Ada banyak pengalaman yang tidak dapat diceritakan dan
tidak terceritakan. Ada kalanya kita merasa apa yang kita lakukan dan alami
sepertinya tak mendapat penghargaan. Kita bekerja untuk diri sendiri, keluarga,
atau untuk perusahaan/ yayasan. Mungkin anda dan saya bekerja sedemikian rupa hingga
waktu untuk diri sendiri saja tak punya. Kita merasa ketika kita melakukan
pekerjaan tersebut, waktu berlalu begitu cepat. Namun, kita merasa semua yang
dilakukan pun seolah berlalu begitu saja. Tak ada apresiasi, tak ada arti.
Bahkan, bisa jadi pernah mengalami sudah lelah bekerja masih mendapat bonus
omelan, celaan, atau kemarahan, bahkan
lebih keras lagi makian. Seolah hal yang sudah dilakukan dengan segenap jiwa
dan raga tadi begitu saja menguap di udara. Boro-boro ucapan terima kasih atau
apresiasi, yang kita tuai adalah sakit hati. Lantas hati kita berteriak minta
keadilan. Di manakah keadilan?
Namun, bila kita duduk untuk merenungkannya serta membuka
hati bahwa semua hal baik yang pernah
dilakukan ada gunanya untuk diri kita dan orang lain. Dan, satu hal yang lebih
penting, hal tersebut di mata Tuhan.
Teringat dengan apa yang Romo Thomas Tj, SJ. katakan: bahwa kita melakukan segala sesuatu hendaknya
dengan hati terbuka. Dengan membuka hati, maka kasih Tuhan yang selama ini
sudah diberikan-Nya untuk kita, bisa kita terima dengan baik. Kuncinya adalah
pada membuka hati.
Seringnya kita melakukan pekerjaan kita baik di rumah
atau di tempat kerja kita dengan seluruh raga dan otak kita, tanpa melibatkan
hati lebih banyak di dalamnya. Rupanya bila kita bekerja tanpa melibatkan hati,
hanya otak yang bekerja, kita menjadi cepat lelah. Ketika kita bekerja, yang
kita pikirkan adalah upahnya atau penghargaan (dari keluarga, teman, atasan).
Kita bekerja dengan pamrih. Kita melakukan sesuatu dengan hitung-menghitung ini
dan itu. Ternyata hitung menghitung itu adalah pekerjaannya si otak.Otak kita
sangat mahir untuk hitung – menghitung. Saat kita bekerja lembur, misalnya,
otak kita lantas menghitung berapa banyak bayaran yang akan diterima. Begitu
kita menerima bayaran tak sesuai dengan harapan kita, kita langsung kecewa.
Apalagi kalau kita tak menerima sedikit pun upah dari jerih lelah kita, rasanya
ingin meradang – menerjang (meminjam istilah Chairil anwar dalam sajaknya yang
berjudul Aku ).
Begitulah kita. O, maaf, saya, maksudnya. Selalu otak yang
diutamakan dalam tindakan kita. Sementara itu, sang hati diam karena tak diajak
serta. Namun, bila kita mengajak serta sang hati, situasi akan berbeda. Meski
saya lembur tiga hari sampai malam dan ternyata tak mendapat upah sepeser pun
karena sudah merupakan kewajiban saya sebagai pegawai, bahkan apresiasi kata
terima kasih pun tak saya dapatkan, reaksi saya adalah tenang-tenang saja, iklas
menerima, tanpa omelan, atau gerundelan sedikit pun dari mulut saya, bahkan di
hati sekali pun tidak.
Saudaraku, saya tahu keiklasan, ketulusan, dan kemurnian,
dan keterbukaan hati seseorang niscaya akan terpancar dari wajah dan aura tubuh
orang itu. Kemurnian akan kinclong bagai mutiara yang cemerlang.
Saya yang protes: saya tahu hal itu, tetapi... Nah, ....
kan, manusia itu selalu ada ‘tapi’nya.
Saya lanjutkan protes saya: Tapi saya perlu uang untuk
membeli susu untuk anak saya tumbuh. Selain itu, anak saya berhari-hari
ditinggal sampai jauh malam. Apa dong bentuk pengganti dari semua itu?
Kebenaran berkata lagi: Kamu tahu siapa yang mengatur
hidup manusia dan kamu termasuk di dalamnya?
Saya menjawab: Tuhan.
Kebenaran bertanya lagi: kalau begitu siapa yang akan
mengatur rejeki untuk mendapatkan uang untuk membeli susu anakmu?
Saya menjawab lagi: Tuhan.
“Nah, kamu tahu semua karena Kasih Tuhan bukan?” Kebenaran bertanya lagi.
Saya masih mau menjawab: Tapi....,
Kebenaran berkata dengan tegas: Sudah jangan cerewet
kalau kamu mau ikut Yesus!
Saya K.O. Kelepek.... Kelepek....Kelepek!
Jelupang, awal tahun 2013
Ch. Enung Martina
Tidak ada komentar:
Posting Komentar