Rabu, 05 September 2012

INSPIRASI DARI IRI HATI


Ch. Enung Martina

Terdengar aneh dan janggal  bukan judul di atas? Memang. Karena biasanya hal yang negatif termasuk iri hati,  mendatangkan hal yang buruk. Namun, kali ini saya mau melihat dari sisi yang lain. Sebetulnya ketika menulis tulisan ini, saya belum 100% terbebas dari perasaan tersebut. Mari kita melihatnya.

Tuhan selalu bekerja dengan cara yang tak pernah kita duga. Segala peristiwa yang tak enak, bahkan teramat buruk, tidak bisa kita lewati tanpa penyertaan-Nya.Ketika kita mencoba untuk menjadi manusia yang berkualitas, jangan pernah abaikan peran Tuhan dalam setiap prosesnya. Proses perbaikan diri kadang melibatkan banyak pihak dan banayk hal. Kita tidak hanya dituntut untuk untuk mengandalkan diri sendiri, tetapi juga mengandalkan sahabat, memiliki wawasan yang luas untuk mengimbangi segala perkembangan yang terjadi di sekitar kita, menjunjung tinggi nilai-nilai hidup, dan jangan lupa kita juga harus meyakini bahwa Tuhan ada untuk memberi petunjuk yang terbaik.

Tuhan tahu pasti apa yang kita butuhkan dan apa yang terbaik bagi kita. Ketika kita mengalami kegagalan, mungkin saat itu belum saatnya kita berhasil, atau hal itu bukan yang terbaik bagi kita. Proses penyerahan diri memang bukan sesuatu yang mudah, bahkan terkadang dalam prosesnya disertai dengan kemarahan.

Dalam peristiwa tertentu saya marah terhadap diri saya yang lalai untuk melakukan sesuatu. Saya menyalahkan diri saya. Pada peristiwa lain saya menyalahkan orang lain, dan bahkan saya juga menyalahkan Tuhan. Terkadang saya merasakan bahwa hidup ini begitu tak adil. (Memang siapa bilang bahwa hidup itu adil?) Ada banyak pertanyaan sekaligus keraguan dalam diri saya. Lantas seorang teman pernah berkata bahwa hidup bukan untuk dipertanyakan tetapi untuk dijalani. Benar juga sih, tetapi sekali-sekali bertanya boleh kan?

Peristiwa tertentu saya begitu iri hati terhadap orang lain. Keirihatian saya terutama bila teman saya dulu, atau sahabat saya dulu, atau mantan pacar saya dulu, ternyata hidupnya lebih sukses (menurut anggapan dan penglihatan saya)  daripada saya. Lantas saya berkata dalam hati: kurang ajar dia! Kenapa dia lebih berhasil daripada saya? Kemudian saya merasa panas hati, gerah, dan rasanya ingin menunjukkan kehebatan dan kelebihan saya juga di depan hidung dia. Biar dia nyaho!

Astaga, gelombang perasaan negatif itu menguasai saya! Saya seolah terpanggang di dalam gelombang api keirihatian. Perasaan tersebut tidak enak, membuat saya tidak tenang, dan tidak bahagia.
Lantas pikiran waras saya datang lagi. Untuk apa iri hati? Memangnya keberhasilan mereka itu membuat mereka bahagia juga. Belum tentu bukan? Mending kamu sekarang, punya suami yang baik, punya anak tiga , punya.... ini.... punya itu.... Lantas perasaan iri hati saya muncul lagi, tapi saya tidak punya ini.... tidak punya anu....tidak punya.....

Stop! Rugi bener saya. Yang berhasil mereka, sementara saya tertekan dengan perasaan iri hati saya dan emosi negatif itu berhasil membakar saya dengan berbagai dampaknya. Eit, tunggu dulu!  Ingat, bukan mereka atau keberhasilan mereka yang membuat saya berperasaan negatif. Kalau begitu siapa dong? Sayalah jawaban yang paling tepat. Mengapa? Saya yang membuat mereka atau keberhasilan mereka menjadi masalah bagi diri saya. Saya yang mendramatisir dan mengumbar perasaan saya. Mereka biasa-biasa saja (mungkin). Saya yang menyediakan diri untuk terbakar emosi negatif.

OK, baiklah kalau begitu, saya akan memutuskan untuk tidak aakan mengumbar keirihatian saya. Saya adalah pribadi yang bebas untuk memutuskan apakah saya terpengaruh atau tidak. Saya akan menyatakan dengan tegas bahwa saya yang sekarang ini terwujud dari masa lalu saya dan mengada pada kekinian saya, serta akan menjadi pada masa depan saya, saya nyatakan bahwa saya menjadi pribadi bebas!
Saya memutuskan untuk hidup berbahagia dengan apa yang saya miliki: orang-orang yang saya cintai (suami yang baik,   tiga buah hati, dan orang – orang  yang menjadi bagian dalam hidup saya.) So what gitu lho kalau saya bahagia tanpa embel-embel ini itu (harta dan jabatan).  Bahagia itu adalah hak dan takdir!