Selasa, 19 Oktober 2021

KEPULANGAN



 Abraham mencapai umur seratus tujuh puluh lima tahun, lalu ia meninggal. Ia mati pada waktu telah putih rambutnya, tua dan suntuk umur, maka ia dikumpulkan kepada kaum leluhurnya. (Kej 25:7-8)

Umur Ismael ialah seratus tiga puluh tujuh tahun. Sesudah itu ia meninggal. Ia mati dan dikumpulkan kepada kaum leluhurnya.(Kej 25:17)

Adapun umur Ishak seratus delapan puluh tahun. Lalu meninggallah Ishak, ia mati dan dikumpulkan kepada kaum leluhurnya; ia tua dan suntuk umur, maka Esau dan Yakub, anak-anaknya itu, menguburkan dia.(Kej 35:28-29)

Setelah Yakub selesai berpesan kepada anak-anaknya, ditariknyalah kakinya ke atas tempat berbaring dan meninggallah ia, maka ia dikumpulkan kepada kaum leluhurnya.(Kej 49:33)


Kutipan di atas merupakan ayat-ayat Al Kitab tentang kematian beberapa tokoh besar dalam  Al Kitab. Kisah ini abadi karena tercatat dalam Kitab Suci dan tetap akan tertulis demikian. 


Semua kisah kematian para tokoh berakhir dengan perkataan  dikumpulkan kepada kaum leluhurnya. 


Saya akan  membagikan kisah saya dan keluarga besar tentang kepulangan ibu saya tercinta, Maria Napti, yang berpulang berkumpul bersama kaum leluhurnya, pada hari Rabu, 15 September 2021. kalau dalam kalender liturgi Gereja Katolik, tanggal tersebut merupakan Hari Santa Maria Berduka Cita. Tanggal yang baik. dalam hidupnya Maria Napti selalu mengandalkan doa untuk peristiwa hidupnya. Juga peristiwa sedih, dia pun mengandalkan doa.


Kepulangan Ibu Maria Napti kepada kaum leluhurnya bagi kami tidak mengagetkan karena kami sudah mempunyai perkiraan dengan kepulangan beliau. Ibu Maria Napti, kami panggil Nenek, sudah 2 bulan sakit parah, penyempitan jantung. Kami menikmati hari-hari terakhir bersama dengan beliau. Meski saya tidak saban hari bersama beliau. Sebelum beliau berpulang, saya 3x pulang kampung.  Bahkan, kami memutuskan pulang kampung saat bulan April 2021. Setelah itu bulan Juni kami pulang lagi, lalu Agustus juga kami pulang lagi.


Dengan begitu, kami sudah sangat siap untuk kepulangan beliau. Sanak saudara dari yang jarak jauh pun berdatangan untuk menjenguknya. Puji Tuhan, masih dipertemukan dengan mereka. 


Ada banyak keluhan yang beliau sampaikan dan ungkapkan dengan monolognya. Monolog bersana Tuhan. Menceritakan kekesalannya, kecemasannya, juga kenangan manis dan pahit, pedih dan bahagia. Semua beliau sampaikan.  Menjadi kebiasaan  beliau akan duduk sendirian di teras sambil menikmati teh hangat pahit, menikmati udara pegunungan dan hijau rimbunnya pepohonan di halaman rumah kami. 


Bagi kami, kami sudah siap bahwa beliau akan kembali ke sajatining asalnya. Namun, meski saya sudah siap, tetapi saat dikabari bahwa ibu saya meninggal, kaki saya lemes, badan saya gemetar. Saya merasa ada satu energi dari tubuh saya yang dicabut. Saya tak kuat berdiri. Saya akhirnya duduk dalam gemetar.

 

Saya menyadari bahwa tubuh saya menerima berita itu bereaksi luar biasa. Padahal, saya sudah tahu bahwa hal ini akan terjadi. Namun, tubuh fisik saya tak kuat menahannya.


Dengan penuh kesadaran saya menerima moment ini. Saya merasakan getaran tubuh saya. Saya merasakan gerak pikiran dan hati saya. Saya tidak bersedih. Saya juga tak memangis. Saya bersyukur karena perempuan pejuang ini sampai pada kesudahannya. Hanya rasa kosong yang dalam pada dada saya. Kehampaan yang tak mungkin diisi oleh yang lain. Saya tahu satu waktu nanti, saat waktu saya tiba, saya akan berkumpul bersama dia lagi, ibuku tercinta.


Akhirnya, perempuan yang menjadi perantara saya hadir di dunia ini dikebumikan di pemakaman umum, Kampung Susuru, Desa Kertajaya, Panawangan, Ciamis. Kembali pada pangkuan Ibu Pertiwi dalam kerindangan dan kehijauan bukit. Terima kasih untuk cintamu, yang tak pernah lekang dimakan waktu.  (Ch. Enung Martina) 


 

Sumber: 

https://sabdaspace.org/