Pagi ini pukul 5.29, pagi yang cerah di hari Jumat 31 desember 2021. Penghujung hari di tahun ini. Penulis kebelet ingin membuang air besar. Jadilah duduk manis di kloset sambil mengisi bak air yang kosong di kamar mandi atas yang langsung terhubung dengan tempat penjemuran pakaian. Sambil duduk manis menunggu sampah ekresi keluar dari tubuh, biasanya pikiran akan belayang ke mana-mana.
Pembelayangan pikiran kala penulis duduk di kloset saat itu, teringat akan proyek membuat rumah sederhana di kampung untuk tempat tidur sanak keluarga saat mudik karena rumah induk sudah tak muat bila para anak dan cucu pulang. Proyek ini adalah proyek nekat di masa pandemik yang bukan keadaan mudah. Ditambah lagi karena penulis sekarang sudah pensiun. Namun, puji Tuhan dipekerjakan kembali sebagai guru honor di tempat penulis mengajar. Benar-benar tantangan, bukan?
Kemarin Bayu, sang keponakan me-wa untuk melaporkan proyek tersebut. Yang menjadi anemer proyek itu adalah Mang Dadang, ayah Bayu, suami adik bungsu penulis. Ternyata masih memerlukan dana untuk penyelesaian: memasang ubin, memasang kaca, dan membereskan hal-hal kecil. Pastinya itu berarti upah tukang dan konsumsi tukang. Sementara itu, uang yang dianggarkan sudah tekor. Pembayaran untuk tukang minggu ini sudah mengambil tabungan sekolah si bontot untuk menggenapinya. Akhirnya diinfokan ke Bayu untuk stop dulu proyeknya. Ditangguhkan sementara untuk menyusun strategi, menghimpun energi, dan mengupayakan dana.
Penulis tak yakin akan mencari dana ke mana untuk menyelesaikannya. Pastinya tak akan pinjam dana ke pinjol. Pinjol bukan solusi yang cerdas, tapi solusi yang membunuh. Pinjam ke bank juga tak menolong karena usia penulis sudah bukan usia produktif lagi. Pinjam saudara? Yakin? No. Tidak! Koperasi kantor masih belum selesai pinjamannya untuk 13 bulan ke depan. Credit Union gereja? Nama penulis sedang dipakai si kakak, anak sulung yang baru ambil dana untuk menggenapi dana rumah pertamanya. Pinjam Mas Aga, anak kedua penulis. Juga tidak karena baru masih belajar untuk usahanya. Nah, lo! Bingung kan?
Keputusan menghentikan proyek adalah hal yang realistis. Maka itulah yang dilakukan penulis. Harapannya nanti tahun 2022 akan ada rejeki lain yang akan tiba.
Pembaca tahu bahwa penulis ini bukan tipe emak-emak yang duduk manis, atau tipe yang mengeluh panjang pendek, atau tipe yang pasrah pada keadaan. Meski sudah diputuskan untuk menghentikan proyek, otak tetap mencari cara dan solusi jalan keluarnya.
Duduk di kloset sambil menyalakan air mengisi bak. Bak mulai terisi penuh. Air bening mengalir deras dari selang yang berasal dari toren besar bergambar pinguin dengan warna oranye ngejreng.
Air terus mengisi bak yang berupa ember besar seukuran 50 liter. Selang dengan lancar mengalirkan air karena pompaan dari energi listrik yang dipasang. Karena air sudah setengah bak, maka penulis menghentikan aliran listrik untuk menarik air dari toren tersebut. selang masih terus terpasang. Air yang semula mengalir deras, tiba-tiba juga mengecil. Namun sesuai dengan ilmu fisika air yang mengalir dari toren melalui selang tadi, sama sekali tidak berhenti. Mengecil memang. Air di bak perlahan meninggi. Air di toren penampungan menyusut karena mengalir ke bak. Tiba-tiba terdengar bunyi: Tek!! Suara otomatis mesin pompa air menyala dan mengguyurlah air deras dari dalam bumi yang dihubungkan dengan pipa dengan bantuan mesin pompa listrik. Dua lelaki di rumah sudah menyetel pompa tersebut agar saat air di toren surut pada ukuran tertentu dengan segera air akan mengalir. Asal mesin sedang dalam keadaan on. `
Pikiran saya yang lagi belayang pada proyek rumah sederhana di kampung, tiba-tiba tersadarkan. Tersadarkan akan aliran energi yang otomatis. Aliran air dari bawah bumi sana, ke toren penampungan, lalu ke bak penampungan. Pada kala air di toren itu surut, otomatis air mengalir mengisi toren kembali. Ada beberapa persyaratan agar air itu mengalir: airnya ada, ada alat pemicu (pompa listrik) untuk menariknya naik, ada pipa dan selang sebagai tempat jalannya air, ada knop listrik, ada energi listrik, pastinya juga ada wadah untuk menampung, dan syaratnya yang penting alat dalam keadaan on.
Prosesnya mengalirnya air di rumah penulis menjadi analogi untuk mengalirnya rejeki, mengalirnya energi dalam hidup penulis.
Energi (boleh sebut rejeki) akan mengalir-datang pada kita juga ketika persyaratannya terpenuhi. Rejeki akan selalu ada seperti bumi selalu menyediakan air. Menurut ilmu alam, air di bumi akan tetap ukurannya sekian, hanya nanti air itu akan ada yang berubah bentuk ke salju, es, uap, dan air mengalir. Air itu tetap segitu-gitu saja ukurannya dari sejak bumi dicipta. Rejeki juga begitu, akan tetap ada dan mencukupi semua orang yang hidup di bumi. Artinya jangan kuatir akan rejeki. namun, ada syaratnya untuk bisa mengalir. Syaratnya sama dengan air: ada daya yang mengalirkannya. Itu artinya ada upaya dari kita dengan bekerja (bukan dengan korupsi atau menipu). Kalau kita tak ada upaya ya tak akan ada rejeki itu. Jangan curang dengan cara menipu atau korupsi karena pasti di ujung akan berakhir tragis.Rejeki kecil, tapi halal, kudus. Itu akan lebih bermanfaat daripada besar tapi haram. Becik setitik. Sedikit tapi kudus! Bersih!
Syarat yang lain bahwa ada wadah yang tersedia untuk menampungnya. Rejeki akan ada bila kita menyediakan diri untuk menerimanya, menggunakannya dengan benar, memakainya dengan bijak. Agar wadah kita kosong, dan siap diisi, kita juga berbagi rejeki yang kita dapat kepada orang yang juga membutuhkan. Biar ‘wadah’ kita dalam keadaan siap diisi seperti toren yang surut airnya dan saat titik kesurutannya pas, maka mesin akan berbunyi: Tek! dan rejeki menggelontor mengisi toren kita. Tapi kalau torennya tak surut-surut, maka bunyi Tek! tak akan pernah ada.
Analogi mesin air selalu on: Kita juga harus dalam keadaan on, terhubung dengan Sang Sumber rejeki, Sang Pemberi. Mempercayai bahwa Sang Pemberi akan memberikan rejeki dengan murah kepada kita. Mengandalkan belas kasih Sang Pemberi. Mempercayai-Nya.
Maka inspirasi kala duduk di kloset, membuat saya akan melanjutkan proyek rumah sederhana ini dengan sebentar meminjam dulu tabungan pendidikan si bontot. Saya yakin, ke depan toren saya akan terisi lagi, dan bak penampungan tabungan si bontot akan terisi lagi. Saya yakin dan percaya. Amin! Ya Tuhan dan Allah-ku. Memang kita dituntut untuk beriman di zona yang tak nyaman. Jangan hanya bermain dan beriman di zona aman dan nyaman!
(Ch. Enung Martina, Penghujung Tahun 2021)