Niat baik untuk membantu orang lain itu baik, apalagi kalau itu direalisasikan. Namun, tidak semua niat baik itu mendatangkan kebahagiaan kepada seseorang yang akan kita beri kebaikan. Bahkan, bisa sebaliknya, niat baik bisa mendatangkan kecurigaan dan salah penerimaan bagi orang lain.
Nampaknya kita harus berhati-hati dengan niat baik bila kenyataannya menjadi kebalikan dari harapan semula untuk menolong orang lain dan membuat orang lain berkembang. Kala niat baik itu diartikan salah oleh pihak tertentu memang akhirnya menjadi merepotkan.. Namun, tidak berarti kita menyerah untuk tidak melakukan niat baik untuk menolong. Mungkin ini lebih kepada harus lihat pada situasi, kondisi, dan latar belakang orang yang akan ditolong.
Ada kejadian kita berniat baik untuk menolong seseorang, tetapi orang tersebut salah sangka sehingga yang terjadi adalah kerenggangan relasi. Ketika kita berniat baik untuk menolong seseorang kita harus berani untuk menerima apa pun yang terjadi belakangan. Resiko yang diperoleh, mungkin bukan ucapan terima kasih yang didapatkan malah cacian yang kita tuai. Namun, bila memang kita berani menangggung konsekuensi dari niat baik kita, perbuatlah apa yang kita niatkan. Berbuat baik tidak tidak perlu berpikir apa yang kita tuai di belakang hari. Berniat baik aadalah baik. Berbuat baik itu relaisasinya. Sandungan yang didapat ketika usai melakukan perbuatan baik kita, itu namanya resiko.
Seperti apa yang pernah saya ungkapkan dalam renungan tentang Penghargaan bahwa kita melakukan kebaikan bukan untuk mendapat penghargaan. Bila kita memperoleh penghargaan di akhir cerita kebaikan kita, itu namanya bonus. Bila mendapat kritikan, itu namanya membuat kita melihat lagi tentang ketidaksempurnaan kita. Kalau mendapat cacian itu berarti kita harus melihat ulang proses yang kita lakukan, kemungkinan ada yang tak berkenan pada orang tertentu. Bila samapai putus relasi, itu namanya nasib.
Bila sampai putus relasi pengalaman saya adalah: menjauh beberapa jenak untuk melihat segalanya lebih objektif, lebih jernih, tidak emosional, dan lebih berkepala dingin. Jangan mendekat bila membaca namanya saja hati masih panas bergejolak. Menjauh untuk meredakan dan mengendalikan segalanya menjadi lebih baik. Menjauh bukan berarti kita memutuskan.
Orang yang berani menjauh untuk melihat lebih objektif adalah orang yang berani juga untuk terjun ke dalam situasi seburuk apa pun. Orang yang berani menjauh adalah orang yang berani menyelam jauh ke dalam nubari yang terkadang begitu menyakitkan. Orang yang berani menjauh adalah orang yang berani menerima rasa sakit sebagai dasar untuk mengampuni.
Saya sangat tahu hal itu sangat sulit dan tentunya sangat menyakitkan. Karena begitu kita menjauh betapa kita merasa kita ini seperti orang kudisan yang terkucil dan ditelantarkan. Betapa kita menjadi seperti orang yang terdampar di negri yang asing. Terpojok dalam diam yang entah kapan akan berakhir. Terhenyak pada kenyataan bahwa kita tersingkir dan kalah. Celakanya lagi kita juga tak bisa memutuskan apa yang akan dilakukan dan tak tahu kapan semuanya akan berakhir. Itu yang sangat menyiksa.
Resep yang pernah saya lakukan kala saya menjauh adalah: beraktivitas menjalankan kehidupan yang biasa kita jalani. Berdoa lebih banyak dan menangis lebih sering. Rasa sakit yang terasa menusuk itu perlahan hanyut terbawa aliran air mata dan akhirnya dengan perlahan waktu dengan keajaibannya menyembuhkan luka itu. Satu lagi mencari masukan energi positif sebanyak-banyaknya dari bacaan atau dari alam serta orang-orang yang membuat saya kuat.Resep ini terasa manjur. Buktinya saya tetap bertahan hingga saat ini. Hingga akhirnya bila waktunya tiba semuanya akan kembali seimbang.
Enung Martina
Tidak ada komentar:
Posting Komentar