REFLEKSI (dimuat di Majalah Komunika Juni-Juli 2008)
HARI ITU SELASA
(Christina Enung Martina)
Hari itu Selasa,27 Mei 2008. Kantuk masih bergayut di pelupuk mataku karena tadi malam kurang tidur. Malam Selasa ini ada acara prom night kelas IX sampai jauh malam. Badan terasa pegal dan mata terasa perih. Namun, kelelahan badan tak boleh kurasakan karena hari ini aku mendapat tugas mendampingi anak-anak kelas VIII E berkunjung ke Panti Wreda Marfati, Tangerang.
Sebenarnya kalau boleh aku menawar, aku lebih baik ditugaskan di sekolah saja biar bisa istirahat sebentar. Tapi, tugas tetaplah tugas. Dengan perasaan lelah dan mengantuk kuikuti langkah para remaja yang selalu riang dan tak pernah lelah itu. Ketika iring-iringan lima mobil keluar dari kompleks Santa Ursula BSD, mulailah langkah kami menuju Marfati. Canda tak pernah hilang dari anak-anak remaja ini. Bagi mereka di mana pun kalau bersama dengan teman, segalanya pasti asyik.
Jam 08.30, rombongan kami yang terdiri dari dari 35 orang siswa an 2 orang guru pendamping, sampai di kompleks Marfati. Oma-Opa sedang senam pagi bersama dengan diiringi musik yang riang. Segera para remaja ini menjadi pengamat yang baik dari oma-opa yang sedang asyik bergoyang mengikuti irama musik pengiring. Mulailah siswa petugas dokumentasi pun mengabadikan kegiatan ini dengan kamera digital dan juga videonya. Ada juga yang iseng mengikuti gerakan senam sesuai irama musik.
Usai menonton senam, kami dipersilakan memasuki ruang rekreasi di panti itu. Segeralah peralatan untuk acara pun disipakan. Acara pun mulai digelar. Lihatlah para remaja ini mulai dengan acaranya. MC mulai membuka dengan sapaan. Acara berdoa, bernyanyi, berjoget, permainan, dan drama pun keluar satu persatu.
Selama acara berlangsung aku pun sibuk menyapa para lansia ini. Diam-diam kuperhatikan anak-anak remaja dan oma-opa yang berbeda generasi ini. Awalnya suasana agak kaku, ada yang bingung mau mengobrol apa. Namun lama-lama dua generasi yang berbeda ini hanyut dalam kegembiraan. Mereka asyik bernyanyi, main game, berjoget, dan mengbrol. Kekhawatiran bahwa para remaja tidak bisa menyatu dengan oma-opa ternyata tidak beralasan. Bahkan, pada saat waktunya oma-opa minum, para remaja tak segan-segan menolong oma-opa yang benar-benar sudah jompo dengan menyuapinya.
Aku melihat bahwa melalui acara sederhana yang para siswa susun sehari sebelumnya ternyata mendatangkan kebahagiaan kepada kaum sepuh yang menjadi penghuni panti ini. Kegembiraan terpancar dari raut mereka. Kerinduan akan keluarga sesaat terobati dengan melihat tingkah remaja yang ada di hadapan mereka. Oma-opa melihat sosok cucu mereka pada diri anak-anak ini. Meskipun bagaimana kerinduan akan kehangatan keluarga tetap ada dalam hati mereka. Di Panti memang ada teman dan ada perawat, tetapi kehadiran mereka berbeda dengan keluarga.
Kegiatan kunjungan ini membawa Susana hangat di tengah oma-opa. Ketika tiba untuk berpamitan, orang-orang usia lanjut ini menyampaikan banyak pesan untuk cucu-cucu: Harus rajin belajar dan berdoa, kapan-kapan datang lagi, kirim foto.
Melalui kegiatan kunjungan sosial ini para remaja belajar banyak nilai. Dari hasil refleksi mereka sehari sesudah kunjungan dan dari hasil presentasi mereka pada hari berikutnya, bisa dilihat bahwa mereka memperoleh nilai-nilai hidup yang tak mungkin didapatkan kalau hanya berada di bangku sekolah saja. Nilai yang paling menonjol adalah nilai cinta kasih dan penghargaan terhadap orang tua. Mereka berharap bisa membahagiakan orang tua mereka kelak ketika sudah tua. Dari sharing mereka tak satu pun yang menginginkan untuk mengirimkan orang tuanya ke panti wreda atau berharap dirinya kelak dikirim oleh anak-anaknya ke tempat itu.
Ketika usai para remaja mengadakan presentasi hasil kunjungan mereka dengan power point yang serba menarik dan lengkap itu, rasanya ulu hatiku tertohok. Mengapa? Kita kaum yang disebut generasi orang tua (mama-papa) terkadang melihat kaum remaja dengan pandangan kekhawatiran dan sedikit ragu. Generasi manja, generasi instan, generasi dugem, kurang daya juang, maunya bersenang-senang saja, kurang tanggung jawab, dan banyak pandangan yang kurang positif terhadap mereka.
Sekali lagi kekhawatiran dan keraguanku terhadap mereka tidak terbukti. Mengapa? Karena dengan kegiatan ini, remaja belia ini menjadi pewarta nilai kasih kepada sesamanya. Mereka secara tak sengaja mewartakan kepada oma-opa bahwa masih ada kasih dan perhatian dari sesama untuk mereka yang kadang dilupakan oleh keluaraganya sendiri di masa tua mereka. Demikian pula oma-opa juga memberikan nilai-nilai berarti kepada remaja ini. Umur boleh tua, teapi semangat tak boleh loyo. Mereka menguatkan bahwa meskipun berada di panti jompo bukan berarti tak bisa berbagi kasih. Para oma-opa pun saling membagi perhatian satu dengan yang lain. Ada simbiosis mutualisma dari kegiatan ini. Oma-opa mendapat perhatian, sedangkan para remaja mendapat nilai-nilai hidup dan pengalaman.
Ternyata di balik kemanjaan dan kecuekan mereka, mereka mamapu mewartakan kasih kepada kaum lemah. Tak perlu dengan menggmbor-gemborkan diri dengan pewartaan Injil atau menyatakan diri berbuat kebaikan dengan segala keagungannya, tetapi dengan sedikit kepedulian untuk berbagi hati, kasih yang tulus itu sudah terpancar. Tanpa mereka sadari mereka telah mewartakan kasih Tuhan dalam pelayanan sederhana mereka. Aku, guru mereka, pada hari Selasa ini, belajar banyak tentang kepedulian dari remaja belia yang lebih menyukai mi instan daripada gado-gado.
Dan akan banyak lagi pelajaran-pelajaran lain yang akan mereka berikan untukku, guru mereka. Tentu saja, aku, yang adalah seorang guru harus selalu banyak belajar dari mana pun, termasuk belajar juga mewartakan kasih Allah kepada anak didik yang dipercayakan kepadaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar