Saya yakin, para orang tua tidak setuju dengan pernyataan
di atas, termasuk saya di dalamnya. Orang tua akan beranggapan bahwa belajar,
ya belajar, tidak main-main. Belajar bukan permainan. Betul, Pak, Bu? Ya, setuju. Saya juga mengamini. Namun,
rupanya sudut pandang kita sekarang sudah harus digeser sedikit agar kita bisa
mengubah pendapat tentang hal ini.
Sejak zaman baheula orang tua kita, turun temurun,
mewariskan kepada kita bahawa belajar ya belajar, jangan main-main. Ada saatnya
belajar dan ada saatnya bermain. Begitu kan pengetahuan saya dan Anda?
Ternyata, pendapat itu kurang tepat alias keliru.
Mengapa? Karena Bapak Johan Huizinga berpendapat manusia itu adalah mahluk
bermain. Man the palayer. Homo ludens.
Begitu kata beliau. Pendapat itu dikuatkan lagi oleh Bapak Frederich Niezsche:
Dalam diri seorang pria (manusia) dewasa yang sejati, tersembunyi anak kecil
yang selalu bermain-main. Nah, lo!
Bermain adalah kegiatan penting bagi manusia. Otak
manusia selalu mencari pola, arti, dan hubungan
antarperistiwa yang merupakan proses kognitif (mencari pengetahuan).
Sebetulnya proses itu berlangsung secara
efektif pada saat bermain. Bermain sifatnya sangat menarik perhatian, penuh
imajinasi, dan menggembirakan. Saat bermain sebenarnya awal anak mengembangkan
kemampuan menyelesaikan masalah, berkonsentrasi, mempunyai kesadaran tentang
konsep, melatih koordinasi fisik, mengembangkan kreativitas, dan mengembangkan
ketrampilan bersosial. Begitu kata para ahli.
Dulu, seperti saya ini yang anak kampung, tentunya
kerjanya ‘dolan’ di kebun, sawah, dan alam terbuka lainnya. Rasanya belajar di sekolah itu tidak seberat anak
saya yang sekolah zaman sekarang. Mana bukunya banyak, PR juga banyak, ulangan
juga tiap hari, dan masih ada tugas ini itu! Perasaan saya (karena saya sekolah
di kampung) ke sekolah saya membawa tas itu enteng. Malah kadang tidak membawa
tas ke sekolah. Namun, ya.... survive saja hidup hingga zaman sekarang. Apa
kurikulum pendidikan Indonesia itu makin dibuat sulit atau bagaimana, ya? Saya
juga tak mengerti. Giliran saya jadi guru di kota pada zaman ‘conected’ seperti sekarang ini kok
sekolah itu abot tenan ya! Dan
herannya lagi, bocah-bocah sekarang sudah terbiasa juga dengan tuntutan yang
menggila itu. Memang sudah zamannya kali, ya. Namun, saya tetap kasihan pada
anak-anak.
Kembali ke barmain=
belajar. Karena situasi dan tuntutan zaman yang menggila seperti sekarang
ini, orang tua terkadang kuatir dengan anak-anaknya apakah mereka mampu untuk
bisa melalui semuanya dengan baik. Karena itu, para orang tua berbuat yang
terbaik untuk putra-putrinya. Memberikan pendidikan yang dianggap terbaik.
Anak-anak diberi berbagai les sehingga mereka tak punya lagi waktu untuk
bermain. Padahal, menurut para ahli di atas, bermain itu justru hakikat dari
manusia. Nah, lantas bagaimana ini?
Karena itu, saya mulai agak menggeser sudut pandang saya
tentang bermain. Saya sekarang tidak terlalu seketat dulu melarang anak-anak di
sekolah untuk tidak bermain’ kala mereka belajar. Saya lebih toleran terhadap kata bermain.
Untuk mempertegas bahwa memang bermain itu sangat berguna,
mari kita melihat pendapat para ahli di bawah ini:
Anak yang bermain adalah anak yang tangguh. Bermain
adalah cara anak mempersiapkan diri menghadapi dunia. Di dalam bermain peran
(role play), anak sebenarnya sedang belajar bagaimana menghadapi masalah atau
konflik yang terjadi di dunia sekitarnya.
Anak yang bermain adalah anak yang sehat. Salah satu indikasi seorang anak sembuh dari penyakit berat adalah bila sudah menunjukkan keinginan untuk bermain lagi.
Anak yang bermain adalah anak yang sehat. Salah satu indikasi seorang anak sembuh dari penyakit berat adalah bila sudah menunjukkan keinginan untuk bermain lagi.
Anak yang bermain adalah anak yang cerdas. Saat bermain,
anak mendidik dirinya sendiri. Dia akan menemukan hal baru dalam permainannya.
Dalam bermain kreativitas bisa terasah dengan baik. Banyak permainan yang juga
memerlukan strategi.
Bermain mengajarkan anak untuk berelasi dengan alam,
teman bermain, juga dengan dirinya sendiri. Dengan begitu, anak belajar bagaimana
berelasi yang baik. Suatu saat dia menjadi pemenang. Kali lain dia menjadi
pihak yang kalah. Dia juga akan belajar menerima kemenangan orang lain dan
kekalahan dirinya.
Bermain bisa menimbulkan rasa percaya diri yang tinggi.
Ketika bermain anak mencoba untuk melakukan sesuatu yang mungkin dianggap
tadinya tak bisa dilakukan. Namun, ketika ia bermain ternyata ia mampu
melakukannya.
Ada banyak keuntungan bermain. Bila diselidiki dan
diteliti, akan muncul keuntungan lain dari bermain. Nah, kalau begitu jangan abaikan kata bermain. Bermain itu
bukan main-main. Bermain artinya melakukan permainan dengan benar. Total
menjalaninya dan menghayatinya. Bila kita memberikan kesempatan anak-anak untuk
bermain, kita akan mempunyai generasi bangsa dan Gereja yang cerdas, kreatif,
dan mempunyai hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar