Sabtu, 29 Februari 2020

JEJAK LANGKAH 34


Gereja Makam Kudus (Church of the Holy Sepulchre)



Jalan Salib berakhir di Gereja Holy Sepulchre (the Church of the Holy Sepulchre) atau dikenal dengan Gereja Makam Kudus yang terletak di dalam wilayah Kristen (the Christian Quarter).   Sesampai di Bukit Golgota, tim mengunjungi Gereja Makam Kudus. Peziarah harus melalui sejumlah anak tangga yang sempit menuju tempat Yesus disalibkan, dimakamkan, dan dibaringkan. Gereja Makam Kudus dibangun 324 Masehi. Di dalamnya terdapat potongan batu yang dulu sebagai tempat pembaringan Yesus serta sebuah ruangan kecil sebagai tempat makam Yesus.


Komplek Makam Kudus ini merupakan ujung dari Via Dolorosa yang disebut juga dengan Golgotha, adalah sebuah bukit yang menjadi tempat penyaliban Yesus. Tempat ini sekarang  sama sekali tidak lagi berbentuk bukit walau posisinya berada di ketinggian. Situs ini dipercaya oleh banyak orang Kristen sebagai Golgota, tempat Yesus disalibkan, dan kubur Yesus yang kosong, di mana tertulis Ia pernah dikuburkan, tetapi kemudian bangkit dari kematian. Gereja ini menjadi tujuan peziarahan Kristen sejak abad ke-4, sebagai tempat wafat dan kebangkitan Yesus.


Gereja Makam Kudus dibangun berabad-abad silam dan masih berdiri sampai sekarang. Gedung gereja ini menggunakan model arsitektur kubah, sebagaimana bangunan gereja dan masjid di seluruh penjuru Tanah Suci Tiga Agama Samawi. Bagaimanapun, model arsitektur kubah pada awalnya merupakan milik gereja Ortodoks Bizantium yang kemudian dilestarikan oleh Islam ketika tentara Islam merebut wilayah-wilayah politik Kekaisaran Bizantium pada abad ke VII Masehi.



Menurut tradisi, gereja itu dibangun oleh Kaisar Konstantine sekitar tahun 325-335 Masehi untuk memperingati Kebangkitan Yesus. Konstantine adalah kaisar Romawi yang menjadi pemeluk agama Kristen. Di tempat itu pulalah, Ratu Helena, ibunda dari Kaisar Konstantine, pernah datang berziarah, dan berperanan penting di dalam mendorong Konstantine mengambil keputusan untuk menyelamatkan tempat-tempat suci di Jerusalem dengan membangun gereja di atasnya. Konon, di tempat itu pulalah sang ratu menemukan potongan dari kayu Salib yang digunakan untuk menyalibkan Yesus yang keberadaannya hingga kini tidak lagi diketahui.

Tetapi ada satu bagian dari gereja ini yang posisinya lebih tinggi dari lantai utama, yang merupakan puncak sebuah batu karang. Menurut tradisi, batu karang itu masih menyimpan lubang tempat salib di tancapkan. Untuk menggapai lubang itu, pihak gereja membangun sebuah altar di atasnya dan kita perlu berjongkok mengulurkan tangan ke dalam untuk menjamah batu karang itu.



Situs ini berada di wilayah Kristen dan menjadi salah satu bangunan yang paling disucikan di sana. Paling tidak ada tiga tempat penting di dalam gereja itu yakni, golgota tempat penyaliban Yesus, altar batu tempat jenazah Yesus di baringkan setelah diturunkan dari Salib dan makam kudus, tempat dimana Yesus dikuburkan.

Kompleks situs Makam Kudus  sangat besar. Masing-masing punya bagian sendiri tergantung peristiwa yang terjadi di dalamnya. Ketika kita masuk di pintu gerbang utama, merupakan altar tempat lobang salib berada di tempat paling tinggi di sebelah kanan pintu masuk. Bila dilihat dari kontur bangunannya,  dahulunya merupakan puncak bukit. Kita harus naik tangga yang agak curam untuk sampai di atas.


Altar batu tempat meletakkan jenazah Yesus berada persis di depan pintu masuk. Banyak peziarah ( Katolik )  khusyuk berdoa di tempat itu. Saat memasuki pintu gereja, aroma rempah-rempah yang muncul di atas altar batu tersebut, sudah tercium. Padahal di altar itu, hampir setiap peziarah menempelkan rosario, baju, atau sapu tangan untuk menyerap aroma rempah-rempah kuno yang dulu dulu digunakan untuk memoles jenazah Yesus. Entah kenapa, bau batu itu tidak pernah berkurang. Kemungkinan petugas menambahkan parfum di batu tersebut.  



Di sebelah kiri pintu masuk, bagian belakang gereja, terdapat satu kompleks altar berbentuk cungkup batu yang punya pintu sempit dan kecil. Itu adalah kuburan yang diyakini menjadi tempat meletakkan jenazah Yesus ribuan tahun silam, sekaligus tempat dimana Dia mengalami kebangkitan. Tempat itu sangat dijaga kekudusannya. Peziarah atau wisatawan yang masuk ke dalam altar tersebut harus memakai pakaian yang menutup semua bagian badannya. Wanita dengan rok mini atau celaan pendek harus memakai kain/sarung untuk menutupi paha dan kakinya yang terbuka. Peziarah harus anti untuk dapat sampai ke dalam altar kubur batu tersebut. Antrian mengular dari berbagai rombongan dan berbagai Negara. Kita harus menunduk untuk memasuki ruangan gua yang sempit yang hanya dapat menampung maksimal enam orang. Tidak dapat berlama-lama di sana karena seorang biarawan (berjubah hitam) mungkin dari biarawan dari Gereja Armenia, siap menegur dengan tegas jika melewati batas waktu demi memberi giliran pada yang lain.



Berbicara tentang makam batu yang merupakan kuburan Yesus, ada catatan yang say abaca: Amos Kloner( seorang arkeolog) memeriksa/meneliti  lebih dari 900 gua pemakaman di sekitar Yerusalem era Bait Allah kedua. Dari sekian ratus gua pemakaman  yang diperiksa oleh arkeolog tersebut, hanya empat batu penutup makam yang berbentuk cakram. Keempat makam Yerusalem yang elegan itu milik keluarga terkaya—bahkan mungkin keluarga kerajaan. Misalnya, makam Ratu Helena dari Adiabene.


Makam batu ditutup dengan batu lain dan dikunci atau disegel.  Jenis  batu apa yang digunakan untuk memeteraikan atau menyegel makam Yesus? Apakah batu berbentuk cakram atau berbentuk kubus? Walaupun kedua bentuk itu ada, batu pejal berbentuk kubus jauh lebih umum daripada cakram.


Batu meterai berbentuk cakram begitu jarang jika dibandingkan dengan meterai batu kubus. Makam Yesus dibangun untuk orang biasa ( sebenarnya pinjaman, makam yang belum digunakan) yakni makam milik keluarga Yusuf dari Arimatea (Mat. 27:60). Bila dilihat dari kutipan itu, tampaknya sangat tidak mungkin makam Yesus dilengkapi dengan batu meterai berbentuk cakram. Oleh karena itu para arkeolog menyimpulkan makam Yesus disegel dengan batu kubus.

Dalam kolom Biblical View yang berjudul A Rolling Stone That Was Hard to Roll dalam majalah Biblical Archaeology Review (BAR) edisi Maret/April 2015 Urban C von Wahlde meneliti kisah Injil untuk melihat bagaimana batu itu menyegel makam Yesus. Analisis yang cermat tentang tata bahasa Yunani mengungkapkan detail dari Injil Yohanes yang mendukung gagasan makam Yesus memang disegel dengan batu kubus.


Dalam kolom Biblical Archaeology Review, Urban C von Wahlde menjelaskan bahwa Injil Sinoptik (Matius, Markus, dan Lukas) semua menggunakan bentuk kata kerja Yunani kulio untuk menggambarkan bagaimana batu meterai kubur Yesus dipindahkan. Kulio berarti "menggulingkan".

Markus 15:46 berbunyi, "Yusuf pun membeli kain lenan, kemudian ia menurunkan mayat Yesus dari salib dan mengafani-Nya dengan kain lenan itu. Lalu ia membaringkan-Nya di dalam kubur yang digali di dalam bukit batu. Kemudian digulingkannya sebuah batu ke pintu kubur itu.”
Markus 16: 3 Menjelaskan adegan pada Minggu Paskah ketika Maria Magdalena, Maria ibu Yakobus dan Salome mengunjungi makam Yesus Kristus: "Mereka berkata seorang kepada yang lain, 'Siapa yang akan menggulingkan batu itu bagi kita dari pintu kubur?'"


Gereja Holy Sepulchre menjadi tempat paling suci bagi umat Kristen karena diyakini sebagai lokasi Penyaliban Kristus dan Kuburan Yesus. Di tempat Yesus disalib terdapat batu yang retak terbelah tandanya adanya gempa bumi waktu itu ( Mat 7: 21 ).

Sejarah

Pada abad ke-4 Raja Konstantin (Pendiri Konstantinopel) memeluk agama Kristen, lalu menjadikan agama itu sebagai agama kekaisaran Romawi. Selanjutnya Jerusalem dikuasai oleh kaum Kristen. Makam Yesus sudah menjadi gereja yang besar sejak Kaisar Konstantinus Agung berkuasa atas kekaisaran Romawi, abad keempat masehi. Atas prakarsa Konstantinuslah banyak dibangun gereja-gereja di Tanah Suci yang pada waktu itu masih berstatus wilayah jajahan Romawi.


Setelah kekalahan Bizantium oleh kaum Muslim, Jerusalem harus diserahkan kepada Khalifah Umar. Khalifah Umar datang sendiri ke Jerusalem untuk memenuhi undangan Patriac Sophronius, penguasa lama, guna melakukan serah terima kota Jerusalem. Selanjutnya dibuatlah sebuah perjanjian yang terkenal dengan “Perjanjian Aelia” yang berisi jaminan Islam untuk kebebasan, keamanan dan kesejahteraan kaum Kristen beserta lembaga-lembaga keagamaan mereka.

Selesai membuat perjanjian, Khalifah Umar hendak melaksanakan shalat, Sophronius mempersilakan Khalifah untuk shalat di dalam Gereja Holy Sepulchre. Khalifah menolak, selanjutnya dia shalat di tangga gerbang timur gereja. Khalifah Umar sempat berkata, “Patriac, tahukah anda mengapa aku tidak mau shalat di gereja anda? Anda akan kehilangan gereja ini karena setelah aku pergi, kaum muslim akan mengambilnya dari anda dan berkata, “Disinilah Umar dahulu pernah melakukan shalat”. Penolakan Khalifah Umar inilah yang selanjutnya menyelamatkan gereja tersebut hingga utuh sampai sekarang. Khalifah Umar seorang Muslim yang mempunyai hati nurani.


Dulu makam Yesus dan bukit Golgotha ada di luar kota dan tidak ada bangunan lain di tempat itu selain makam baru milik Yusuf Arimatea. Sekarang Gereja Makam Kudus ada di dalam kota tua di antara berbagai bangunan di sekitarnya, baik gereja, masjid, rumah penduduk, sampai toko-toko souvenir. Dulu Yesus diarak ke luar tembok kota sambil memanggul salib. Kini para peziarah melakukan jalan salib di dalam kota melewati perkampungan dan pertokoan menuju ke Golgotha yang ada di dalam Gereja Makam Kudus.

Kitab Suci menggambarkan dengan jelas bagaimana terjadinya peristiwa-peristiwa ini. Dengan kacamata iman akan kebangkitan Kristus, peristiwa pemakaman adalah hal yang sangat penting dan tidak dapat ditinggalkan. Penginjil ingin menunjukkan bahwa pemakaman adalah hal yang sangat mendasar bagi seluruh peristiwa Yesus sebagai manusia. Selain itu, penggambaran peristiwa pemakaman Yesus ingin menegaskan kepada kita kenyataan bahwa Ia sungguh-sungguh wafat, dan dengan demikian pada hari ketiga Ia sungguh-sungguh bangkit.


(Ch. Enung Martina: Teriring ucapan terima kasih tak terhingga kepada : Sr. Francesco Maryanti,OSU yang menjadi jalan semua ini teralami, Romo Hendra Suteja, SJ pembimbing rohani yang kepada beliau kebijaksanaan diberikan Tuhan, kepada Romo Sugeng yang mempunyai talenta untuk menghibur, kepada Mas Edi dan Mas Engki yang tak lelah melayani,  kepada seluruh tour guide, crew di bis, dan seluruh peserta ziarah dari Keluarga besar Santa Ursula BSD.)




Sabtu, 22 Februari 2020

JEJAK LANGKAH 33


VIA DOLOROSA


Via Dolorosa (bahasa Latin untuk "Jalan Kesengsaraan" atau "Jalan Penderitaan"; bahasa Inggris: "Way of Grief," "Way of Sorrow," "Way of Suffering" atau "Painful Way"; bahasa Ibrani: ויה דולורוזה  ; bahasa Arab: طريق الآلام  (tariq alalam)    adalah sebuah jalan di Kota Yerusalem Kuno. Jalan ini diyakini adalah jalan yang dilalui Yesus sambil memanggul salib menuju Kalvari.

Jalur yang berkelok-kelok dari benteng Antonia ke arah barat menuju Gereja Makam Kudus berjarak sekitar 600 meter (2000 kaki) menjadi tujuan utama para peziarah. Jalur yang sekarang ini ditetapkan sejak abad ke-18, menggantikan berbagai versi sebelumnya. Sekarang jalan ini ditandai dengan 9 titik salib dengan lima titik salib terakhir berada di dalam Gereja Makam Kudus, sehingga seluruhnya adalah 14 titik salib sejak abad ke-15.

Perjalanan ziarah dengan cara menelusuri Via Dolorosa sudah dimulai sejak kekristenan awal dan mencapai arti pentingnya pada pertengahan abad ke 4 sewaktu Kaisar Constantine menjadikan agama Kristen sebagai agama negara.


Situs ini merupakan salah satu puncak ziarah bagi umat Katolik di Holy Land, Yerussalem, Israel, dengan mengikuti jalan Salib di Via Dolorosa untuk mengenang Jalan Penderitaan Yesus. Perjalanan dilanjutkan melalui gerbang rangkap tiga Romawi. Jalan kuno ini dulu dilalui Yesus sambil membawa salib setelah dijatuhi hukuman mati oleh Pontius Pilatus. Hampir setiap hari jalan ini selalu didatangi umat Katolik dari berbagai penjuru dunia. Pasalnya, jika tidak berjalan melalui Via Dolorosa ini, para peziarah kurang merasa afdol berkunjung ke Tanah Suci.

Para peziarah berjalan di antara lorong-lorong pertokoan dan kios-kios yang menjual sejumlah cindera mata khas bagi para peziarah. Juga barang kelontong, buah-buahan, bumbu, aneka baju, dan barang kebutuhan hidup sehari-hari. Aroma khas Timur Tengah sangat terasa. Via Dolorosa memang jalan yang padat dan super sibuk karena berada di dalam wilayah pasar orang-orang Arab Palestina yang bercampur aduk dengan para peziarah dari berbagai bangsa dari seluruh belahan dunia.


Via Dolorosa memiliki makna yang mendalam di hati umat Kristen karena “jalan” yang dianggap paling hina itu harus ditempuh oleh Tuhan Yesus demi menyelamatkan umat manusia dari kuasa dosa. Sungguh sebuah pengorbanan yang tak ternilai harganya. Demi cintanya akan manusia, Tuhan rela mengorbankan nyawa-Nya. Namun, oleh bilur-bilur-Nya, manusia beroleh pengampunan dan pembebasan dari hukuman maut.

Ingatan saya terbawa ke peristiwa ribuan tahun silam. Di tempat saya berdiri adalah bekas Praetorium, markas besar tentara di zaman Romawi yang persis berada di sebelah istana Pontius Pilatus, pemimpin para tentara itu. Ratusan orang berkerumun untuk menyaksikan penghukuman kepada Anak Manusia.  Saya mencoba membayangkan suasana ribuan tahun silam itu. Pasti banyak orang-orang berjubah yang selama ini terlihat mengajar di Sinagoge (rumah ibadah orang Yahudi). Mereka ada di barisan depan. Tentara Romawi berdiri dengan garangnya mencoba mengatur massa yang makin banyak dan berteriak-teriak. Berdesak-desakan ke depan. Tepat di tempat  kami semua, para peziarah, keluarga besar St. Ursula BSD sedang berdiri.


Saya sekarang ada di sini. Di sebuah ujung jalan yang disebut Via Dolorosa. Memulai satu perjalanan iman, napak tilas di jalan yang pernah dilalui Yesus menuju Golgota. Ikut memanggul salib secara bergantian. Mencoba merasakan penderitaan seperti apa yang pernah dialami Yesu sehingga nama jalan itu akhirnya diberi nama Jalan Penderitaan. Namun, yang kami alami dan rasakan taka da setitik debu pun jika disbanding dengan Jalan Penderitaan yang harus dilewati-Nya.

Pengadilan Pilatus berakhir dengan kesimpulan tidak ditemukan sedikitpun kesalahan Yesus Kristus. Bahkan istri Platus mendesaknya karena bermimpi tentang Yesus Kristus adalah Orang Benar (Matius 27:19). Namun Israel bangsa pilihan, bermufakat jahat antara imam yang seharusnya suci dengan umat yang seharusnya dibimbing ke jalan yang benar, untuk berbuat dosa. Imam dan umat yang ‘suci’ sepakat melawan keputusan tak bersalah Pilatus yang kafir. Aneh tapi nyata, itulah perilaku umat beragama bersama para Imamnya yang bersepakat menyalibkan Yesus Kristus.


Pilatus mencuci tangan atas keputusan penyaliban, dia tak berani menegakkan kebenaran. Sementara Imam dan umat lebih parah, sepakat membunuh Yesus Kristus. Sejak dulu hingga kini memang tak sedikit Imam yang berkolusi untuk melawan kebenaran dan melayani dalam kemunafikan. Inilah kesedihan awal yang mendalam, Via Dolorasa yang bermula dari Imam dan umat yang salah jalan dan sangat menikmati dosa. Pada zaman ini politisasi agama sudah berlaku.

Menariknya, sekalipun perjalanan tersebut termasuk  daerah Arab (Muslim),  ada toleransi yang sangat besar di sana. Karena Jalan Salib kami lakukan pulul 05.30 pagi sebelum kami mandi dan sarapan, suasana sepanjang Via Dolorosa tidak terlalu ramai.


Via Dolorosa memang jalan sengasara. Beberapakali Dia terhenti bahkan terjatuh, namun bangun kembali dan berjalan tanpa keluh kesah. Sengsara yang ditanggung NYA adalah dosa kita, kematian NYA di atas kayu salib adalah hidup kita. Betapa jahatnya kita jika tak lagi mencitai jalan salib, dan selalu memilih jalan sendiri dalam mengikut Dia.

Saya menemukan sebuah lagu yang begitu menyentuh tentang Via Dolorosa dalam pencarian saya. Lagu ini dinyanyikan oleh Sandy Patti.
Down the Via Dolorosa in Jerusalem that day
The soldiers tried to clear the narrow street
But the crowd pressed into see
A man condemned to die on Calvary.
He was bleeding from a beating -there were stripes upon His back
And He wore a crown upon his head
And He bore with every step
The scorn of those of those of those who cried out for his death.
Down the Via Dolorosa called the way of suffering
Like a lamb came the Messiah Christ the King
But He chose to walk that road out of His love for you and me
Down the Via Dolorosa all the way to Calvary.

Por la Via Dolorosa, triste dia en Jerusalem
Las soldaldos le abrian paso a Jesus
Mas la genta se acercaba,
Para ver al que llevaba cruz.
Por la Via Dolorosa, que es la via dolor
Como oveja vino Cristo, Rey y Senior
Y fue El quien it por su amor por ti por mi
Por la Via Dolorosa al Calvario y a morir.

The blood that would cleanse the souls of all men
Made its way through the heart of Jerusalem.
Down the Via Dolorosa called the way of suffering
Like a lamb came the Messiah, Christ the King
But He chose to walk that road out of his love for you and me
Down the Via Dolorosa, all the way to Calvary



Selamat berjalan di Via Dolorosa, setia sampai selamanya. Selamat memasuki  Rabu Abu 2020 dan menjalani masa Pra-Paskah. Tuhan memberkati.


(Ch. Enung Martina: Teriring ucapan terima kasih tak terhingga kepada : Sr. Francesco Maryanti,OSU yang menjadi jalan semua ini teralami, Romo Hendra Suteja, SJ pembimbing rohani yang kepada beliau kebijaksanaan diberikan Tuhan, kepada Romo Sugeng yang mempunyai talenta untuk menghibur, kepada Mas Edi dan Mas Engki yang tak lelah melayani,  kepada seluruh tour guide, crew di bis, dan seluruh peserta ziarah dari Keluarga besar Santa Ursula BSD.)

Minggu, 16 Februari 2020

JEJAK LANGKAH 32


St. Peter Gallicantu

Kata Gallicantu berasal dari Bahasa Yunani yang artinya “kokok ayam”. Sehingga St. Peter Gallicantu mendekatkan pada peristiwa kisah dalam Al Kitab saat St. Petrus menyangkal Yesus. Pada penyangkalannya yang ketiga, terdengar kokok ayam jantan. Gereja ini sering pula disebut Gereja Ayam Berkokok.  

Gereja St. Peter Gallicantu adalah salah satu diantara Gereja-gereja di Holyland yang mengandung kisah tersendiri. Gereja ini dulunya merupakan Istana Imam Besar Kayafas dan juga dikenal karena merupakan tempat peristiwa Petrus menyangkal Yesus.


Setelah peristiwa penangkapan yang dramatis diselingi peristiwa putusnya telinga Malkhus, hamba Imam Besar karena tebasan pedang Simon Petrus (Yoh. 18:10)– di taman Getsemani, Yesus dibawa kepada Hanas, mertua Imam Besar Kayafas. Setelah itu barulah Yesus dibawa ke rumah Imam Besar Kayafas dengan keadaan terbelenggu untuk diadili dengan pengadilan yang telah direkayasa para pemimpin agama.

Pada saat itulah terjadi peristiwa yang begitu menyesakkan. Petrus menyangkal bahwa ia mengenal Yesus. Padahal belum lama berselang, ia menyatakan tekadnya untuk membela Yesus (Mat. 26:33, Mrk. 14:29). Tidak heran penyangkalan ini membuatnya menangis dengan sedih.

Jauh sebelumnya Yesus telah memperingatkan murid-muridNya di bukit Zaitun mengenai rencana penangkapan-Nya. Demikian hebatnya peristiwa itu sehingga Yesus menggunakan kalimat, “Malam ini kamu semua tergoncang imannya karena Aku.” Tentu saja para murid kaget termasuk Petrus. Serta-merta murid Yesus yang temperamental ini menimpali, “Sekalipun mereka semua tergoncang iman-Nya karena Engkau, aku sekali-kali tidak.” Sungguh gagah perkasa perkataan itu. Entah lahir dari hati nurani yang murni atau emosi belaka, sang murid mencoba meyakinkan gurunya bahwa apapun yang terjadi, bahkan sekalipun taruhannya nyawa, dirinya tidak akan tergoncang dan tidak akan meninggalkan gurunya. Seakan menyampaikan pesan profetik, Yesus mengatakan kepada Petrus, bahwa, “Malam ini sebelum ayam berkokok, engkau telah menyangkal Aku tiga kali.”

Setelah dikhianati dan ditangkap di Taman Getsemani, Yesus di bawa ke istana Imam Besar Kayafas. Disitulah Dia tinggal sisa malam itu dan di situ pulalah Dia diadili untuk pertama kalinya (Matius 26,57-63 ; Markus 14,53-65 ; Lukas 22,63-71 ; Yohanes 18,12-14). Berdasarkan hasil penggalian arkeologis & cerita tradisi tersebut di atas, yaitu bahwa gereja itu berdiri di tempat di mana dulu istana Kayafas berdiri, dapat dipastikan kebenarannya.


Maka tidak heran, di puncak atap kubah gereja ini, dipasang patung ayam jantan yang melambangkan peristiwa tersebut. Petrus pada akhirnya menyangkal sang guru ketika orang-orang yang berkerumun di tempat itu mengenalinya sebagai salah seorang pengikut-Nya. Takut ikut ditangkap dan dihukum, keluarlah perkataan penyangkalan dari mulut Petrus, “Aku tidak mengenal orang itu.” Tiga kali maksud itu diutarakan pada orang yang berbeda menjelang pagi waktu setempat. Ayam jantan berkokok ! Sesaat setelah menyadari suara kokok ayam jantan itu, Petrus sadar bahwa apa yang dikatakan gurunya, tidak meleset.

Ayam jantan itu bukan sekedar patung hiasan demi mengenang penyangkalan Petrus semata. Patung itu adalah momumen yang mengingatkan setiap gerenasi di dalam kekristenan bahwa di manapun dan kapanpun seseorang diperhadapkan pada kepentingan dan keegoisan, atau keselamatan dirinya, takbiat Petrus akan terulang di dalam diri seseorang. Penyangkalan adalah sebuah usaha dengan sengaja mengingkari kebenaran demi menyelamatkan diri dan kepentingan pribadi. Usaha ini tentu saja menyudutkan atau mengorbankan orang lain dan membiarkannya menanggung sendiri hukuman yang ada.

Gereja ini letaknya di sebelah timur lereng Gunung Zion, di luar kota lama Yerusalem. Gereja ayam berkokok ini dibangun pada zaman Bizantium sekitar tahun 457 SM. Seperti pada umumnya, Gereja di tanah suci (Holyland) memiliki identitas khas di pintu dan atapnya. Di pintu gerbang masuk gereja St. Peter Gallicantu tertulis Ecclesia Catholica Sancti Petri in Gallicantu. Di bagian puncak atap kubahnya ada salib yang di atasnya dipasang patung ayam jantan.


Kedua ciri itu menegaskan bahwa tempat tersebut berkaitan dengan Petrus, seorang murid Yesus, yang pernah tiga kali menyangkal gurunya, demi menyelematkan dirinya sendiri. Gereja itu diyakini sebagai bekas rumah Kayafas yang ditandai dengan sejumlah bukti arkeologis berupa kamar bawah tanah tempat tahanan, lapangan, satu set takaran Ibrani yang hampir lengkap, kamar tidur para budak dan di atasnya sisa sisa bangunan bangunan gereja Byzantine. Di kiri bangunan itu juga ditemukan tangga kuno dari batu yang diyakini seumur dengan masa Kristus melayani di dunia. Sebagaimana kesaksian Alkitab, di tempat itulah, Yesus pertama kali dihakimi.

Setelah sempat hancur karena invasi pasukan Islam pada tahun 1010, Gereja Ayam Berkokok ini direnovasi oleh para Ksatria Perang Salib pada tahun 1102. Namun sayang, bangunan ini kembali hancur pada tahun 1320, dan baru pada tahun 1931 para Biarawan Asumsion membangun ulang tempat ini.

Dari gereja ayam berkokok ini para peziarah dapat melihat seluruh Lembah Kidron, Kota Daud, dan Siloam. Di halaman gereja terdapat sebuah patung yang menggambarkan peristiwa penyangkalan Petrus dengan sebuah prasasti yang berisi kutipan dari Lukas 22:57, “But he denied him, saying: ‘Woman, I know Him not.’” Tak jauh dari situ terdapat dua mozaik dari zaman Bizantium yang ditemukan saat dilakukan penggalian oleh para arkeolog.



Di halaman Gereja terdapat patung Petrus dengan prajurit Romawi dan wanita. Ada tulisan "Non Novi Illum" yang berarti "saya tidak kenal dia". Diyakini di tempat inilah Petrus pernah menyangkal Yesus 3 kali sebelum ayam berkokok.

Sebelum memasuki gedung, kita akan mendapati gambar mozaik Yesus yang sedang diinterogasi di Istana Kayafas. Di sebelah kanannya ada mozaik Perjamuan Makan Malam Terakhir (The Last Supper), dan mozaik Petrus dalam pakaian Paus kuno di sebelah kirinya.

Yang paling mengesankan adalah hiasan di langit-langit ruangan yang didominasi sebuah salib besar berbentuk jendela dirancang dalam berbagai warna. Ini tidaklah mengherankan, sebab bangunan ini menggabungkan beberapa macam model struktur sehingga menghasilkan kombinasi yang unik.

Di sebelah gereja terdapat tangga batu (holy stairs) yang telah berumur lebih dari 2.000 tahun. Jalur tangga ini mengarah ke lembah Kidron. Karena Istana Kayafas terletak di dalam tembok kota, sangat mungkin bahwa Yesus telah berjalan di atas tangga batu itu dalam perjalanan menuju kediaman Kayafas. Jalanan tangga batu pada saat ziarah saya yang pertama masih boleh dipakai jalan. Namun, kini ditutup. Hal ini bertujuan untuk mememlihara situs berharga ini. 

Pada bagian bawah Gereja Ayam Berkokok ini terdapat sebuah ruang bawah tanah yang menurut tradisi adalah penjara Yesus selama satu malam dimana Yesus dipenjarakan sementara untuk dibawa ke Mahkamah Agama esok harinya dengan cara dimasukkan melalui lubang sempit menggunakan tali. Para peziarah biasanya melakukan doa dan pujian pada ruangan bawah tanah ini.



Ruang bawah tanah  dipercaya sebagai ruang di mana Yesus ditahan sebelum diadili. Ruang tersebut ramai dikunjungi, dan sering dipakai untuk doa bersama oleh para peziarah. Terasa sangat sakral dan ada keheningan bawah tanah yang terasa di ruangan itu.

St. Peter Gallicantu merupakan bangunan gereja yang menyimpan tradisi tentang awal penderitaan Yesus seperti pada kisah Injil.   Ruang bawah tanah ini menurut tradisi merupakan  tempat Yesus menunggu ketika para dewan agung bersidang. Tempat itu dulu adalah semacam tempat penampungan air atau seperti sumur kering. Saya pribadi membayangkan kegelapan, kedinginan, perasaan kesepian, ketakutan, dan perasaan sedih Yesus yang ditahan sendiri manakala murid-muridNya kabur entah ke mana.  Ruangan bawah tanah ini suasananya sungguh membuat kita menjadi sangat terharu. Sungguh suatu pengalaman sangat berkesan untuk mengenangkan penderitaan fisik dan batin Yesus sebelum dihukum mati.

Di sini banyak petunjuk yang  menunjukkan keaslian tempat ini sebagai situs rumah Kayafas. Jalan tangga batu yang tadi disebutkan di atas  merupakan salah satu jalan penghubung dari Lembah Kidron menuju Kota Lama, Yerusalem. Lembah Kidron sendiri merupakan lembah yang menghubungkan dengan Taman Getseani dan Bukit Zaitun.  Jalur perjalanan  ini merupakan alur kisah Minggu Palem yang Yesus  alami pada hari sebelum Ia ditangkap di Taman Getsemani. Dari Getsemani ia dibawa ke Rumah Imam Kayafas. Ya bila membaca kisah Injil jalan yang dilalui untuk ke rumah Kayafas ya ke jalan tanjakan berbatu di samping gereja ini.

Pintu masuk gereja ini diapit oleh pintu-pintu besi tempa yang dilapisi dengan relief-relief dasar alkitabiah. Di sebelah kanan adalah dua mosaik era Bizantium yang ditemukan selama penggalian, ini kemungkinan besar adalah bagian dari lantai kuil abad ke-5. Tempat kudus utama berisi mosaik-mosaik besar berwarna-warni yang menggambarkan angka-angka dari Perjanjian Baru.


Di tempat ini  fitur yang paling mencolok dari interior adalah langit-langit, yang didominasi oleh jendela berbentuk salib besar yang dirancang dalam berbagai warna. Keempat belas Stasi Salib juga melapisi dinding dan ditandai dengan salib sederhana.

Banyak orang meyakini bahwa legenda adalah soal kemenangan. Di dunia ini, manusia berlomba menjadi legenda dengan menjadi nomor satu dalam banyak hal. Mulai dari seni, olah raga, politik dan hal-hal material lainnya. Tetapi sejatinya, Yesus menjadi legenda bukan mengejar kemenangan. Hal yang lebih esensi di dalam pengorbanan-Nya di atas salib adalah berjuang menegakkan kebenaran sekalipun menghadapi resiko terbesar, kehilangan nyawanya. Dia memberikan nyawanya bukan untuk menyakiti atau mengorbankan nyawa orang lain. Perjuangan yang dilakukan bukan dengan jalur kekerasan. Juga bukan dengan menyandera orang lain, membajak pesawat atau mengangkat senjata.


Yesus berjuang dengan kasih dan karena kasih. Itulah sebabnya gereja St. Peter Gallicantu menjadi ingatan bagi kita di generasi sekarang bahwa ada kasih terbesar yang pernah dinyatakan di tempat itu, yang berbeda dengan cara-cara dunia atau yang akhir-akhir ini kita lihat dari orang-orang yang memperjuangkan keyakinannya dengan radikal. Yesus dan perjuanganNya termasuk radikal tetapi di sudut yang berlawanan. Dia melakukannya dengan kasih ! Seharusnya, perjuangan radikal kasih  yang mewarnai kehidupan kita ini di bumi agar tercipta damai sejahtera.

 ( Sumber: www.seetheholyland.net. insighttour.id,  www.efrattour.com, Wikipedia.org)
(Ch. Enung Martina: Teriring ucapan terima kasih tak terhingga kepada : Sr. Francesco Maryanti,OSU yang menjadi jalan semua ini teralami, Romo Hendra Suteja, SJ pembimbing rohani yang kepada beliau kebijaksanaan diberikan Tuhan, kepada Romo Sugeng yang mempunyai talenta untuk menghibur, kepada Mas Edi dan Mas Engki yang tak lelah melayani,  kepada seluruh tour guide, crew di bis, dan seluruh peserta ziarah dari Keluarga besar Santa Ursula BSD.)


Minggu, 02 Februari 2020

JEJAK LANGKAH 31


GEREJA BAPAK KAMI – PATER NOSTER


Pater Noster Church, bahasa Latin dari Gereja Bapa Kami, adalah gereja yang dibangun di atas tempat Yesus mengajarkan Doa Bapa Kami. Satu-satunya doa yang diajarkan Yesus kepada murid-muridnya adalah Bapak Kami. Gereja ini terletak di Mount Olives (Bukit Zaitun) di Yerusalem. Berdasarkan tradisi bahwa di situlah Yesus mengajarkan doa Bapa Kami kepada para rasul-Nya. Tradisi ini didukung oleh Injil Lukas yang menempatkan doa itu langsung sesudah kunjungan Yesus di rumah Maria dan Marta (Luk 10:38, 11:4), yang menurut Injil Yohanes (11:1; 12:1) tinggal di Betania.

Gereja Pater Noster yang ada sekarang ini adalah gereja yang ketiga. Gereja yang pertama didirikan oleh Kaisar Konstantin pada awal abad ke 4. Gereja Bapa Kami adalah gereja katholik Roma. Gereja tersebut dihancurkan pada tahun 614 oleh Persia. Pada abad ke-12 Ksatria Perang Salib membangun lagi sebuah gereja di tempat yang sama, namun ketika mereka meninggalkan Yerusalem, gereja ini dihancurkan oleh penguasa Islam,  lalu tanahnya dijadikan milik mereka.

Memori ajaran Yesus tetap terkait dengan situs ini, dan selama perang salib itu secara eksklusif dikaitkan dengan ajaran Doa Bapa Kami. Tentara salib Kristen membangun orator kecil di tengah reruntuhan pada tahun 1106, dan sebuah gereja penuh dibangun pada tahun 1152 berkat dana yang disumbangkan oleh Uskup Denmark, yang dimakamkan di dalam gereja. Gereja era crusader rusak parah selama Pengepungan Yerusalem pada 1187. 


Akhirnya ditinggalkan dan jatuh ke dalam kehancuran pada tahun 1345. Pada tahun 1851 batu-batu sisa dari gereja abad ke-4 dijual untuk batu nisan di Lembah Yosafat. Situs ini diakuisisi oleh Putri Aurelia Bossi de la Tour d’Auvergne pada akhir abad ke-19 dan pencarian gua yang disebutkan oleh para peziarah awal dimulai. Pada tahun 1868 ia membangun sebuah biara yang bernaung pada Campo Santo di Pisa, Italia, dan mendirikan biara Carmelite pada tahun 1872. Pada tahun 1910, fondasi di atas gua ditemukan sebagian di bawah biara. Biara itu dipindahkan ke lokasi terdekat dan mulailah rekonstruksi gereja Bizantium pada 1915. Gereja masih belum selesai.

Seperti penjelasan di atas bahwa pada tahun 1868 tempat ini dibeli oleh seorang bangsawan Perancis, Puteri Aurelia de Bossi de la Tour d’Auvergne. Ia membeli lokasi ini dan menyumbangkannya ke pemerintah Perancis. Pada tahun 1875 dia juga membangun biara untuk Biarawati ordo Carmelita. Setelah kematiannya, Putri Aurelia dimakamkan di dinding serambi gereja ini. Penggalian dilakukan pada tahun 1910–1911 untuk mengangkat sisa–sisa gereja pertama. Pada tahun 1918 Perancis mengorganisir dana untuk membangun basilika dunia untuk Ordo Hati Suci. Pekerjaan bisa dimulai tetapi gagal untuk menyelesaikannya. Namun, berkat perkembangan pariwisata yang ditunjang adanya keterhubungan antarbangsa, maka bangunan gereja modern ini sekarang bisa kita saksikan.


Gereja ini terletak di distrik At-Tur Yerusalem yang memiliki populasi sekitar 18.000 orang Arab (kebanyakan Muslim), dengan minoritas Kristen. Gereja Pater Noster, juga dikenal sebagai Sanctuary of the Eleona (Perancis: Domaine de L’Eleona).  Gereja Katolik Roma ini yang sebagian dibangun kembali terletak di Bukit Zaitun, sebelah utara Makam Para Nabi, di Yerusalem.Gereja ini  berdiri di situs tradisional ajaran Kristus tentang Doa Bapa Kami. (Lukas 11: 2-4). Hari ini, tanah tempat gereja berdiri secara resmi sudah menjadi milik Gereja.


Bagian Kiri pintu selatan gereja adalah tempat baptisan yang diratakan dengan mosaik. Biaranya adalah gaya Eropa dan berisi plakat yang bertuliskan Doa Bapa Kami di lebih dari 100 bahasa yang berbeda. Sebuah jalan di sebelah kanan biara mengarah ke Gereja Pertempuran Rusia dan kapel makam Bizantium di mana beberapa mosaik Armenia dilestarikan di sebuah museum kecil. (Wikipedia)

Di dalam gereja ini ada pelataran dan lorong-lorong dengan dinding yang dipenuhi dengan keramik berisi Doa Bapa Kami dari berbagai bahasa.

Guide kami (yang orang Arab) mengatakan, negara-negara Arab hanya punya bahasa satu, bahasa Arab, tidak seperti Indonesia bernegara satu, tapi punya lebih dari 300 bahasa daerah. Rasanya bangga juga punya bangsa yang kaya dengan budaya dan bahasa.



Doa Bapa Kami dalam berbagai bahasa yang ada di dunia dibingkai pada dinding tembok. Pada salah satu tembok sisi kanan gereja terdapat bingkai Doa Bapa Kami dalam bahasa Indonesia. Di Pater Noster Church, atau Gereja Bapa Kami ini, bahasa – bahasa daerah di  Indonesia juga terlihat mendominasi.  Salah satunya bahasa Sunda, bahasa daerah saya. Saya merasa bangga menjadi orang Indonesia.

Mari kita telusuri tentang doa Bapak Kami. Doa Bapa Kami sangat tepat diucapkan oleh kaum Israel yang berada pada masa sebelum salib (kekeristenan), di mana mereka menantikan Kerajaan Mesianis yang dinantikan. Seingga frase “datanglah KerajaanMu, jadilah kehendakMu” menjadi permohonan yang selalu harus diulang-ulang dalam ucapan doa.

Indahnya Kerajaan yang digambarkan itu serta keadaan diampuni dari segala dosa sebagai upah dari saling mengampuni adalah dambaan dan kerinduan yang diajarkan dalam Doa Bapa Kami. Yesus mengajarkan murid-murid agar saling mengampuni untuk dapat memperoleh pengampunan Bapa. Mengampuni supaya diampuni adalah keniscayaan untuk dilakukan baik bagi orang Israel maupun bagi murid-murid pra-Kristen.


Bagi orang Kristen, Doa Bapa Kami dalam Matius 6:9-15 ini adalah doa familier bagi setiap kita yang mudah diucapkan dan dihafalkan oleh semua kalangan usia. Orang yang percaya dalam masa sekarang ini sepertinya kalimat demi kalimat dalam Doa Bapa Kami hanya didaraskan begitu saja. Rupanya patut dicerna kembali makna yang mengena dari tiap kata dalam doa Bapak Kami dengan kaidah beriman kita masa kini.

Orang percaya hendaknya kita memiliki kemandirian dalam berdoa, sehingga tidak perlu bersifat hafalan atau pengulangan suatu ucapan. Jadi dapat dikatakan rumusan doa bersifat fleksibel sesuai kebutuhan dan situasi serta kondisi si pendoa.  Namun, sebuah doa hafalan yang dirafalkan dari tahun ke tahun dari zaman ke zaman mempunyai kekuatan tersendiri untuk yang mengucapkannya.

Doa adalah suatu makanan pokok bagi seorang Kristiani. Dengan berdoa kita akan lebih dekat dengan Tuhan. Berdoa tidak saja berbicara dengan Tuhan tetapi melatih diri kita untuk lebih mengenal Tuhan dan juga diri sendiri. Beberapa doa pokok yang dihafalkan empunyai beberapa manfaat: pada saat berdoa tubuh akan berkonsentrasi dengan Tuhan dan anda akan mengalami komunikasi dengan Tuhan melalui alam bawah sadar anda. Dengan begitu kita akan dipaksa untuk mengoreksi diri kita dengan perbuatan yg kita lakukan setiap harinya. Yah, kita pasti akan lebih mengenal siapa kita dan akan lebih bisa mengontrol tindakan kita sehari-hari. Banyak sekali orang yg mendapat keajaiban setelah berdoa. Bahkan dalam keadaan yang mendesak tak ada yang mustahil bagi Tuhan jika kita berdoa dengan sunguh-sungguh. Walau itu terlihat mustahil.


Doa yang dihafalkan   tidak bergantung pelafalan kata atau kalimat doa yang persis seperti yang diajarkan, sebagaimana Doa Bapa Kami. Analisis menyeluruh terhadap teks doa Bapa Kami ini adalah penting bagi sekalian kita, supaya orang percaya bisa memiliki penerapan yang tepat dan melihat makna yang terkandung di dalamnya.

Bagi orang Kristen, Doa Bapa Kami dalam Matius 6:9-15 ini adalah doa familier bagi setiap kita yang mudah diucapkan dan dihafalkan oleh semua kalangan usia. Terasa aneh apabila orang Kristen tidak hafal doa ini mengingat biasanya ini dihafalkan ketika seseorang mengikuti kelas katekisasi atau dipajari ketika kanak-kanak.

Santo Agustinus dari Hippo mengatakan “doa itu merupakan penghubung antara manusia dengan Allah, termasuk juga Doa Bapa Kami yang merupakan doa yang sangat populer dalam dunia Kristen dan dijadikan acuan bagi semua doa,”[1].  Geldenhuys mengatakan: “Doa dalam Matius 6:9-13, Tuhan Yesus mengajarkannya sebagai contoh doa yang cocok dengan segala syarat, yang telah diletakkanNya sendiri sebagai dasar bagi doa yang benar.”[2] Ini menjadi cerminan bagi doa-doa lainnya dalam kekristenan. Bahkan para petobat baru biasanya wajib menghafal doa ini sebagai syarat permulaan hidup beriman dalam Kristen.


Ketika Doa Bapa Kami diucapkan dalam liturgi gereja saya yakin peserta dalam ibadah tidak berpikir terlebih dahulu apa makna dari ungkapan dalam doa yang diajarkan Yesus ini. Bahkan mungkin karena terasa sangat sakral di telinga umat, ketika secara serempak mengucapkan doa itu, pertimbangan nurani dan pikiran tidaklah diperlukan lagi. Namun, nampaknya baik bila kita menghayati sebuah doa dengan memahami makna di balik kata-kata yang diucapkan.

Doa "Bapa Kami" versi Injil Matius terdapat dalam Mat 6:5-15, di mana Yesus mengajarkan bagaimana seharusnya para murid berdoa. Dalam pengajaran tersebut, Yesus menasihatkan dua hal penting sehubungan dengan doa. Pertama , Ia menasihati para muridNya, agar mereka "jangan berdoa seperti orang munafik", yang suka memamerkan doanya di hadapan orang banyak (bdk ay 5). Untuk mencegah kemunafikan, baiklah para murid berdoa di tempat tersembunyi, yang jauh dari keramaian (bdk ay 6). Kedua, Yesus menasihati para muridNya, supaya dalam berdoa, mereka "jangan bertele-tele seperti kebiasaan orang yang tidak mengenal Allah" (bdk ay 7). Daripada bertele-tele, jauh lebih baik mereka langsung menyampaikan apa yang mereka perlukan; sebab sebelum mereka minta, sesungguhnya Allah telah mengetahuinya (bdk ay 8). Sesudah Yesus menasehatkan dua hal penting tersebut, Ia kemudian mengajarkan doa "Bapa Kami".


Doa singkat ini dibuka dengan menyapa Allah sebagai "Bapa". Selanjutnya disampaikan enam permohonan yang tersusun secara paralel. Tiga permohonan dimaksudkan bagi "kepentingan Allah" dan tiga permohonan dimaksudkan bagi "keperluan manusia", Bagi kepentingan Allah, dimohonkan agar nama-Nya dikuduskan, kerajaanNya datang, dan kehendak-Nya terjadi (bdk ay 9-10). Sedangkan bagi keperluan manusia, dimohonkan agar diberi makanan secukup-nya, diampuni kesalahannya, dan dilepaskan dari yang jahat (bdk ay 11-13) .

Menurut kebiasaan orang Yahudi, doa harus ditutup dengan suatu doksologi (adalah sebuah himne pendek yang digunakan di pelbagai kebaktian Kristen, seringkali dinyanyikan pada akhir kebaktian. Tradisi menyanyikan himne pendek ini diturunkan dari praktik serupa yang dilakukan di sinagoge Yahudi untuk mengakhiri suatu doa/ibadah - Wikipedia). Jadi dapat dipahami, jika doa "Bapa Kami" juga ditutup dengan suatu doksologi.


Dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, Allah memang sering dipuji sebagai yang empunya kerajaan (bdk. 1Taw 29:11; Mzm 22:29; Ob 21), kuasa (bdk Mzm 62:12; 68:35; Ayb 25:2) dan kemuliaan (bdkl Taw 29:12; Mzm 29:1; 96:7) untuk selama-lamanya. Jadi dengan mengucapkan doksologi tersebut, para murid menegaskan kembali harapannya agar kedaulatan Allah segera dipulihkan (bdkWhy 11:6; ,4:11; 5f~13) .

Doksologi sesudah doa "Bapa 'Kami" ini senada dengan doksologi yang diucapkan Daud: "TerpujilahEngkau, ya Tuhan, Allahnya bapa kami Irael, dari selama-Iamanya sampai selama-lamanya. Ya Tuhan, punyamulah kebesaran dan kejayaan, kehormatan, kemasyhuran dan keagungan, ya, segala-galanya yang ada di langit dan di bumi! Ya Tuhan, punyamulah kerajaan dan Engkau yang tertinggi itu melebihi segala-galanya sebagai kepala. Sebab kekayaan dan kemuliaan berasal dari padaMu dan Engkaulah yang berkuasa atas segala-galanya; dalam tanganMulah kekuatan dan kejayaan; dalam tanganMulah kuasa membesarkan dan mengokohkan segala-galanya" (bdk 1 Taw 29:10-12).


 (Ch. Enung Martina: Teriring ucapan terima kasih tak terhingga kepada : Sr. Francesco Maryanti,OSU yang menjadi jalan semua ini teralami, Romo Hendra Suteja, SJ pembimbing rohani yang kepada beliau kebijaksanaan diberikan Tuhan, kepada Romo Sugeng yang mempunyai talenta untuk menghibur, kepada Mas Edi dan Mas Engki yang tak lelah melayani,  kepada seluruh tour guide, crew di bis, dan seluruh peserta ziarah dari Keluarga besar Santa Ursula BSD.)