat kesadaran yang lebih tinggi dan
mulia secara spiritual. Hal ini terjadi di mana-mana. Kita harus memahami bahwa
makhluk hidup [khususnya umat manusia] sedang berada dalam perjalanan menuju
kehidupan yang lebih ideal, yang selaras secara sempurna antara satu sama lain,
dan dunia ini pada akhirnya akan berkembang menjadi Taman Eden. Evolusi dan
pertumbuhan teknologi akan mendorong manusia mencapai keadaan mandiri utopis di
mana tidak ada kekhawatiran mengenai kenyamanan dan keamanan dalam hidup.
Kemajuan teknologi semacam ini akan membawa umat manusia ke kondisi energi yang
lebih tinggi dan menjadikannya makhluk yang lebih spiritual. Hal ini akan
mengarah pada suatu utopia di mana siklus kelahiran dan kematian bakal berakhir
sepenuhnya dan tubuh fisik akan menyatu dengan dimensi spiritual: mengabadi.
CATATAN:
Mohon kita mengingat bahwa The Celestine Prophecy adalah sebuah novel, sebuah karya sastra
fiksi. Ada banyak orang mengapresiasi sebuah karya sastra berbeda-beda
tergantung dari pengetahuan awal yang dimiliki pembaca dan juga pengalaman yang
dimilikinya. Redfield berani mengungkapkan gagasannya tentang kesadaran
spiritualitas dalam sebuah novel yang menarik untuk dibaca. Secara keseluruhan,
novel ini berhasil menginspirasi — sekaligus juga membingungkan (atau
mengecewakan bagi orang tertentu). Sesungguhnya hidup memang bersinggungan
dengan suatu perkembangan spiritual yang personal dan memesona. Sebuah perkembangan yang sampai saat ini
belum mampu dijelaskan sepenuhnya oleh sains, filsafat, atau agama.
Hal yang paling menawan dalam novel ini adalah sisipan
pesan-pesan sederhana namun konkret demi kehidupan hari ini yang lebih baik dan
lebih membahagiakan: berbagi kasih sayang dan cinta, menumbuhkan simpati dan
empati, melestarikan alam, melakukan meditasi, mengurangi hasrat konsumtif,
menjadi vegetarian, dan merespons ketidak-adilan dengan perlawanan tanpa henti.
Pada bagian menjelang akhir cerita, salah satu karakter menjelaskan
hilangnya peradaban suku Maya beserta seluruh kebudayaannya dari Bumi karena
mereka berhasil memperluas dunia fisik dan menyeberang ke dunia spiritual dengan
meningkatkan vibrasi energi. Namun, ini tidak berarti menjelaskan lenyapnya suku
Maya tanpa jejak dari planet ini karena gagasan eksodus massal yang transenden
dan indah seperti itu. Hilangya suku Maya masih belum ada bukti atau indikasi
konkret dan ilmiah. Atau mungkin saya belum menemukan penjelasan yang masuk
akal (menurut saya) yang tak mudah menerima hal yang tidak logis.
(disarikan dari novel The Celestine Prophecy karya James Redfield oleh Enung Martina)