Guru hingga sekarang masih dianggap
masyarakat sebagai orang yang berpengaruh dalam kehidupan seorang murid. Salah satu contohnya adalah: seorang anak TK
akan lebih mempercayai apa yang dikatakan oleh ibu gurunya di sekolah daripada
yang dikatakan kedua orang tuanya yang notabene kedua orang tuanya
pendidikannya lebih tinggi daripada gurunya. Guru menjadi idola bagi anak pada
usia dini. Saat anak- anak saya sekolah TK mereka mempunyai idola
masing-masing. Metta mengidolakan Ibu Maria Gozal dan Ibu Yanti (TK St. Ursula
BSD), Aga mengidolakan Ibu Bernadeth (TK. St. Ursula BSD), Abhimanyu
mengidolakan Ibu Ella (TK. Strada Bhakti Nusa, Vila Melati Mas, Serpong).
Begitulah seorang guru menjadi panutan
bagi seorang murid. Karena itulah beberapa kebijakan moyang kita pun terungkap
berkaitan dengan guru melalui sebuah
peribahasa yang berbunyi: guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Peribahasa
ini mengingatkan kepada kita, khususnya para guru, agar berhati-hati dalam
berkata-kata, bersikap, dan bertindak,
karena yang dikatakan atau pun yang dilakukan bisa menjadi ukuran moral bagi murid-murid.
Sebuah sumber yang pernah saya baca
mengatakan bahwa tugas seorang guru memberi petunjuk, sementara kewajiban
seorang murid adalah mencari jawabannya sendiri. Menjadi seorang guru pada
zaman globalisasi sekarang ini berbeda dengan guru pada zaman mbah saya dulu.
Pada zaman itu masyarakat yang dihadapi adalah masyarakat yang masih dikuasai
penjajah (Belanda, kemudian beralih ke Jepang) pada era tahun 30-50-an. Tentunya
berbeda dengan ketika saya menjadi guru sekarang.
Menjadi guru di masa sekarang adalah
sebuah tantangan. Guru sekarang berhadapan dengan zaman yang canggih dengan
aneka dampak positif dan juga negatif. Tentunya hal ini menuntut seorang guru
untuk menjadi lebih kreatif menghadapi tantangannya. Untuk menjadi kreatif
seorang guru harus bersedia menjadi murid. Artinya guru harus terus menerus
belajar. Seyogyanya seseorang, terutama seorang guru, mempertahankan sikap dan akal budi sebagai
seorang murid pemula. Setiap saat kita melihat dan merasakan hal-hal baru
meskipun dari pengamatan luar, sepertinya yang dilakukan dan yang dipandang
masih sama saja.
Dalam proses pembelajaran seorang guru
harus mempunyai pengalaman langsung, kewajaran, dan spontanitas yang dilamai
bersama dengan muridnya. Mempunyai pengalaman langsung artinya bersedia
mengalami dunia mereka. Contohnya kalau mereka syik dengan dunia maya, maka
sang guru juga belajar mengetahui dunia tersebut agar bisa menyusun strategi
ketika muridnya tersesat di dunia tersebut. Orang tua dan guru harus bisa
meraih anak-nakanya dan berkomunikasi dengan mereka agar mereka tidak tersesat
terlalu jauh. Kemajuan zaman tak bisa dihindari karena itu bagian dari
peradaban. Namun, ketiak anak-anak berada di dunia itu, meraka tetap bisa hidup
secara wajar di dunia nyata.
Seorang guru harus mempunyai kewajaran
dalam mengajar di kelas atau pun di luar kelas. Dengan bergaul dengan muridnya,
seorang guru bisa diterima dengan oleh muridnya dengan tulus dan wajar. Menjadi
guru tidak usah mengada-ada. Ada kasus yang pernah saya alami ketiak saya
sebagai seorang guru salah menyampaikan materi pelajaran, tetapi anak lebih
tahu dari saya, gurunya. Saya tidak perlu panik karena muridnya lebih pandai
daripada saya, tetapi justru harus bangga karena siswa saya cerdas. Saya tidak
usah malu juga ketika saya berbuat salah
meminta maaf kepada merka. Permintaan maaf tak
akan menjatuhkan harga diri saya sebagai seorang guru atau seorang manusia,
justru malah menaikannya karena saya rendah hati. Justru kebalikannya kalau
saya keukeuh dengan pendapat saya
yang salah malah saya mendapat malu. Si anak akan bercerita ke mana-mana
tentang karakter saya yang sombong itu. Bukannya bisa mempertahankan harga
diri, ini malah menjatuhkannya, bukan? Sudahlah, jadi guru itu yang wajar –
wajar saja sebagai manusia biasa yang juga bisa salah. Salah itu manusiawi kok.
Tidak minder
dan juga tidak sombong. Kalau seorang
guru minder, bagaimana dia bisa berdiri di depan muridnya untuk
mempresentasikan dirinya. Menjadi guru, wajib hukumnya mempunyai rasa percaya
diri yang besar. Namun, bila kelewat besar rasa percaya diri bisa-bisa jatuh
pada tekabur yang berakhir dengan kesombongan. Seorang guru yang sombong juga
tak akan disukai anakn didiknya.
Spontanitas adalah ciri guru yang
berikutnmya. Spontanitas melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan dalam
situasi yang diperlukan sesuai dengan kebutuhannya pada saatnya. Spontanitas
termasuk juga dalam menambah wawasan. Seorang guru harus mempunyai kebutuhan
untuk mengembangkan diri: pengetahuan, wawasan, ketrampilan. Spontanitas juga
termasuk dalam hal mencintai anak-anak. Mencintai para murid dengan tulus dan
wajar adalah bagian dari spontanitas. Mengasihi mereka berarti kita juga
bertanggung jawab atas pertumbuhan pribadi mereka.
Untuk mencapai menjadi guru yang baik
tentunya tak segampang membalikkan telapak tangan. Ada proses di dalamnya, ada
kesediaan untuk melakukannya, dan ada usaha untuk mewujudkannya. Agar kita
terus bisa menjadi guru, kita juga harus bersedia menjadi murid yang baik.
Untuk menjadi pelajar yang baik hendaknya sanubari dan mata batin dilatih untuk
menatap sesuatu dengan perasaan dan intuisi segar, baru. Dengan cara ini, orang
dapat terhindar dari kejenuhan dalam bekerja, berlatih, dan belajar. Dalam bekerja, apa pun pekerjaannya,
dikehendaki rasa syukur menyambut momen-momen yang dijalani. Tak ada kebosanan,
tak ada rutinitas, sebab yang dihadapi adalah aliran waktu dengan sekelilingnya
yang terus berubah. Disiplin dalam berlatih atau belajar adalah suatu keharusan
yang baik. Dalam hidup, baik kalau kita
mengedepankan yang konkrit dan menekankan pada berbuat, kini dan di sini. Jangan mengawang-awang.
Untuk
menjadi seseorang yang cerdas, mampu, dan ahli perlu melalui proses dalam
dirinya. Proses seseorang mencapai keahlian,
termasuk menjadi guru yang ahli, adalah:
1.
Tidak sadar dan tidak mampu. Seseorang pada tahap
pembelajaran dia belum mempunyai kesadaran bahwa dirinya tidak mampu.
2.
Sadar mengenai
ketidakmampuan dalam bidang tertentu: Ketika sudah memulai belajar, seseorang
akan menyadari ketidakmampuannya / keterbatasannya dalam bidang tertentu. Karena itu guru
harus terus mengasah diri untuk mengembangkan wawasan dan ilmunya.
3.
Mulai belajar dan
praktik, tetapi kesadaran perlu disiagakan penuh: dalam proses belajar
berikutnya mulai mempelajari beberpa hal dan mempraktikkan ilmunya. Dalam
proses belajar ini seorang pelajar (guru pun seorang pembelajara) harus tetap menjaga agar dirinya
tetap menjaga kesadara belajarnya.
4. Trampil untuk bidang tertentu, bawah sadar telah merekam kemampuannya: pada
tahap keempat seseorang mulai mahir akan ketrampilan/ilmu yang dipelajarinya.
Karena itu kemampuan itu sudah menjadi bagian dirinya, sudah menjadi miliknya.
Proses belajar pada setiap orang itu
berbeda. Sesudah tahap keempat dalam belajar, yang senantiasa ditekankan adalah
bukan sekedar ketrampilan dalam laku fisik, tetapi kekuatan antara tubuh,jiwa,
dan roh. Semuanya menyatu sehingga akhirnya seorang guru makin hari makin
menghayati panggilannya dan mensyukurinya sebagai berkat dari Tuhan dalam
hidupnya.
(CH. Enung martina)