Kesalahpahaman dan
pertikaian bukan karena konflik kepentingan, melainkan karena kurangnya
pemahaman akan satu dengan yang lain dan juga karena pengkotak-kotakan serta
labeling yang diterapkan pada orng lain.
Tidak seorang pun di
dunia ini lebih baik dari yang lain. Yesus berkata: Mengapa engkau katakana aku
baik? Tidak ada seorang pun yang baik selain daripada Allah. Ini berarti tak ada
seorang pun memiliki hak untuk menilai, menghakimi, apalagi mengadili orang lain.
Itu kata orang-orang bijak. Nah, saya ini belum termasuk golongan orang yang
bijaksana. Saya hanya terkadang bijaksini saja. Artinya bijaknya hanya di sini,
sesaat, sesudah itu tak bijak lagi. Terkadang saya ini OD. Bukan over dosis,
tetapi omong doang. Saya agak malu menuliskan refleksi ini sebetulnya karena saya sadar, saya masih
jauh dari hal itu. Saya ini masih suka gossip, suka melabel orang, suka terbawa
menyalahakan orang, bahkan mungkin mengadili. Sebenarnya maunya roh saya sih
tidak begitu. Tapi itu, si lidah memang benar-benar tidak bertulang . Lidah itu
benar-benar daging tho. Karena itu,
dia sangat lentur. Mudah bekelit dan mudah membelit. Itu dia barangkali yang
dikatakan Kitab Suci bahwa keinginan daging lebih kuat daripada keinginan roh.
Roh saya merindukan
Tuhan dalam saat doa dan hening. Namun, keinginan daging saya lebih suka
melajutkan aktivitas untuk melajutkan pekerjaan rumah, pekerjaan sekolah, berselancar
di dunia maya, atau mengobrol ngalor ngidul tak tentu arah. Waduh kok ya keinginan
daging saya ini kuat banget ya. Lha saya ini tahu bahwa menjaga kesehatan itu
juga bagian dari iman untuk menjaga bait Allah karena tubuh itu adalah
bait-Nya. Akan tetapi saya masih saja suka ngemil klethikan yang gurih-gurih dan berminyak, yang digoreng-goreng, dan
kemeriuk itu sungguh menggoda iman
saya. Boro-boro seperti pembantu saya,
Mbak Yanti , yang puasanya getol selama Ramadhan ini. Dia itu buruh
nyuci - nyetrika dan nyapu-ngepel dari pintu ke pintu, tapi ya puasanya kok ya…
mulus gitu lo. Yang saya tahu, dalam satu hari ada dua rumah yang dia garap. Haduhhh, ternyata
kok ya tidak mudah menahan godaan itu. Abot tenan!
Lantas saya berpikir
mengapa bisa begitu ya? Mbak Yanti kuat berpuasa dari saur sampai bedug magrib
berkumandang. Sementara saya menahan untuk tidak makan goreng-gorengan saja
susahnya setengah urip. Ternyata
rahasianya ada pada NIAT. Mbak Yanti itu ketika akan berpuasa mengucap niat
dengan doa. Nawaitu
shauma sahri ramadhana Kullihi Lillahi ta’ala. Artinya : Sengaja aku berpuasa
sebulan pada bulan Ramadan tahun ini kerana Allah Taala.
Lihat! Itu ajaibnya
sebuah niat yang dibawa ke dalam doa! Saya merenungkan makna dari doa di atas,
dan saya merasa minder! Pembantu saya lebih religious daripada saya!
Religiousitas seseorang tidak diukur dari pembantu antau majikan, dari kaya
atau miskin, dan dari intelek atau bodohnya seseorang.
Satu hal lain yang
tentunya dijalani pembantu saya dalam melakoni puasanya adalah : dia iklas! Itu
juga kunci dalam menjalankan segala sesuatu. Saya KO kedua kalinya! Lha, saya
ini terkadang masih menggerutu (meski di dalam hati sekali pun) untuk menjalai sesuatu. Benar-benar saya
kalah telak dengan pembantu saya dalam hal ini.
Saudara-Saudari, saya
ini terkadang merasa sudah menjadi orang yang beriman, orang yang saleh karena
menjalankan kewajiban agama saya. Saya ke Gereja untuk mengikuti Ekaristi, saya
berdoa pribadi, dan saya juga ikut doa dalam komunitas. Rupanya, itu semua
belumlah cukup, bila semua hanya ada di permukaan saja. Hanya di luar, hanya
fisik, hanya rutinitas, hanya sebatas kewajiban. Semua yang saya lakukan itu
tidak samapai inti, tidak mendalam, tidak menyentuh yang hakiki, tidak
menembus sampai ke ruh saya. Semua
sia-sia. Percuma.
Romo Thomas Hidya
Tjaya, S.J. dalam bukunya Peziarahan Hati
berkata bahwa kita berdoa harus membuka
hati . Hanya dengan hati yang terhubung pada Tuhanlah kita dapat mengalami dan
merasakan keindahan kasih Tuhan secara langsung. Keindahan doa hanya dapat
dirasakan kalau kita menggunakan seluruh hati dalam berdoa.
Saya tahu bahwa doa
saya belum sampai pada level seperti itu. Mungkin kalau anak sekolah saya baru
belajar melek huruf sedikit. Namun, saya tetap percaya meskipun tingakat iman
dan doa saya baru level anak TK-B, Tuhan tetap juga menyayangi saya.
Sekarang ini kalau saya
ke Gereja dengan niat mengikuti Ekaristi dengan khusyuk, rupanya belum
tercapai. Saat ini kalau Saya ke Gereja dengan anak bontot saya yang berusia 2
tahun itu, menjadi sebuah perayaan Ekaristi di lapangan parkir St. Ursula. Maklum
anak usia seperti itu belum bisa duduk manis di dalam Gereja. Meskipun begitu,
saya tetap ke Gereja membawa anak saya dan dibawa sendiri, bukan diserahkan pembantu.
Saya lebih percaya kalau ibunya yang memegang hasilnya akan berbeda dengan
ketika orang lain yang memegang. Repot.
O, itu pasti. Cape dan pegal. Itu juga betul. Maklum sudah tua. Bagi saya,
membawa anak ke Gereja merupakan tugas
orang tua.
Itulah yang bisa saya
lakukan sekarang. Saya melakoninya. Saya sedang
belajar iklas. Saya belajar dari Mbak Yanti yang melakoni semuanya
dengan begitu saja. Mengalir tanpa beban. Meski saya sadar bahwa keinginan
daging saya lebih dominan daripada kehendak roh saya, saya tetap yakin bahwa
kalau kita belajar dan berusaha pasti kita bisa melakukannya..
(Bulam Ramadhan 1443 H.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar