Selasa, 25 Oktober 2011

SEPUTAR CERITA GURU

-->
GURU PIKET
Ch. Enung martina
Ada kewajiban menjadi guru piket  untuk setiap guru di tempat saya mengajar. Pengecualian terjadi pada guru yang setiap harinya mengajar penuh.  Tugas guru piket bervariasi, mulai dari menggantikan guru yang tidak hadir di dalam kelas, menunggu kelas ketika ada guru yang tidak masuk, menjaga ketertiban saat istirahat, menangani kasus anak yang sakit, menangani bila ada kasus yang terjadi pada hari itu,  dan yang paling penting adalah menyambut siswa di pintu gerbang untuk melihat kelengkapan dan ketertiban siswa dari ujung kaki sampai ujung rambut. Saat berdiri menyambut, guru piket harus melakukan kode etik: salam, sapa, dan senyum.

Dengan demikian guru piket harus datang lebih pagi daripada biasanya. Sekolah menetapkan guru piket maksimal datang  pukul 06.30 bertepatan dengan siswa masuk ke area SMP. Bila melihat situasinya alangkah lebih baiknya seorang guru piket datang sebelum jam 06.30.
Sebetulnya saya mengalami berganti pasangan guru piket untuk setiap tahun pelajaran. Biasanya setiap harinya guru piket yang ditugaskan ada 3 orang. Saya berpasangan dengan beberapa teman guru piket  dengan berbagai karakter dan kebiasaan.  Saya pernah berpasangan dengan teman guru yang penuh tanggung jawab dan mudah diajak bekerja sama. Saya juga pernah berpasangan dengan guru yang agak santai , suka menghindari tugas menjaga kelas, dan lebih suka melakukan kegiatan  untuk dirinya sendiri. Pernah juga saya berpasangan dengan guru yang sepanjang piket terus mengeluh tentang kelehannya menjadi guru piket, ketidaksukaannya tentang sistem piket, dan aneka keluhan lainnya. Ada juga guru piket yang sangat suka datang telat.

Nah, kali ini saya akan berbagi tentang kejadian pada saat saya suatu hari saya piket. Kejadian itu tepatnya hari Selasa, 11 September 2011. Salah satu guru yang menjadi pasangan piket kali ini adalah seorang ibu yang mempunyai hobi datang TEPAT WAKTU  atau kadang  telat. Dia datang seperti kalau dia tidak menjadi guru piket, yaitu jam 06.45. Selama dua bulan saya berpasangan dengan dia , belum pernah ia datang  jam 06.30 atau di bawah itu. Lama- kelamaan saya kesal dan mulut saya gatal untuk mengingatkan dia. Saya berpikir cara yang paling tepat untuk menyampaikannya. Akhirnya ketika dia selesai mengantri untuk presensi,  saya mulai melancarkan aksi saya.

Saya berkata dengan penuh keramahan, “ Bu, saya yakin Selasa depan, Ibu akan datang lebih pagi lagi.”
Saya sungguh tak menduga ternyata  jawabannya berbeda dengan yang saya harapkan. Dia mejawab, “Aku tidak apa-apa dipecat juga. Sana laporkan saja!”
Saya ternganga dan terbata, “ ya, nggak begitu maksud saya, Bu. Saya tak akan melaporkan Ibu karena saya bukan tukang lapor.”
Dengan ketus dia berkata, “ Ibu nggak ngerti alasannya.”
“ Betul, Bu, saya nggak ngerti karena Ibu tidak bercerita. Saya menyampaikan hal ini langsung pada Ibu daripada saya gerundelan di belakang.”
Percakapan terhenti karena ada anak yang harus dilayani.

 Saya merasa teguran tadi  akan sampai dengan baik dan diterima dengan baik pula. Rupanya saya salah duga. Dari peristiwa ini saya belajar bahwa ketika kita memberi feedback pada seseorang harus memperhatikan berbagai faktor. Menurut Ibu Ratih Ibrahim dalam pelajaran Personal Growth  feedback yang baik adalah: diberikan dengan jujur, serius, langsung, dan tulus.

Kemudian saya berpikir dan melihat feedback yang baru saya berikan kepada pasangan guru piket tadi apakah sudah sesuai dengan ciri-ciri di atas? Saya memberi feedback pada teman saya sebagai sesama guru piket dengan tulus dengan tujuan di baliknya untuk perbaikan dia agar tidak datang telat saat piket. Saya juga menyatakannya dengan jujur apa adanya tanpa mencari-cari permasalahan. Ketika saya menyampaikannya juga dengan langsung pada orangnya. Jadi letak kesalahan saya ada di mana, ya? O, rupanya saya mengatakannya tidak dengan serius. Situasi saat saya menyampaikan feedback seolah saya sedang bercanda,  mungkin. Oleh karena itu, teman tadi tersinggung. Maksud hati sih saya menyampaikannya dengan cara lunak, tidak terlalu formal, dan lebih santai. Eh, ternyata cara saya dianggap meledek atau menghinanya sehingga  feedback  yang saya sampaikan tidak tepat sasaran malah akhirnya mental.

Rupanya, saya masih harus banyak belajar tentang cara menyampaikan feedback pada orang lain. Berkomunikasi itu ternyata tidak mudah. Ada beberapa faktor yang sering meleset dari dugaan kita  sehingga tujuan tidak sampai pada sasarannya.

Jumat, 07 Oktober 2011

TIGA BULAN


Tiga bulan, itu lamanya Metta, anakku sulung berlibur di rumah untuk tahun 2011 ini. Sepanjang waktu itu, dia menghabiskannya bersama teman-temannya, keluarga, dan paling banyak dihabiskannya bersama Abhimanyu, adik bungsunya.
Memang terasa lucu perbedaan usia mereka yang terpaut 19 tahun. Perbedaan tersebut membuat mereka tidak tampak sebagai kakak-adik pada umumnya, melainkan seperti ibu dan anak. Orang yang pertama melihat pasti beranggapan Abhimanyu anak metta.
Karena setiap saat waktu dihabiskan bersama adik bayinya, tugas sebagai pengasuh pun dilakukannya: menyuapi, mengganti pakaian, membedaki, membuat susu, menidurkan, bahkan menceboki. Tak disangka ternyata semua dilakukannya dengan senang meski masih heboh pada saat harus menceboki.
Saya melihat, bahwa dia banyak belajar dari setiap saat dia alami selama tiga bulan ini. Ia belajar menjadi seorang pengasuh, pembantu rumah tangga, menjadi teman bermain, merawat diri (mengobati jerawatnya), dan juga menjadi juru masak. Yang saya lihat dari semua itu, dia belajar tentang hidup. Begitulah hidup. Setingi-tingginya seseorang bersekolah, kalau dia tidak bisa membawa diri tetap saja ia tidak bisa hidup dengan baik. Mungkin itu yang dimaksud orang tua yamg mengatakan setingi apa pun pendidikan perempuan, tetap saja ia ke dapur. Mungkin maksud orang tua adalah, perempuan tetap tidak boleh melupakan tugasnya sebagai ibu dalam keluarga.
Saya juga melihat dan belajar dari pengalaman bahwa dari semua hal yang dibutuhkan dalam hidup adalah bagaimana kita berelasi. Berelasi dengan diri sendiri, dengan sesama, alam, dan Tuhan.
Saya berharap anak-anakku mampu berelasi dengan baik. Dengan begitu, mereka mampu bertahan dalam menghadapi tantangan hidup. Karena zaman akan terus berubah dan tantangan akan terus bertambah, anak-anak perlu dipersiapkan untuk menghadapinya. Mereka adalah anak-anak zaman ini. Anak zaman harus mampu menghadapi tantangan pada zamannya.
Seorang Pengkhotbah besar berkata bahwa  sebetulnya tak ada yang baru di bawah langit dan di atas bumi ini. Segala permasalahan yang terjadi sekarang pernah dialami oleh para pendahulu kita. Hanya konteks yang berbeda.