Saya teringat bahwa pada bulan November 2009 saya pernah membuat catatan tentang kehilangan nama baik. Catatan itu didasarkan pada peristiwa murid saya kelas IX angkatan 2009-2010. Di bawah ini sebagian kutipan yang diambil dari catatan tersebut:
Hari ini, Rabu, 20 November 2009, aku belajar dari seorang anak remaja berusia 14 tahun tentang arti mempertahankan nama baik, tetapi akhirnya justru kehilangan nama baik tersebut. Leo, sebut saja begitu namanya, hari ini mendapat pelajaran berarti dalam hidup dia. Karena dia berusaha menghilangkan jejak agar namanya tidak tercemar untuk suatu kecerobohan dan kesalahan yang dia lakukan, justru namanya menjadi tercemar karena dia sendiri terbelit dengan skenario penyelamatan diri yang dia lakukan yang menurutnya pasti akan berhasil. Dengan skenario yang dia buat untuk mempertahankan nama baik itu, dia mendapat pelajaran dijauhi teman-teman setimnya karena dianggap bebrbuat tidak jujur. Namun, yang aku kagumi remaja putra ini begitu berani melakukannya dan akhirnya mengakuinya.
Saya bercermin untuk diriku sendiri. Saya juga pernah melakukan hal demikian. Saya berusaha mempertahankan sesuatu dalam hidupku, nama baik, materi, pertemanan, atau apa pun. Namun, pada saat kita mempertahankan itu semua, ternyata justru malah kehilangan.
Dengan begitu saya melihat bahwa kalau begitu apa yang ada pada diri kita dan di sekitar kita tidaklah abadi. Apa yang ada pada hari ini, belum tentu ada untuk hari esok. Apa yang hari ini menjadi bagian dari diri kita, bisa saja hari kemudian menghilang. Artinya kita tak mempunyai apa-apa, bahkan nyawa dalam tubuh kita, kita tak memilikinya.
Dengan demikian saya mengatakan pada diri sendiri bahwa semua itu adalah titipan. Apa yang ada pada saya semata-mata karena kehendak-Nya. Pada saatnya, Dia yang mempunyai akan mengambilnya kembali, saya tak bisa menghindar dan mengelak. Ambillah karena semuanya bukan milikku.
Saya pernah merasa kuatir dengan nama baik. Hal ini terjadi ketika nama suami dan anak laki-laki (yang remaja) diungkit dalam suatu kejadian yang menurut saya menjatuhkan nama baik mereka. Saya merasa sakit hati dan kautir kalau mereka nanti namanya akan tercemar. Peristiwanya berkaitan dengan masalah dalam keluarga besar.
Sempat saya berpikir untuk menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya di hadapan keluarga besar. Namun, anak saya yang perempuan mengatakan hal itu tidak perlu karena tidak akan berpengaruh.
Peristiwa itu terjadi 3 hari sebelum saya masuk rumah sakit untuk operasi sesar melahirkan Abhimanyu. Tepatnya hari Jumat, tanggal 16 Juli 2010. Sungguh suatu kejadian yang tak diduga. Perasaan yang dominan saat itu adalah sakit hati. Selama 3 hari itu saya habiskan waktu dengan menangis dan berdoa. Selain sakit hati juga saya kautir dengan nama baik suami dan anak laki-laki saya.
Sesudah berdoa sedikit ada ketenangan dan pencerahan. Saat itu saya hanya berpikir: nama baik bukanlah segalanya. Nama baik tak perlu dibela. Kenyataan yang akan membuktikan seperti apa kualitas seseorang. Kalau seseorang itu memang baik, maka akan terbukti bahwa pribadinya memang baik. Nama baik tidak perlu dibela. Jadi saat itu saya merasa lebih tenang dengan pencerahan itu. Akhirnya saya menuju rumah sakit untuk menghadapi oprasi sesar dengan hati yang tenang.
Peristiwa 3 hari prakelahiran itu sekarang masih saya ingat. Saya masih merasakan bagaimana sesaknya perasaan saya kala itu. Namun, waktu, tangisan, dan juga doa membuat saya bisa lebih jernih melihat semuanya. Akhirnya saya bisa mengatakan saya tidak perlu kuatir dengan nama baik. Biarlah kita lakukan yang baik. Bila ada orang beranggapan bahwa perbuatan itu tak ada artinya biarlah dia beranggapan demikian. Ada yang lebih mengetahui hal yang paling benar. Tidak perlu risau dengan nama baik.
Saya tahu nama baik suami saya dan anak laki-laki saya saat beberapa waktu lalu nampaknya pernah ‘dicemarkan’ dengan cerita ini dan itu di kalangan keluarga besar. Namun, saya akhirnya tahu bahwa tidak semua orang menerima begitu saja cerita tersebut. Ada juga pihak keluarga yang mengkaji dan melihat kenyataannya. Meskipun saya tahu ada juga pihak keluarga yang juga percaya dengan cerita yang dituturkan tentang suami dan anak laki-laki saya.
Saya akhirnya memutuskan untuk berpendirian biarlah orang mempunyai hak untuk mempercayai atau tidak mempercayai sesuatu. Itu bukan urusan saya, meskipun itu menyangkut nama baik suami juga anak saya. Suami dan anak saya saja yang berhubungan langsung dengan hal ini tidak ambil pusing. Bagi mereka biarlah orang /kerluarga besar beranggapan apa pun, yang penting bagi mereka mereka sudah berlaku benar.
Apa lagi anak saya dia benar-benar tak menghiraukan hal ini. Dia menjalani hidup seperti biasanya: menikmati musik, bermain musik, melayani di gereja, sekolah, mengerjakan tugas sekolah, bercanda, nonton jajan jazz, main game, dll. Tak ada tanda-tanda kuatir dengan nama baiknya. Saya, ibunya, malah belajar dari dia.
Sejak peristiwa itu saya tak pernah terlalu kuatir dengan nama baik dan anggapan orang tentang diri saya dan nama baik saya. Saya hanya peduli apa yang saya lakukan adalah benar di hadapan Allah juga manusia. Kalau kita bertujuan benar dan berlaku benar akhirnya akan terlihat yang mana emas murni dan yang mana imitasi.
Saya kagum dengan anak laki-laki saya (Aga) dan suami saya (Bob) dalam menghadapi masalah nama baik dalam keluarga besar kami. Mereka tenang dan kalem. Tidak banyak bicara, tidak menyatakan reaksi. Tetap adem. Wah… mereka memang hebat! Prinsip mereka: biarkan saja mau bicara apa, yang penting kan kita tidak seperti apa yang dibicarakannya. Nanti juga diam sendiri kalau sudah lelah. Akhirnya juga orang tahu mana yang benar.
(Hari Ibu, 22 Desember 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar