Rabu, 13 Juni 2018

AMBON MANISE 6


BELUT MOREA


Tepat di sebelah Desa Wakasihu kita akan menjumpai Desa Larike, Desa ini terkenal hingga mancanegara dengan habitat alami dari "Morea" atau belut raksasa, yang hidup alami di sungai. Belut ini tidak dimakan oleh masyarakat setempat karena dianggap keramat oleh mereka. Belut yang jumlahnya hingga ratusan ekor itu hidup alami di sepanjang sungai yang jernih, berkembang biak di bawah bebatuan sungai, dan diberi makan ikan oleh warga setempat maupun turis yang datang berkunjung untuk melihat dan bermain-main dengan belut raksasa tersebut. Morea ini sangatlah jinak hingga sebagian orang mencoba mengangkatnya meski tubuhnya yang licin seringkali membuat mereka yang mengangkatnya akhirnya tak bisa meengangkatnya terlalu lama.

Morea merupakan sebutan masyarakat setempat bagi belut raksasa atau sidat. Panjangnya lebih dari 1 meter. Di kepalanya tumbuh telinga (insang) di kiri dan kanan. Badannya licin, dan loreng-loreng. Jenis ikan Morea ini hidup di air tawar (sungai) di sela-sela batu-batu yang besar selama usia puluhan tahun. Saat belut morea atau yang dikenal juga dengan sebutan sidat ini akan berkembang biak, mereka akan berenang ke lautan dan kemudian menetaskan telur-telurnya di sana. Morea-morea kecil yang sudah menetas di laut tersebut pada akhirnya akan berenang kembali masuk ke area sungai air tawar dan hidup di sana hingga dewasa sampai akhirnya kembali lagi ke laut saat akan berkembang biak, demikian seterusnya siklus hidup mereka.

Belut morea yang biasanya hidup di lautan air asin, bisa-bisanya hidup di sungai air tawar gini ? Ternyata menurut info pengelola setempat, terdapat lubang atau jalur sungai yang tembus ke pantai atau lautan luas, yang membuat belut-belut dari lautan bisa masuk berenang hingga ke sungai air tawar ini dan kemudian hidup menetap di sini.

Anguilla Marmorata adalah nama latin dari ikan yang biasa di sebut moa, sidat, morea,  atau pelus. Ikan ini biasanya hidup pada perairan yang cukup dalam dan banyak lubang sebagai tempat persembunyianya. Suku ini terdiri dari empat genus dengan 20 spesies. Anggotanya adalah pantropis (ditemukan di semua wilayah tropis). Sidat (ordo Anguilliformes) atau yang biasa di sebut belut adalah kelompok ikan yang memiliki tubuh berbentuk menyerupai ular. Ikan ini masuk dalam Ordo Anguilliformes, yang terdiri atas 4 subordo, 19 famili, 110 genera, dan 400 spesies. Kebanyakan hidup di laut namun ada pula yang hidup di air tawar.

Ikan sidat, pelus, morea,  atau oleng adalah jenis ikan predator yang bentuknya mirip seperti belut, di bagian belakang kepala terdapat sepasang sirip mirip telinga sehingga banyak yang menyebutnya belut bertelinga atau moa, ikan ini hidup di dalam air sungai, rawa ataupun di muara, berbeda dengan belut yang lebih menyukai tempat berlumpur.

Lokasi kolam Morea di Desa Larike ini, masuk agak ke dalam sekitar 50 meter dari jalan raya. Desa Larike sendiri berada di Kecamatan Leihitu, Ambon, Maluku Tengah. Kalau dari Bandara Pattimura Ambon, bisa dicapai dengan kendaraan roda dua atau ojeg, dengan jarak tempuh sekitar kurang lebih 1 jam.

Aturan adat di desa ini, menyebutkan larangan bagi warga untuk mengambil atau memakan ikan morea ini. Entahlah apa alasan sesungguhnya. Tapi, aturan itu bisa dipahami. Ikan Morea terhitung langka. Di negara-negara maju, seperti Jepang, ikan sejenis ini banyak diburu. Konon karena kandungan gizinya yang melebihi ikan-ikan lainnya. Kandungan gizi/protein ikan sidat, vitamin A dalam hati ikan ini adalah sebesar 15.000 IU/100 gram. Ikan ini juga memiliki kandungan DHA dan EPA masing-masing 1.377 mg/100 gram dan 742 mg/100 gram. Omega 3 yang bagus untuk perkembangan otak juga ada di dalam ikan ini. Protein yang tinggi ini dapat membantu orang dalam hal memori otak dan mencegah kepikunan. Omega 3 juga memperkuat mental dan membantu manusia untuk berkonsentrasi. Kandungan Omega 3 dalam ikan sidat ini bahkan lebih besar dibanding ikan salmon yang di klaim kandungan gizinya paling baik. Wajar jika ikan sidat ini sangaat di gemari orang eropa dan jepang. Kalau kita ngintip kebudayaan Jepang sangat gemar sekali menyantap ikan sidat pada musim panas sekitar bulan Juli, namanya Doyo usi no gi.

Ada peraturan adat di desa ini untuk tidak memakan belut morea. Dengan demikian, keberadaan aturan adat itu, turut melestarikan kehidupan ikan morea. Penduduk setempat percaya bila memakannya dapat menimbulkan masalah besar dalam hidupnya dan akan terkena hukum adat pula. Namun ketegasan itu membuktikan bahwa kesadaran masyarakat akan kelestarian alam amatlah penting. Maka, masyarakat di sekitar pun terus melestarikan keberadaan belut-belut besar ini , juga sebagai wisata menarik di Negeri Larike.

Kisahnya, pada zaman dulu penduduk dari gunung ingin pindah ke pinggiran pantai. Kebutuhan hidup di sana dinilai lebih banyak, seperti makanan dan lain-lainnya. Lalu, dilemparlah tombak dari jauh (yang diyakini berkekuatan gaib) dan tertancaplah di tanah yang sekarang di pinggirannya kolam. Dari situ, keluarlah air dan ikan-ikan serta Morea. Pertanda ada mahluk hidup di sana dan bisa menjadi tempat tinggal. Tapi tentu, mahluk-mahluk di dalam airnya termasuk morea dilarang untuk dibunuh. Begitulah legendanya.

(Ch. Enung Martina)


Minggu, 10 Juni 2018

AMBON MANISE 5


BATU LAYAR


Batu layar itulah nama yang diberikan pada karang yang berada persis di jalan desa yang merupakan jalan utama untuk berlalu lalang. Kenapa disebut batu layar? Memang disebut demikian karena batu ini berbentuk seperti layar perahu. Karang ini terletak di desa Larike yang berada di Jasirah Leihitu.  Desa Larike masuk wilayah Kecamatan Leihitu Barat, Kabupaten Maluku Tengah. Perjalanan dari Kota Ambon   kurang labih  1 jam.

Kakak Jack,  pengemudi bis I mengarahkan bis kecil  ke Desa Larike. Jalan kecil, menanjak, menurun, bahkan ada yang masih berbatu, stetapi cukup mengasyikkan berpetualang di pedesaan Ambon. Ada juga jalan menurun yang cukup curam. Namun karena pengemudi sudah pernah ke sini walau tidak sering, lumayan dapat mengikis rasa takut. Bahkan, Kakak jack dengan sengaja membawa bis kami lebih cepat lagi.

 Desa Larike salah satu pusat kopra, cengkeh, yang menjadi incaran VOC pada zaman  dulu.

Dua buah batu setinggi kurang lebih 5 meter yang terletak di pinggir pantai, yang jika dilihat dari kejauhan, layaknya layar dari sebuah kapal. Sekilas pantai ini terlihat biasa saja, tetapi ada satu keunikan yang terdapat pada pantai ini, yaitu Batu Layar yang merupakan formasi dua buah karang yang memiliki bentuk yang unik dengan posisi berdiri hampir 90 derajat.  Karena bentuk yang unik ini, ketika dilihat maka formasi dua batu ini membentuk gambaran sebuah layar perahu atau kapal.

Batu Layar yang menjadi icon pantai desa Larike, Ambon, Maluku. Ketika dilihat dari jauh, formasi dua batu ini terlihat begitu menonjol karena tidak terdapat karang lain di sekitar lokasi ini yang memiliki volume yang sebanding dengan dua batu karang tersebut.

Karena merupakan objek wisata alam dan terletak di pinggir jalan raya (tidak besar, tetapi dapat dilalui mobil), untuk menikmati Batu Layar tidak memerlukan uang. Cukup turun dari mobil, naik ke atas bebatuannya, dan kita sudah bisa menikmati pemandangan lautan luas. Sama seperti objek wisata pantai lainnya, pada siang hari matahari bisa sangat terik, tetapi tidak menghalami indahnya pemandangan. Hanya saja, karena tidak ada yang mengelola tempat ini, traveler tidak akan menemukan tempat berteduh, warung makan, atau segala fasilitas wisata lainnya. Bisa dibilang tempat ini masih sangat alami. Ketika kami ke sana hanya ada warung kecil pemiliknya seorang mama setengah baya yang ramah. Jualan mama ini adalah seputar mi instan, kopi, dan cemilan.

Saya tidak mendapat informasi cerita rakyat Ambon seputar Batu layar. Namun, bila dilihat dari bentuk pantainya, pantai di sekitar batu Layar termasuk pantai yang curam. Menurut ilmu geografi, permukaan pantai terbentuk karena pengaruh gelombang, gletsyer, angin, arus dan pasang. Semua  tadi hal  merupakan tenaga pengikis, pengangkut,  dan pengendap material yang mampu mengubah bentuk suatu material. Material tersebut termasuk batu karang.

Bila dilihat dari bentuknya pantai di sekitar Batu Layar ini bisa tergolong ke dalam jenis pantai fyord, yaitu pantai yang berlekuk-lekuk panjang smepit dan tebingnya cura. Pantai ini terbentuk akrena ,kikisan gletsyer.  Atau b isa jadi juga merupakan jenis pantai sekaren, karena pantai ini tidak jauh masuk ke darat di mukanya terdapat banyak pulau – pulau kecil. Salah satu pulaunya adalah Pulau Tiga.  Atau kemungkinan adalah jenis pantai ini adalah pantai ria yang menyerupai Pantai fyord. Bedanya pada pantai Ria pada bagian muaranya dan lebih besar dan tebingnya lebih curam, pantai ini terbentuk  karena lembah sungai yang tergenang air. Saya tidak dapat memastikannya. Para ahli kepantaian yang lebih tahu. Walahu-alam.  
(Ch. Enung Martina)


Jumat, 08 Juni 2018

SUPER MOM





(Tulisan ini saya persembahkan untuk teman-teman saya Dian Ekowati, Devota Maria Laiyan, Sabaryati, dan Margaretha Josyarti)
Sore ini terasa kudus bagi saya. Udara segar sehabis hujan deras. Dedaunan basah segar. Matahari senja bersinar menembus awan berwarna keperakan, nampak penuh misteri. Terdengar azan mulai berkumandang. Jalanan lengang karena semua orang berkumpul bersama keluarga untuk siap berbuka puasa.

Dengan laptop di hadapan. Jari-jari saya mulai asyik menari menuangkan ide gagasan yang tiba-tiba datang menyeruak. Saya merasa sangat bangga dengan diri saya saat ini. Saya merasa sudah memenangkan pertarungan dengan diri saya. Saya tahu saya sudah melalui pergumulan Taman Zaitun saya dengan elegan. Saya sungguh bangga dengan diri saya. Meski saya tahu akan ada pertarungan-pertarungan lain di hadapan saya. Namun, tak jadi masaah, karena kebanggan ini akan menjadi bekal dan kekuatan pada saat pertarungan-pertarungan mendatang. Saya berhasil mereguk cawan yang ditawarkan untuk saya. Apakah saya merasa terluka? Jujur: Ya.

Namun, luka ini menjadi goresan yang menjadi kebanggan saya karena saya tak sedetik pun menghindar dan mengelak dari cawan yang harus saya reguk. Seperti bekas luka pada tokoh Harry Potter yang menghias jidatnya. Menjadi tanda dan tak terhapuskan.

Saya berterima kasih pada Bapa Surgawi yang sudah memberikan peringatan lewat mimpi saya 3 bulan lalu. Sehingga ketika peristiwa ini terjadi, paling tidak saya tak menyalahkan siapa pun termasuk menyalahkan diri sendiri. Saya tahu bahwa ini semua akan dan harus terjadi untuk suatu kebangkitan tidak hanya saya tapi banyak orang.

Saya mendapatkan banyak sekali inspirasi untuk tulisan saya dari peristiwa yang saya alami. Salah satu inspirasi kali ini yang saya bagikan adalah tentang perjuangan para perempuan perkasa untuk anak-anaknya yang dipercayakan Tuhan. Para perempuan seperti  ini begitu banyak di dunia ini. Namun, yang jelas ril ada di hadapan saya dan bergaul serta tersentuh oleh saya adalah 4 perempuan yang saya tuliskan namanya di atas (Dian Ekowati, Devota Maria Laiyan, Sabaryati, dan Margaretha Josyarti).

Saya sangat mengagumi kawan-kawan saya tadi. Mereka bukan para perempuan yang sempurna, sama dengan perempuan lain punya kekurangan. Mereka adalah para ibu yang berjuang untuk anak-anak mereka. Dian Ekowati berjuang untuk anaknya yang mempunyai kebutuhan khusus  ADHD (attention deficit hyperactivity disorder), Devota Maria Laiyan yang berjuang untuk anak laki-laki pertamanya yang dianggap kurang dalam menerima pelajaran sekolah, dengan perjuangannya akhirnya  anak ini bisa bersekolah dengan baik hingga lulus dari perguruan tinggi.  Sabaryati seorang ibu yang memeprjuangkan pengasuhan anak perempuan semata wayangnya dalam perceraian dengan mantan suaminya, dan Margaretha Josyarti yang mempunyai anak dengan keterbatasan motorik, tetapi berhasil dalam perjuangannya untuk terapi dan medidiknya menjadi anak yang sangat percaya diri.

Saya sangat mengagumi mereka. Dengan sekuat tenaga mereka memberikan diri untuk belahan jiwa mereka. Tanpa memperhitungkan biaya, tenaga, atau pun waktu, juga perasaan, mereka berjuang demi buah hati mereka. Perjuangan mereka berbuah. Nampak dari bagaimana anak-anak bertumbuh dan menjadi diri mereka sebagai pribadi yang utuh.

Saya tahu mereka tak mengejar harta atau jabatan. Mereka adalah seorang ibu pekerja yang membagi waktunya, energinya, perasaannya, dan seluruh dirinya untuk buah hati mereka. Saya tahu pengorbanan yang mereka berikan pasti tak kan ternilai. Tak ada bandingannya. Saya tahu juga pada suatau saat tertentu mereka pasti juga merasakan putus asa. Saya tahu persis bahwa  saat tertentu  mereka terpuruk. Saya tahu persis mereka mengalami sakit dan perih pada dada dan jiwa mereka. Namun, mereka tetap melakukan apa yang harus mereka lakukan. Saya tahu doa adalah senjata utama mereka. Karena sebetulnya mereka sedang menjalankan panggilan hidup mereka sebagai seorang ibu yang hebat. Sebagai SUPER MOM.

Pesan kepada Super Mom:
Saya sangat kagum pada kalian. Kekaguman saya tak bisa saya uraikan lewat kata-kata. Kekaguman saya pada kalian membuat dada saya serasa penuh. Kekaguman saya membuat saya ingin memeluk kalian dan berkata terima kasih kalian  sudah menjadi bintang  yang bersinar untuk orang-orang di sekitar. Meskipun tak ada yang memberikan penghargaan pada kalian, tetapi alat Sang Pencipta yang paling objektif, yang bernama SEMESTA, mencatat dan mengembalikan semua usaha, energi positif, doa, dan cinta kalian dalam bentuk suka cita melalui anak-anak yang kalian perjuangkan.  Aku bersumpah! Semua yang kalian perjuangkan lengkap akan dikembalikan sebagai kemenangan kalian! Itu pasti! (Ch. Enung Martina)


Sabtu, 02 Juni 2018

AMBON MANISE 4


PERTEMUAN YANG TAK TERDUGA


Saya akan berkisah tentang pengalaman rohani saya di Katedral Ambon. Tepatnya ini kisah teman saya Ibu Devota Maria Laiyan.

Begini kisahnya: Kawan saya bernama Devota Maria Laiyan. Dia seorang keturunan Ambon, tepatnya Tanimbar. Dia lahir dan besar di Jawa karena kedua orang tuanya mengembara ke Jawa dalam rangka ayahnya bertugas sebagai TNI Angkatan Darat. Karena itulah kawan saya yang Ambon ini sangat fasih berbahasa Jawa. Ditambah lagi suaminya pun orang Jawa. Jadilah dia Ambon gadungan. Orang Ambon yang sudah kehilangan perangkat dirinya sebagai orang Ambon. Keambonanya pudar karena jauh dari tanah leluhur.

Ketika sekolah kami berwisata ke Ambon. Betapa suka citanya kawan saya Ibu Maria ini. Pulang kampung diantar semua teman!

Ketika kami merayakan Ekaristi di Katedral Ambon, teman saya yang lain, Ibu Jossy sakit perut karena tragedi telat makan pada hari pertama kami tiba di Ambon, kami terlantar tidak diberi makan oleh agen perjalanan seperti yang dikisahkan pada Ambon Manise 1. Karena itu Ibu Jossy keluar gereja untuk mengurus dirinya. Namun, lebih dari 30 menit kok belum masuk juga. Saya sebagai teman dan sekaligus ketua bis 1, bertanggung jawab atas beliau. Beliau salah satu anggota bis 1. Maka keluarlah saya untuk mencarinya.

Rupanya Ibu Jossy memang parah sakitnya sehingga harus berada di luar gereja. Ketika berada di luar, ia berkenalan dengan koster gereja bernama Deny. Nah, Deny ini dari Tanimbar. Lantas, Bu Jossy ingat Ibu Maria. Akhirnya selesai Ekaristi, Ibu Maria diperkenalkan kepada Deny ini. Jadilah mengobrol. Dalam obrolan diberitahukan Deny bahwa ada Romo yang juga marganya Laiyan bertugas di Katedral Ambon. Penasaranlah Ibu Maria.

Saya yang menyaksikan juga ikut penasaran. Jadilah saya mengantar Ibu Maria untuk mencari pastor saudaranya itu. Kami bertanya pada beberapa orang yang berpapasan dengan kami. Mereka tidak menunjukkan dengan pasti di mana Romo Laiyan berada. Akhirnya kami mengetuk sekretariat pastoran. Petugas di sana memberitahukan bahwa ruangan Pastor Damianus Laiyan itu ada di samping.

Bergegaslah kami menuju ruangan yang ditunjukkan. Nampaknya tertutup. Namun kami ketuk sambil mengucapkan permisi. Taka da jawaban dan tanda-tanda pintu akan dibuka. Kami mencoba memutar gerendel pintu ruangan itu. Rupanya terkunci.

Lantas Ibu Maria berkata, “Ya sudah, mungkin aku belum jodoh ketemu bagian dari keluargaku.”  Lantas kami melangkah untuk menuju bis yang diparkir di jalan depan Katedral. Lima langkah kami berjalan. Mendadak terhenti karena terdengar suara pintu terbuka dan sebuah suara berlogat Ambon membentak kami, “ Siapa itu!”

Kami berdua terpana. Terutama Ibu Maria. Mendadak matanya yang menyuram berbinar penuh harapan. Kami membalik badan. Di lawang pintu berdiri seorang lelaki Ambon berbadan tegap, kira-kira berusia setengah baya lebih. Kami pun segera menghampiri sosok lelaki itu.

Ibu Maria segera mengulurkan tangannya.

 “ Halo, Pastor saya Devota Maria Laiyan. Apakah Pastor, Dammy Laiyan?”

“Ya. Kamu siapa?”

Dengan segera Ibu Maria mengulurkan kembali tangan yang sudah dilepaskan saat bersalaman tadi. Ia mencium tangan pria itu.

Saya memandang dengan penuh takjub adegan di hadapan saya. Saya melihat ada dua pribadi yang mereka satu darah, tak pernah bertemu sebelumnya. Sekarang mereka berhadapan dan saling memandang siapa diri lawan bicaranya.

Lantas Ibu Maria menjelaskan bahwa dia adalah anak dari Kakak Natalis Laiyan yang pergi mengembara ke Jawa 50 tahun lebih. Kemudian mengalirlah dari mulut mereka berdua pohon keluarga. Bagaimana hubungan kekerabatan mereka. Sama-sama bersemangat, sama-sama takjub. Bahwa ternyata ada orang lain yang juga marganya sama dan sekarang berhadapan.

Tiba-tiba Ibu Maria berkata,” Kenapa Pastor bisa Laiyan?”

Saya tertawa mendengar ucapan Bu Maria.

Rupanya Santo Fransiskus Xaverius mempertemukan dua saudara yang sebelumnya tak saling mengenal dan tak terbayangkan bisa bertemu. Bahkan, saya yakin Ibu Maria pun tak membayangkan akan mendapat rahmat pertemuan dengan saudara satu nama.

Ini sebuah keajaiban yang tentu saja tidak kebetulan. Pertemuan yang tidak sengaja. Tuhan membuat kita bertemu dengan orang-orang yang tidak ingin kita temui, tapi sebaliknya malah tidak pernah bertemu dengan orang-orang yang ingin kita temui, juga bertemu dengan orang yang tak pernah disangka-sangka bisa bertemu.

Tuhan selalu memberi arti di setiap pertemuan kita dengan orang lain. Demikian pula pertemuan Ibu Maria dengan saudara semarganya Romo Damianus Laiyan, MSC, membawa arti bagi persaudaraan Ibu Maria. Ibu Maria menemukan jejak keluarga di tanah leluhurnya.

Sering kali di dalam kehidupan sehari-hari, kita banyak bertemu dengan orang lain di sekitar kita. Entah hanya bertemu, berpapasan, atau mungkin berada di suatu tempat yang sama, tetapi tidak saling menyadari. Namun, dalam sekejap semua itu hilang. Namun, yang Ibu Maria alami jelas berbeda.

Orang-orang datang dan pergi di kehidupan kita. Saya percaya, itu semua sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa.  Entah untuk belajar atau mengajarkan, entah hanya untuk sesaat atau selamanya, entah nantinya akan menjadi bagian terpenting atau hanya sekedarnya.  Namun, saya percaya bahwa Yang Maha Kuasa mempunyai  tujuan memberikan makna di balik itu semua.

Makna pertemuan Ibu Maria dengan Romo Dammy, juga membawa rahmat suka cita bagi saya. Ketika kami pamit pada Romo Dammy, Romo memberikan berkat panjangnya untuk kami berdua. Beliau mengenakan stola dan menumpangkan kedua tangannya di atas kepala kami. Saya kebagian tangan kanan, Ibu Maria tangan kiri.

Saat memberikan berkat stola dikenakan Romo, ternyata ada maknanya pasti. Stola merupakan simbol pemimpin liturgi. Maka tidak boleh dikenakan oleh orang yang tidak ditahbiskan. Stola biasa dipakai saat memberikan Sakramen Pengampunan dosa, saat memberikan Sakramen Minyak Suci, dan saat memimpin ibadat lainnya. Atau saat memberikan berkat.  

Saat Romo Dommy menumpangkan dan memberkati kami, saya merasa sangat terharu. Begitu banyak doa berkat yang diungkapkan untuk kami berdua. Saya merasakan sukacita mengalir pada diri saya. Air mata saya merembes di pelupuk. Merasakan betapa kasih Tuhan tak terhingga sehingga saya diberikan berkat khusus dari seorang Romo yang tak pernah saya ketahui.

Terima kasih Romo Damianus Laiyan. Terima kasih Devota Maria Laiyan. Berkat nama kalian yang sama maka kalian bertemu. Berkat nama marga kalian, maka saya kecipratan sukacita dan berkat tumpangan tangan. Saya sungguh penuh oleh sukacita.

Saya sangat terharu. Hingga sampai bis saya masih menangis sesenggukan karena suka cita saya. Semua teman di bis bingung mengapa saya menangis. Saya bilang karena saya punya suka cita.

Saya merasa pengalaman di Ambon ini sangat berarti bagi saya. (Ch. Enung Martina)


AMBON MANISE 3


Katedral Santo Fransiskus Xaverius, Ambon

Hari kedua kami berada di Kota Ambon. Hari ini, Minggu 13 mei 2018. Acara kami setelah sarapan di Hotel, kami mengikuti Ekaristi di Katedral Santo Fransiskus Xaverius, Ambon.
Seperti pada umumnya banguna gereja besar seperti katedral , selalu mempunyai aura keagungan tersendiri. Demikian pua dengan Katedral Santo Fransiskus Xaverius, Ambon ini.  Bangunan ini terletak di  Jalan Patimura, Kota Ambon. Bangunan ini klasik dan  masih terawat serta megah, tepatnya agung. Di halaman samping gereja ada relief yang mengisahkan tentang awal mula misionaris tiba di Ambon, termasuk para misionaris yang tewas terbunuh oleh tentara Jepang pada Perang Dunia II, hingga siapa Uskup Ambon sekarang ini.
Katedral adalah pusat dari suatu Keuskupan dan tempat Bapa Uskup di setiap kesukupan tinggal. Karena itu, b iasanya katedral akan dibangun lebih besar dan lebih egah daripada gereja-gereja setingkat paroki atau stasi.
Demikian pula dengan Katedral Ambon. Katedral Ambon menjadi salah satu bangunan indah dan artistic di Antara bangunan-bangunan lain di sekitarnya. Keindahan ini nampak mulai dari gaya bangunannya, ketiga menaranya yang tinggi menjulang, dan dekorasi patung yang menjadi ciri khas gereja ini. Tak hanya eksteriornya yang indah, interiornya pun tak kalah indahnya, hampir semua yang ada di gereja ini menjadi daya tarik. 

Gereja Katedral St Fransiskus Xaverius Ambon mengambil spiritualitas St Fransiskus Xaverius, mengingat jasanya sebagai pewarta iman Katolik di Keuskupan Amboina. Moto beliau  yang terkenal Da mihi animas (Berilah-bawalah kepada-Ku jiwa-jiwa), menjadi semangat dasar pembinaan yang berorientasi pada penyelamatan jiwa-jiwa di keuskupan kepualauan ini. Gereja menghormati imam Spanyol Francisco Javier atau Fransiskus Xaverius,  berkat kerja pelayanan dari penginjilan dalam menyebarkan kekeristenan di  Maluku.
Keuskupan Amboina merupakan keuskupan sufragan (beberapa Keuskupan yang menyatukan diri dalam suatu Provinsi Gerejani sebagai mitra kerja Keuskupan Agung)   dari Keuskupan Agung Makassar. Wilayahnya meliputi seluruh provinsi Maluku dengan luas wilayah 83.778 km² dan berpusat di Ambon. Keuskupan Amboina didirikan sebagai Prefektur Apostolik Nugini Belanda pada tanggal 22 Desember 1902, memisahkan diri dari Vikariat Apostolik Batavia. Lalu ditingkatkan menjadi Vikariat Apostolik Nugini Belanda pada tanggal 29 Agustus 1920. Setelah itu, berganti nama menjadi Vikariat Apostolik Amboina pada tanggal 12 Mei 1949. Kemudian ditingkatkan menjadi Keuskupan Amboina pada tanggal 3 Januari 1961 hingga sekarang.
Mula-mula didirikan sebagai Prefektur Apostolik Guinea Baru (Nouva Guinea Olandese) pada 22 Desember 1902, dipisahkan dari Vikariat Apostolik Batavia (Jakarta). Kemudian statusnya ditingkatkan menjadi Vikariat Apostolik Nouva Guinea Olandese pada 29 Agustus 1920. Namanya diubah menjadi Vikariat Apostolik Amboina pada tahun 1949. Ketika hierarki Gereja Katolik di Indonesia didirikan Paus Yohanes XXIII dengan konstitusi apostolik Quod Christus pada 3 Januari 1961, statusnya meningkat lagi menjadi diosis (keuskupan).
Siapakah di balik nama Katedral Ambon ini? Xaverius terlahir bernama Francisco de Jaso  Azpilcueta di Kastil Xavier (dalam bahasa Spanyol modern Javier, bahasa Basque Xabier, bahasa Katalan Xavier) dekat Sangüesa dan Pamplona, di Navarro, Spanyol. Lahir sebagai putera bangsawan Basque di Navarro. Pada tahun 1512, Kastilla menginvasi Navarro. Banyak benteng yang dihancurkan, termasuk kastil keluarga, dan tanah-tanah disita. Ayah Fransiskus meninggal dunia pada tahun 1515.
Rupanya sejarah Katolik di Ambon, Maluku, Kalimantan, India, Malaka, serta Jepang tak bisa dilepaskan dari tokoh Fransiskus Xaverius. Dia mencintai Asia dan menghabiskan seluruh karya penyebaran agama ke kawasan Asia Timur dan Tenggara. Dialah pelopor misionaris Katolik dan menjadi co-founder serikat Jesus (SJ) bersama Ignatius Loyola.
Sejarah Ambon dan Maluku berubah karena kehadiran Fransisxus Xaverius di tahun 1546-1547. Dia bekerja tanpa lelah di Ambon, Maluku, Ternate, Moro, Borneo, dan meletakkan fondasi Katolik yang kuat di daerah ini. Kemungkinan besar dia membaptis sekitar 60.000 orang selama berkarya di derah itu.
Setelah berhasil berkarya di Asia Tenggara, Fransiskus berhasrat menyebarkan injil di Jepang. Namun karena menyadari bahwa budaya dan bahasa Jepang yang sulit, dia ingin belajar dulu bahasa dan budaya Cina sebelum berkarya di Jepang. Dia berlayar ke pulau Sancian, dekat Cina daratan. Namun sakit yang berat menghapus impiannya, di Sancian Fransiskus meninggal di usia 46,  3 Desember 1552. Impian untuk sampai ke Cina tak pernah terwujud. Itulah nama besar di balik Katedral Ambon.
Saya mempunyai pengalaman rohani yang berkesan di katedral ini. Kisahnya ikuti pada Ambon Manise 4. (Ch. Enung Martina)


Jumat, 01 Juni 2018

AMBON MANISE 2

PULAU ELO

'Goyang patah-patah' mengalun rancak
hamparan pasir putih pantaimu
mengingatkanku akan putih murni cinta pertamaku

Membentang gagah Maluku nan hijau
dengan noktah putih merah
tanda kehidupan tertoreh

Kabut perlahan turun menutupi pucuk-pucuk
ombak perlahan pasang
biru air lautmu, Elo,  membayang
di kilau matahari senja

Hening yang membentang pada bening airmu
mendamparkanku pada sebuah tanya
Adakah damai di negriku?

Dalam gurat-gurat di pasir pantaimu, Elo
Aku mengukur standard kedamaian
Kedamaian duniawi yang didamba tiap hati

Elo, pada bening airmu aku berkaca
Betapa carut marut negriku
Nampak pada kerut-kerut kelopak mataku
Karena ada duka di dalamnya

( Enung Martina: Pulau Tiga, Ambon, beberapa jam setelah mendengar berita pengeboman berantai di Surabaya)  

Selasa, 22 Mei 2018

AMBON MANISE 1

(doc. pribadi)

Perjalanan kali ini, Tuhan membawa saya ke satu kepualauan, yaitu Kepulauan Maluku., khususnya ke Kota Ambon.  Ambon adalah ibu kota Provinsi Maluku. Dahulu Ambon dikenal sebagai daerah penghasil rempah-rempah terbaik dunia. Sampai sekarang pun masih. Selain penghasil rempah-rempah, Ambon juga dikenal lewat keindahan alamnya yang begitu memukau bagi siapa saja yang mengunjunginya.


Kota Ambon terletak di daerah datar, dikelilingi oleh Teluk Ambon yang indah, yang didukung oleh pegunungan hijau subur dan menghadap ke lautan jernih nan biru. Kota Ambon juga dikenal sebagai "Ambon Manise" yang berarti Ambon itu manis atau cantik. Nama ini dikarenakan keindahan alam Ambon yang menawan dan keramahan orang-orang Ambon.

Kami, rombongan guru-guru Santa Ursula berangkat dari Bandar Udara Sukarno Hata dengan flight Garuda Indonesia  GA646. Tiba di Banda Udara Internasional Pattimura  pada pukul 13.00 WITA.  Bandara ini  melayani kedatangan dalam dan luar negeri.  Dengan luas landasan 2.500 m² untuk dalam negri dan luar negeri dengan luas landasan 400 m2 relatif kecil jika dibandingkan dengan Bandar Udara Sukarno Hatta. Bandara ini berjarak 38 kilometer dari Kota Ambon dikelilingi oleh lautan yaitu di sebelah Utara Laut Seram, Selatan Laut Banda, dan Timur Laut Arafura.


Setiba di Ambon, kami langsung menuju Pantai Pintu Kota. Pantai ini merupakan salah satu yang paling dikenal di Ambon. Pantai ini merupakan pantai jurang yang curam dengan kemiringan sekitar 80 derajat. Pantai Pintu Kota merupakan pantai berbentuk teluk dengan batu-batu karang tajam yang indah. Pantai satu ini tidak memiliki bibir pantai dan pasir, tetapi kita bisa menemukan keindahannya dalam   keeksotisan yang mungkin jarang kita temukan di pantai lainnya.  Hal yang paling unik dan dikenal dari Pantai Pintu Kota ini adalah adanya sebuah karang bolong berbentuk seperti gerbang atau pintu. Celah karang besar tersebut terbentuk akibat dari adanya benturan air laut yang keras selama bertahun-tahun. Hal tersebut ternyata membuat karang menjadi terkikis, bahkan menimbulkan sebuah lubang besar. Bagi para penyuka wista laut, bisa menmukan spot diving yang sangat indah di lokasi ini. Spot divingnya dikenal memiliki keindahan yang bisa membuai para diver sekalian yang memang hobi menikmati keindahan bawah laut.  Keindahannya yang menawan dan keunikannya yang begitu eksotis membuat banyak orang tertarik datang berkunjung.

(doc. pribadi)

Saya bukan penyuka kegiatan ekstrim di laut. Jadi cukup untuk saya menikmati indahnya Pantai Pintu Kota sambil minum teh panas dengan pisang dan sukun goreng panas. Sesungguhnya perut saya sangat lapar karena kami rombongan tidak mendapatkan makan siang begitu kami turun di bandara dari penyelenggara tour kami. Sepertinya agent tour ingin cepat kaya sehingga membiarkan kliennya tidak makan siang. Bahkan air mineral pun kami tak mendapatkannya. Akhirnya kami, di bis satu mampir di jalan untuk membeli air mineral dengan kocek sendiri.

Saya ingin sekali makan berat seperti nasi, mi ayam, soto panas, atau apa pun itu. Namun, yang berat ada di pantai ini hanya karang dan bebatuan terjal.  Apa daya kami para turis domestik ini.  Pedagang di pantai ini hanya menjual mi instan dan pop mi yang jelas tak sedikit pun saya berselera untuk menyantapnya. Untungnya ada pedagang yang menjual cemilan pisang dan sukun goreng. Daripada saya makan mi instan, lebih baik makan cemilan ini. 

Meski menikmati pantai ini dengan perut kelaparan dan hati dongkol kepada agent  tour yang pelayanannya parah sekali, tetapi tak sedikit pun mengurangi keeksotisan pantai ini. Pantai Pintu Kota ini terletak di Dusun Airlouw, Kecamatan Nusaniwe, Ambon. Dengan titik awal keberangkatan dari pusat kota Ambon, kita akan menempuh perjalanan selama kurang lebih 45 sampai dengan 60 menit menuju ke pantai indah nan menawan ini.




Pantai Pintu Kota tidak terlalu aman untuk dijadikan lokasi berenang. Karena bagian bibir pantai yang berpasir hanya sedikit saja dan pantainya memiliki karang dengan batu yang tajam. Arus air laut di kawasan Pantai Pintu kota pun sangat kencang, dengan gelombang ombak tinggi. Gugusan bebatuan karang yang berada di sekitar karang berlubang besar Pintu Kota yang menjadi daya tarik kuat. Lokasi ini banyak dijadikan sebagai tempat favorit untuk berfoto.

Beberapa teman saya tidak turun ke pantai karena jalan untuk menuju ke pantai  berupa tangga semen yang cukup curam, terutama bagi orang yang bermasalah dengan lutut. Namun, saya ingin menikmati keindahan pantai dan karang di Pantai Pintu Kota karena itulah saya turun. Saat turun di pantai pun perlu berhati-hati karena tempat berpijak di sekitar pantai di dominasi oleh batu- batu yang cukup tajam. Jadi diperlukan kewaspadaan saat melangkahkan kaki di antara bebatuan.



Di lokasi pantai terdapat pondok-pondok untuk tempat berteduh dan beristirahat sambil memesan cemilan.  Di sekitar pantai ditumbuhi pepohonan yang cukup besar membuat kawasan ini cukup rimbun. Pantainya mirip dengan Pulau Bunaken, rimbun dengan pepohonan. 

Pantai Pintu Kota. Itulah destinasi kami pertama di Ambon. Mengesankan, meskipun dinikmati tanpa makan siang.

(Ch. Enung Martina)