Selasa, 03 Agustus 2010

DIA DATANG DI USIA SENJAKU

Ch. Enung Martina


Pembaca pasti kenal Sarah atau Sarai. Dia adalah istri Abraham. Kita mengenalnya dalam kisah Perjanjian lama. Pasutri Abraham-Sarah sudah lama menantikan keturunan dalam perkawinan mereka. Bagi mereka, anak sangat penting karena budaya pada masa itu menuntut hal itu dan juga untuk pembuktian janji Allah yang akan menjadikan Abraham mempunyai keturunan sebanyak bintang-bintang di langit dan pasir-pasir di pantai .

Allah memberikannya pada saat mereka sudah berusia tua, yang sepertinya tak mungkin lagi mempunyai keturunan kalau dilihat dari kaca mata manusia. Namun, dari kaca mata Allah berbeda. Dia menyatakan kepada kita semua bahwa janji-Nya pasti terjadi dan tak ada sesuatu yang mustahil bagi-Nya. Saat mempunyai anak, Abraham berusia lebih kurang 100 tahun pada saat Ishak lahir dan sarah dikatakan dalam perjanjian Lama, ia telah mati haid.. Memang bukan usia yang lazim untuk mempunyai anak.

Pada zaman kita hidup sekarang ini, pasutri yang berusia seperti mereka yang diberi keturunan sepertinya tidak ada. Usia seperti itu, manusia zaman sekarang sudah sangat jarang atau bahkan sudah berpulang ke Rahamatullah.

Kisah kehamilan di usia senja seperti kisah Abraham-Sarah memang masih ada meski usia tak setua meraka. Dan salah satunya yang dipercaya untuk melakoninya adalah saya. Tentunya dengan suami tercinta, Bob. Usia saya 46 tahun dan suami 55 tahun. Usia kami memang tidak setua Abraham-Sarah, tetapi usia kami juga tak lazim lagi untuk memperoleh anak di masa sekarang.

Bagi diri saya terutama, kehamilan ini merupakan tugas dari-Nya yang tidak mudah. Bisa dikatakan berat. Namun, saya tahu saya yang terpilih. Saya bangga karena mendapat kepercayaan ini. Awalnya saya bertanya : apakah saya layak untuk mendapatkan kepercayaan ini? Mengapa roh yang menjelma menjadi daging ini memilih hidup di rahim saya? Mengapa ia memilih saya sebagai ibunya? Mengapa ia memilih waktunmya sekarang pada saat kami di usia senja? Mengapa ia tidak hadir pada saat usia kami (khususnya saya) normal untuk melahirkan? Dan ada banyak ‘mengapa’ yang lain yang muncul pada kepala saya.

Jawaban dari pertanyaan yang bertubi-tubi itu hadir dari seorang perempuan Muslimah, bernama Ibu Kemi, salah satu pegawai tata usaha di SMA santa Ursula BSD. Dia berkata: Kun fayakun. Kira-kira arti menurut terjemahan bebasnya adalah.; maka jadilah apa yang dikehendaki-Nya. Ya! Itu adalah jawaban dari segudang mengapa yang ada pada saya.

Kisah kehamilanku ini baru kusadari betul pada saat Pekan Suci 2010, tepatnya Kamis Putih. Sebelunya saya menyangka saya mengalami gejala menjelang pra menopose. Hari itulah hari saya memastikan pada dokter. Takjub dan terkejut mendengar berita suakcita itu.

Saya membawa berita sukacita itu kepada keluarga, saudara, dan teman-teman. Ada banyak reaksi ketika berita itu sampai pada pendengarnya. Anak laki-lakiku terbengong-bengong tak percaya karena pada usianya yang ke-16 akan mempunyai adik baru. Berarti kebungsuannya akan berakhir. Anak perempuanku yang berada jauh dari rumah dan berusia 19 tahun kontan terpekik dan juga terbengong bahwa ibunya yang sudah tua ini hamil lagi. Tak kalah kehebohan terjadi pada teman-teman kantor dan juga gereja. Ada yang terharu dan menitikkan air mata, ada yang spontan memelukku dan menciumku, ada yang terdiam dan terpana, ada yang tertawa tak henti (apakah menertawakan seperti reaksi Sarah yang juga tertawa mendengar berita bahwa dirinya akan hamil?), ada yang menyindir, ada yang berkoar-koar jangan sampai kehamilan seperti ini terjadi pada dirinya dan pada yang lain, dan bahkan ada yang mengatakan: ini sudah salib dan nasib saya, dan ada banyak reaksi lainnya.

Semua reaksi itu saya hayati sebagai ungkapan syukur teman-teman juga seperti layaknya saya bersyukur atas pemberian ini. Juga sebagai bentuk perhatian dari mereka. Dari semua itu saya belajar untuk selalu siap menerima aneka reaksi dari berbagai orang, baik yang mendukung atau pun tidak. Sungguh semuanya menjadi hal yang menarik yang layak saya renungkan.

Tinggal penantian panjangku untuk menunggu ia lahir di dunia ini. Setiap saat saya betul-betul menikmatinya. Setiap reaksi dan perubahan tubuhku: badan yang melar, perut yang membuncit, kulit yang meregang, kaki yang membengkak, rasa pegal, dan aneka rasa tak nyaman lainnya. Saya menikmatinya karena ini adalah pengalaman langka yang tidak terjadi pada setiap orang. Demikian juga bentuk perhatian dari orang-orang di sekitarku. Semuanya saya nikmati dan saya syukuri.

Dalam penghayatanku ini muncul rasa penasaranku: akan menjadi apakah anak ini kelak? Apa rencana-Nya untuk anak ini? Semuanya menjadi sebuah misteri yang akan terkuak dalam serangkaian perjalanan panjang dan waktu yang akan terus berlalu. Kehadirannya dalam rahimku juga misteri. Sebelumnya saya sudah merencanakan ikut ziarah Eropa pada september 2010 bersama teman-teman dari St. Ursula BSD. Kami sudah mulai menabung sejak Januari 2008. Memang dokter berkata saya tak apa-apa pergi. Tadinya saya mau nekad pergi. Namun, saya memutuskan untuk tak pergi karena pada saat ziarah itu berlangsung, umur anak saya baru 1 bulan di luar. Menyesal tak pergi? Jujur, ya sih. Kapan lagi saya bisa pergi ziarah ke Eropa kalau bukan bersama teman-teman seyayasan. Alasannya karena harga ziarah di luar sana mahal. Kami kan mendapat subsidi dari yayasan kami. Harga sangat miring. Dicari di mana pun pasti tak akan ada.

Karena saya berusaha untuk melihat bahwa semua yang dirancang-Nya pasti sesuatu yang baik dan bukan kebinasaan, maka saya rela untuk tidak pergi ikut ziarah Eropa. Tuhan memberikan yang sangat berharga pada saya yaitu kehadiran anak laki-laki dalam rahimku ini.

Akhirnya semua peristiwa yang saya alami selama kehamilan ini membawa saya kepada permenungan bahwa : Hidup ini memang misteri. Rancangan-Nya ada di atas rancangan manusia. Tak ada yang mustahil bagi Allah. Selain itu permenungan saya juga membawa kepada beberapa pertanyaan reflektif: Apakah saya mendasarkan semua hidup saya pada kehendak-Nya atau kehendak saya? Sudahkah saya melewatkan hidup kita ini dengan sedikit memberi makna di dalamnya? Adakah saya memberinya arti dengan melakukan hal-hal baik tanpa pamrih? Sudahkah saya melaksanakan kewajiban saya dengan iklas? Adakah saya menahan keluhan sebatas tenggorokan saja agar tidak membuat segalanya menjadi negatif? Sudahkah saya menjadi pendukung untuk orang-orang di sekitar saya dan bukan menjadi penghalang? Apakah perkataan saya yang keluar sudah terkontrol dengan baik sehingga tidak menyinggung orang lain? Mampukah saya memahami orang lain dan bukan orang lain yang harus memahami saya? Bisakah saya memberi maaf dan pengampunan pada diri saya sendiri atas suatu kesalahan yang saya lakukan pada orang lain atau juga kebalikannya?

Kehamilan di usia senja membuat saya lebih banyak melihat dan merasa dengan batin. Hal ini tentunya membuat saya menjadi lebih banyak merenungkan hal yang dilihat dan dialami. Perubahan fisik pada kehamilan ini meyadarkan bahwa saya memang mahluk kedagingan yang benar-benar merasakan berbagai gejala kehamilan. Saya menikmati denyut jantungnya, gerak-gerak halus, hingga gerak-gerak yang kadang terasa menyakitkan. Saya juga menyadari bahwa saya ini mahluk yang mempunyai jiwa dan perasaan sehingga nyata merasakan suka-duka dan aneka rasa lain.

Saya sudah lupa semua gejala kehamilan dan juga perubahan pada saat kehamilan karena waktu 16 tahun lebih adalah waktu yang sudah berlalu begitu lama. Sekarang semua nyata kembali hadir dalam hidup saya. Semua pengalaman ini terangkum dalam ungkapan doa yang dipanjatkan dari hari ke hari. Sungguh ajaiblah perbuatan tangan-Nya. Terpujilah Allah sepanjang segala masa. Saya berharap untuk kesehatan, rejeki, juga perjalanan hidup di masa sekarang dan masa depan yang lebih baik. AMIN.