Perjalanan II (Habis):Dimuat dalam Majalah komunika Edisi Januari-februari 2008
DI PINTUMU AKU MENGETUK
“Sekarang kaki kami berdiri di pintu gerbangmu, hai Yerusalem. Hai Yerusalem yang telah didirikan sebagai kota yang bersambung rapat, ke mana suku-suku berziarah, yakni suku-suku Tuhan untuk bersyukur kepada nama Tuhan… (Mazmur 122: 2-4)
Kami lihat seluruh Kota Yerusalem Lama (Old Jerusalem) yang masyur karena kemegahan dan keindahannya. Kota Daud yang terkenal sebagai ‘Ratu’ dari kota-kota dunia. Tempat ini menjadi tanah yang disucikan oleh tiga agama besar dunia, yakni Yahudi, Kristen, dan Islam. Bagi umat Yahudi kota ini adalah simbol dari kejayaan masa lalu dan harapan mereka akan masa depan. Untuk umat Kristen, kota ini adalah kota tempat Yesus Melakukan khotbah terakhir, kota tempat Yesus mati dan bangkit kembali. Sedangkan bagi umat Islam kota ini tempat Nabi Muhamad diangkat ke surga.
Di samping sejarahnya yang kudus, kota ini juga kota yang penuh dengan cerita kesengsaraan dan penderitaan. Sejak zaman dahulu perang terus berganti, kedamaian yang didamba akan ditebus dengan tumpahan darah. Namun, kesengsaraannya tak mengurangi daya tarik dari tanah ini. Ia tetap menyimpan keagungan sejarah yang tak dimiliki oleh kota lain di dunia karena di sini pusat dari sejarah ketiga agama besar dunia. Pusat dari monoteisme yang dipertahankan pemeluknya hingga sekarang, meskipun dunia menawarkan juga kenikmatan dan kepercayaan lain.
Begitulah, pada petang hari kami memasuki kota suci ini. Hari sudah diambang senja. Lampu di sepanjang jalan sudah mulai dinyalakan. Yerusalem bermandi cahaya lampu. Itulah perbedaannnya dengan negara tetangganya yang rela bergelap gulita sedang di kota ini terang benderang. Jelas, kami memasuki kota ini dengan perasaan haru, takjub, dan sedikit ndeso.
Kami melewati dulu penjagaan dengan memeriksa ini dan itu. Bis pun meluncur menuju penginapan kami, Kedem Tower Hotel yang menjulang di antara gedung-gedung lain yang juga menjulang.
Nah, ada sedikit yang kurang sreg di hotel ini, yaitu makanannya tidak selezat di Tiberias. Kalau di Tiberias rotinya selalu fresh from the oven, hangat dan pulen, di sini karena hotelnya besar jadi menyediakannya dalam partai besar. Atau mungkin perut dan mulut kami yang sudah rindu dengan soto dan gado-gado.
Hari pertama di Yerusalem kunjungan kami ke Betlehem, yang dalam perjalanan mampir dulu di Bukit Zaitun untuk mengambil latar belakang foto rombongan kami. Wow, Bukit Zaitun yang tertulis dalam Kitab Suci memang fantastic! Bukit ini sebenarnya ada tiga puncak, yaitu puncak selatan, utara, dan tengah. Dari bukit ini kita disuguhi panorama Kota Yerusalem yang menakjubkan dengan temboknya yang berkelok, dengan ketiga puluh empat menaranya, dan delapan pintu gerbangnya yang terkenal. Beberapa nama pintu gerbang itu adalah Gerbang Baru, Damaskus, Herodes, Santo Stephen, Gerbang Emas, Gerbang Dung, Zion, dan Jaffa. Maka kata-kata pada Kitab Mazmur sekarang terjadilah pada kami: Sekarang kaki kami berdiri di pintu gerbangmu hai Yerusalem (Mazmur 122:1-2).
Dari Bukit Zaitun kami melihat ada salah satu bangunan yang mencolok di anatar bangunan lain yang rata-rata berwarna putih krem, bangunan itu adalah Dom of the Rock. Kubah bangunan ini berwarmna keemasan karena memang dilapisi emas. Karena itu sering pula dikenal dengan sebutan Kubah Emas. Bangunan suci kaum Muslim ini di dalamnya terdapat batu padas. Di tempat ini pula dan dari batu ini juga, umat Muslim percaya bahwa Nabi Muhamad terangkat ke surga. Peristiwa ini diperingati pada hari raya Isra Mi’raj. Tak jauh dari situ berdirilah dengan megah Mesjid Al Aqsa. Mesjid ini berdiri hampir di atas bagian situs tempat istana Raja Salomo didirikan.
Tembok sebelah barat dari Yerusalem dikenal dengan Tembok Barat atau Tembok Ratapan. Tembok ini dipuja sebagai peninggalan terakhir dari Bait Allah yang terkenal itu. Mengapa disebut Tembok Ratapan? Selama periode pendudukan Romawi, orang Yahudi dilarang memasuki Yerusalem. Nmaun, pada pendudukan Byzantium, orang Yahudi diperkenankan untuk masuk Yerusalem sekali dalam setahun, yaitu pada peringatan kehancuran Bait Allah. Nah, pada saat itulah hingga sekarang begitu mereka masuk ke dekat tembok ini mereka meratapi kehancuran Bait Allah. Maka, jadilah Tembok Ratapan. Tembok ini sekarang digunakan juga untuk meratapi yang lain, misalnya beratnya kehidupan. Tempat ini sekarang merupakan tempat untuk berdoa.
Setelah kami puas memandang kota Yerusalem dari kejauhan, akhirnya kami melanjutkan perjalanan kami ke Betlehem. Tempat ini berada di wilayah kekuasaan Palestina sekarang. Kami harus melalui penjagaan yang ketat lagi karena pindah ke negara lain, padahal hanya dibatasai oleh tembok saja. Philips, local guide kami harus keluar dari rombongan karena dia orang Yahudi yang tidak boleh masuk wilayah itu. Namun, untungnya sopir bis kami orang Arab, jadi boleh memasuki wilayah Palestina. Smapai segitunya permusauhan mereka? Itu pertanyaan dalam hati saya. Sudahlah itu bukan urusan kita.
Ini dia Betlehem. Kami menginjak tanahnya dan berdiri di atasnya sekarang. Local guide Betlehem sudah menyambut kami dengan bahasa Inggris yang sangat fasih, tetapi juga sangat ngebut. Kami dibawa memasuki komplek Betlehem dengan bangunan khas Israel, tembok batu. Akhirnya kami berjalan menuju gereja yang letaknya ada di bagian bawah bangunan ini. Kami akan merayakan Ekaristi di salah satu gereja di komplek basilika ini. Gereja yang kami masuki dahulunya tempat para tentara Ksatria Perang Salib berkumpul. Bangunan gereja ini berdinding batu. Ada kekhasan dari gereja ini, yaitu tidak ada pengeras suara di dalamnya, tetapi bisa memperdengarkan suara pastor yang memimpin misa dengan sangat jelas.
Khotbah Romo Roby di tempat ini adalah tentang silsilah Yesus yang diambil dari Injil Matius 1: 1-17. Beliau berbicara tentang peran kaum perempuan untuk datangnya jalan keselamatan. Salah satu perempuan yang memegang peranan utama untuk perjalanan gereja dan juga keselamatn itu adalah Maria, ibunda Yesus. Bahkan, hingga sekarang Maria adalah Bunda Gereja yang selalu mengikiti perjalanan anak-anaknya.
Sesudah Ekaristi, acara dilanjutkan dengan berkeliling ke seluruh area Basilika Betlehem. Satu tempat yang sangat berkesan bagi kami di sini adalah, situs gua kelahiran Yesus yang bergambar bintang di atasnya. Bintang itu disebut Bintang Betlehem. Para peziarah akan mencium bintang yang diletakkan pada gua di bawah altar. Pada saat kami satu persatu antri untuk mencium bintang itu, keharuan menyerbu kami semua. Tak ada satu pun yang tak meneteskan air mata.
Selesai berkeliling di Basilika Betlehem, kami menuju bis untuk keluar dari wilayah Palestina. Philips kembali bergabung bersama kami di jalan sesudah memasuki wilayah Israel. Perjalanan kami berikutnya ke Laut mati. Dead Sea, we are coming!
Perjalanan ke Laut Mati melewati gurun-gurun pasir nan gersang. O, koyo ngene toh se jenenge gurun! Nah, lho ndeso-nya keluar lagi. Romo Roby menjelaskan ada salah satu penemuan arkeologi terbesar di wilayah ini, tepatnya di Qumran. Mungkin bagi umat yang mengikuti kursus kitab suci pernah mendengar nama ini. Di sini ditemukan ratusan gulungan kitab tua. Gulungan – gulungan kitab ini ditemukan oleh seorang gembala ternak secara tak sengaja. Selain itu juga kami ditunjukkan kota Yeriko yang terlihat samar dari dalam bis kami. Jadi teringat Zakeus kalau berbicara tentang Yeriko.
Sebelumnya mamapir dulu di restoran yang berada di pinggir jalan dan di tengah-tengah gurun pasir. Makan siangnya lumayan dibandingkan di hotel, tetapi kurang mantap karena tak ada sambel itu kata Ibu Sulis, teman saya.
“Nah, perut sudah terisi, sekarang giliran turun ke laut. Ayo perhiasan dilepas dulu! Bawalah air tawar, ambil dari kran untuk membilas mata kalau terciprat air laut. Konsentrasi garamnya 30%, jadi tak ada kehidupan di dalamnya. Kuman yang ada di badan kita juga akan mati.” Begitulah Mas Tino, tour leader kami memberi petunjuk.
Akhirnya dengan busana yang siap nyemplung kami masuk ke air garam berkonsentart tinggi ini. Wow, perih sekali! Airnya licin. Ketika saya cicip sedikit, rasanya asin menuju pahit. Semua asyik mengapung. Badan besar? Jangan takut pasti bisa mengapung di sini.
Senin, 15 Oktober 2007. Hari ini agenda kami: Via Dolorosa, Makam Suci, Bukit Sion, Tembok Ratapan, Gereja Ayam Berkokok, Gereja Kenaikan, Gereja Bapak Kami, Gereja Yesus Menangis, dan Taman Getsemani.
Hari masih cukup pagi untuk ukuran di sini. Hari itu diawali dengan kegiatan Jalan Salib. Perjalanan kami melalui pasar tradisional yang becek, licin, dan kotor karena sisa kegiatan kemarin belum dibersihkan. Romo Roby menjelaskan bahwa jangan berharap mengadakan Jalan Salib dalam keadaan tenang seperti yang kita lakukan di gereja kita. Jalan Salib yang dijalani Yesus memang dalam keadaan hiruk pikuk karena melalui pasar yang masih buka dan ditonton oleh orang banyak yang ingin melihat penghukuman itu. Betul saja saat kami melalui stasi-stasi (perhentian), kami bertemu dengan orang lewat, orang menawarkan barang dagangan, dan truk sampah yang sangat berisik.
Kami memasuki pelataran Bukit Golgota dengan komplek gereja yang sangat besar. Rombongan langsung menuju kapel yang di dalamnya terdapat potongan tiang tempat Yesus diikatkan pada saat sedang didera. Kami mengadakan perayaan Ekaristi di tempat ini. Dalam Ekaristi ini Romo Roby berbicara tentang menjalankan tugas sampai pada kesudahan, tentang nilai pengorbanan yang membawa kehidupan, dan ketulusan dalam melakukan tugas .
Selesai itu, kami menuju Bukit Kalvari tempat Yesus disalibkan. Dengan teratur kami membentuk formasi barisan untuk mengantri mencium tempat salib-Nya dipancangkan. Suasana haru seperti di Betlehem kembali kami rasakan. Dengan tertib, kami satu persatu mencium tempat itu.
Berikutnya, kami turun menuju batu tempat jenazah Yesus dimandikan. Batu itu selalu dalam keadaan basah dan wangi karena selalu diguyur dengan minyak wangi. Banyak orang mengusapkan saputangan atau menggulingkan rosario di atas batu wangi itu. Saya pun mencari saputangan dan mengusapkannya. Sampai saat ini saputanagn itu masih wangi.
Kembali kami membuat antrian di depan Makam Kudus. Makam ini ada tertulis di dalam Injil Yohanes 19:41- 42. Yesus dibaringkan di makam yang berada di kaki Kalvari. Makam ini sebenarnya dibuat dari potongan karang yang dibuat oleh Yusuf dari Arimatea, dahulunya ia seorang anggota lembaga pengadilan. Makam ini terdiri dari dua bilik. Bilik pertama digunakan untuk para peziarah, sedangkan bilik kedua untuk membaringkan jenazah. Di dalam bilik kedua ada lempengan marmer yang menandai tempat jenazah Yesus dibaringkan. Kami memasuki bilik pertama dan menunggu untuk masuk tiga-tiga ke dalam bilik kedua. Seorang biarawan Ortodoks Yunani mengatur keluar masuk di pintu masuk bilik kedua.
Puas kami berkeliling di Basilika Kalvari, kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki melalui pasar tradisional yang mulai ramai. Akhirnya kami sampai di jalan menuju Tembok Ratapan. Masuk ke pelataran tempat ini harus melalui pemeriksaan yang ketat dengan melalui X-ray dan penggeledehan tubuh yang dilakukan didua jalur terpisah antara lelaki dan perempuan seperti yang sudah disinggung di atas.
Pada saat kami memasuki pelataran Tmbok ratapan keadaannya sudah sangat ramai dengan para pengunjung, baik yang orang Yahudi dengan tujuan berdoa, maupun non-Yahudi yang sekedar melihat-lihat. Kebetulan hari itu ada upacara Barmitzvah, yaitu upacara inisiasi anak laki-laki yang berusia 13 tahun. Mungkin seperti komuni pertama atau sambut baru dalam tradisi Katolik. Menurut local guide kami, anak yang sudah melalui upacara ini berhak untuk membaca Taurat. Anak itu dianggap sudah dewasa secara iman. Ada tetabuhan di pelataran laki-laki. Sayang, saya tidak bisa masuk pelataran itu karena saya perempuan. Jadi, saya harus puas dengan mengintip dari kejauhan di balik punggung orang yang berjejal.
Perjalanan berikutnya, kami menuju Bukit Sion. Di tempat ini kami mengunjungi tiga tempat, yaitu Makam Raja Daud, Senakel atau Kapel Perjamuan terakhir yang juga tempat Yesus menampakkan diri kepada para murid-Nya sesudah Ia bangkit, dan Basilika Dormation ( tempat Bunda Maria dibaringkan). Bukit Sion dikuduskan oleh ketiga agama.
Sesudah itu kami melanjutkan perjalanan ke Gereja Ayam Berkokok. Sebelunya, kami makan siang di salah satu restoran Cina yang berada di kota Yerusalem. Sesudah sekian lama makan ala Israel, kini kami menemukan menu Asia. Rasa rindu terhadap makanan Indonesia agak terpuaskan meskipun belum semantap yang diharapkan.
Komplek Gereja Ayam Berkokok adalah tempat yang mengingatkan kita pada kisah Injil saat Petrus menyangjkal Yesus. Selain itu di komplek ini masih ada peninggalan situs rumah imam kepala, Kayafas. Di tempat ini pula ditemukan satu kamar bawah tanah tempat tahanan. Di kamar bawah tanah ini diyakini Yesus juga mengalami penyiksaan yang berat dari para imam Yahudi sebelum diadili. Di sebelah kiri gereja ditemukan jalan naik yang bertrap sepereti jalan tanjakan. Jalan yang lengkap dengan tangga batunya dipercaya sebagai jalan yang dilalui Yesus.
Perjalanan kami lanjutkan menuju Kapel Kenaikan dan Gereja Bapak Kami. Kedua tempat itu sebenarnya berada di Bukit Zaitun bagian puncak tengah. Saya agak shock setelah tahu bahwa Kapel Kenaikan sudah dijadikan mesjid pada zaman Sultan Saladin. Selain itu haknya sampai sekarang ada pada keluarga Sultan Saladin. Di kapel ini, kami juga melihat ada batu yang bergambar telapak kaki. Bekas telapak kaki pada batu itu diyakini sebagai bekas kaki Yesus pada saat naik ke surga.
Turun sedikit dari Kapel Kenaikan, kami menuju ke Gereja Pater Noster. Gereja ini merupakan tempat Yesus mengajarkan doa kepada para murid-Nya yang kita kenal sebagai doa Bapak Kami. Pada tembok pelataran gereja ini terdapat tulisan doa Bapak Kami dalam berbagai bahasa. Dari tanah air kita ada doa dalam bahasa Indonesia, bahasa Jawa, dan bahasa Batak. Di sini kami mengucapkan doa Bapak kami dengan penuh khidmat.
Sesudah itu, kami terus berjalan kaki menuju Bukit Zaitun tempat kami mengambil foto rombongan pada hari pertama tiba di Yerusalem seperti diceritakan di atas. Dari situ kami terus mengikuti jalan menurun menuju lereng bukit tempat Gereja Yesus Menangis (Dominus Flevit ) didirikan. Bukit itu berdekatan dengan Lembah Kidron, komplek pemakaman Yahudi. Gereja ini didirikan untuk mengenang saat menjelang sengsara Yesus, tepatnya sebelum Yesus dielu-elukan dengan daun palma, yang kita kenal dengan Minggu Palma (lih. Luk.19:43).
Ketika hari sudah menjelang petang, kami kembali ke hotel untuk bersiap-siap nanti malam mengadakan ibadat di Taman Getsemani. Makan malam pun diajukan sejam dari biasanya. Kembali kami naik bis untuk menuju Taman Getsemani yang sebenarnya berdekatan dengan gereja Dominus Flevit yang dikunjungi tadi sore. Keaslian dari taman ini masih dipertahankan sampai sekarang. Di tempat ini kita mengenangkan saat Yesus mengalami ketakutan menghadapi sengsara-Nya (Luk.22-44). Peristiwa ini digambarkan di atas altar utama Gereja Getsemani. Di tempat ini kami juga mengalami hal serupa yang dialami para rasul saat Yesus mengalami ketakutan, yaitu mengantuk. Rasanya berat sekali kelopak mata untuk terbuka. Namun, Romo Roby membawakan ibadat ini dengan piawai sekali sehingga makin lama kantuk pun mulai menghilang.
Hari ini, Selasa tanggal 16 Oktober 2007 penjiarahan kami di Yerusalem akan berakhir. Nanti malam, kami sudah akan terbang kembali ke Indonesia. Agenda kami hari ini adalah: chek out dari hotel, ke Gunung Nebo, masuk Jordania, masuk Abudabi, terbang ke Indonesia.
Kami menaiki bis sesudah semua koper masuk ke bagasi. Bis kembali melaju menuju perbatasan. Kami benar-benar meninggalkan Yerusalem yang memberikan sejuta kenangan manis. Kota tua yang bersejarah ini sebentar lagi akan menjadi masa lalu bagi kami. Kami berpisah dengan orang- orang yang sudah melayani kami selama delapan hari di Yerusalem. Kami berpisah dengan para local gide yang bersemangat, para sopir bis yang membawa kami ke tiap tempat, dan para pelayan hotel yang ganteng-ganteng da selalu siap melayani. Di kota ini cerita Kitab Suci menjadi hidup. Kami berganti bis di perbatasan. Ritual pemeriksaan di perbatasan pun kembali terulang lagi.
Local guide kami dari Jordania sudah siap di bis menyambut kami dengan senyumannya yang menjual pariwisata negrinya. Dia bercerita seputar Jordania. Sementara itu, bis terus melaju melewati pemandangan khas Timur Tengah: ladang kurma dan jaitun, pemukiman dengan rumah batu, dan tentu saja padang gurun.
Akhirnya bis berhenti di area parkir Gunung Nebo. Komplek situs Gunung Nebo yang mengingatkan kita pada Kitab Perjanjian Lama dengan tokoh utama Musa pun sudah kami masuki. Matahari bersinar dengan teriknya. Udara cerah sekali. Namun, angin gurun menghalau hawa panas di tempat itu. Pertama kami menuju sebuah tiang yang mengingatkan kita pada kisah bani Israel digigit ular di padang gurun dan Tuhan memerintahkan Musa membuat tiang untuk menggantungkan ular tembaga agar orang yang digigit ular memandang ular tembaga itu dan ia bisa selamat. Tiang itu tinggi sekali. Dari tempat itu kita bisa melihat panorama yang mempesona yaitu seluruh tanah Israel dari kejauhan, padang gurun Yudea, Laut Mati, serta kelokan Sungai Jordan yang setia mengalir. Kami memasuki juga gereja di komplek Nebo. Di dalam gereja ini ditemukan mozaik kuno
Romo Roby menjelaskan bahwa tiang ular tembaga merupakan simbol Salib Kristus yang membawa keselamatan dan kehidupan bagi orang yang percaya kepada-Nya. Romo juga menjelaskan Sungai Yordan yang melambangkan kehidupan berakhir di Laut Mati yang justru menjadi air mati. Hal itu menjadi perlambang bahwa hidup manusia pun bisa menjadi seperti itu. Kalau kita tidak menyalurkan berkat dari Tuhan dalam hidup kita, maka semuanya akan berakhir sia-sia. Di sisi lain manusia juga mempunyai iman. Iman seseorang membawa pada kehidupan yang bahagia, tetapi bila iman itu mandeg, maka lama kelamaan ia akan mati. Karena itu iman hendaknya jangan mandeg seperti air di Laut Mati yang tidak mengalir. Iman harus terus mengalir, berkembang, dan hidup sehingga bisa membawa pada suatu hasil yang baik, yaitu hidup yang berkualitas, seperti air Sungai Yordan yang menyuburkan.
Selesai kami berkeliling di Gunung Nebo, kami memasuki bis lagi dan meneruskan perjalanan ke kota Amman untuk menaiki pesawat menuju kota Abudabi di negri Emirat Arab. Sebelumnya kami makan siang dulu di salah satu restoran cina yang ada di kota Amman. Makanannya enak, tetapi makannya agak tergesa-gesa karena mengejar waktu untuk bisa sampai ke bandara dengan leluasa.
Mulailah ritual masuk ke bandara kami alami lagi: pemeriksaan paspor, menyeret koper, memasukkannya di X-ray, pemeriksaan badan, dan yang paling menjenuhkan adalah menunggu.
Dari Banadara Queen Aulia, Jordania kami terbang menuju Abudabi. Di kota ini kami tidak menginap seperti berangkatnya. Kami menunggu di bandara kira-kira 5 jam sampai pesawat yang akan membawa kami terbang. Waktu yang tidak sebentar untuk menunggu. Untuk membunuh rasa bosan, kami habiskan dengan tidur di bangku, jalan-jalan seputar tempat menunggu, berbelanja membeli coklat dan kurma, atau bercanda denagn teman-teman.
Akhirnya panggilan dalam bahasa Arab dan Inggris mempersilakan penumpang pesawat dengan nomor penerbangan kami pun terdengar. Segera barisan pun terbentuk. Wajah lelah karena penjiarahan dan terlalu lama menunggu terpancar dari wajah kami. Namun, rasa gembira akan bertemu keluarga dan pulang ke tanah air pun mengalahkan rasa lelah kami. Yang jelas keinginan menikmati makanan favorit masing-masing di tanah air pun menjadi salah satu semangat untuk ingin cepat sampai di tanah air.
Akhirnya uacapan selamat tinggal untuk negri yang sudah kami injak dan kami jiarahi pun terucap dari dalam hati masing-masing. Selamat tinggal Yerusalem, entah kapan kami mengunjungimu lagi. Namun, satu legenda pribadi kami sudah terpenuhi di tanah ini. Terima kasih untuk teman-teman seperjalanan, untuk para Romo, khususnya Romo Robby Wowor, dan yang paling istimewa rasa terima kasih kami untuk Suster Francesco Marianti, OSU atas terselenggaranya perjalanan yang indah ini.
November ‘07
buseeetttt
BalasHapusmemang bagus yaa refleksinya...
tapi kok panjang banget ya, Bu??
*mettaupil*
Ya ampun tidak begitu juga ya. Ya itu namanya ungkapan isi hati.
BalasHapus