Jumat, 12 Desember 2025

Cerpen Perjuangan Perempuan 3

 



Api yang Tidak Memilih


Ratna sudah terbiasa pulang dalam gelap. Bukan karena ia lembur setiap hari, melainkan karena hidupnya memang berjalan dalam irama yang jarang ramah pada cahaya. Pukul tujuh malam, gedung-gedung perkantoran di Sudirman masih menyala terang, seolah siang enggan menyerah. Ratna melangkah cepat menuju halte, menenteng tas kerja yang mulai aus di sudutnya, seperti dirinya, dipakai terus-menerus tanpa pernah benar-benar diperhatikan.

Ia perempuan lajang, empat puluh dua tahun, bekerja di perusahaan swasta nasional yang bergerak di bidang distribusi alat kesehatan. Jabatan supervisor administrasi, posisi yang cukup aman tetapi tidak cukup bergengsi untuk diperjuangkan dalam rapat-rapat strategis. Dua belas tahun bekerja, tiga kali pergantian manajemen, dan tak satu pun promosi berarti.

“Belum menikah?”
Pertanyaan itu selalu muncul, entah dari rekan baru, klien, atau bahkan HR saat evaluasi tahunan, seolah status hidupnya adalah kolom kosong yang harus segera diisi agar ia sah sepenuhnya sebagai manusia dewasa.

Ratna menjawab dengan senyum kecil. Senyum yang tidak menuntut penjelasan.

Di kantor, ia dikenal rapi, teliti, dan bisa diandalkan. Ia tidak banyak bicara, tidak ikut gosip, tidak bermain politik. Ia percaya bahwa bekerja dengan benar sudah cukup. Ia baru menyadari betapa naif keyakinan itu ketika intrik mulai menyentuh mejanya sendiri.

Pagi itu, Pak Arman, manajer divisi yang baru enam bulan menjabat, memanggilnya ke ruangannya. Ruang kaca dengan pendingin udara yang terlalu dingin, meja besar, dan kursi empuk yang membuat orang mudah lupa bahwa keputusan diambil tentang hidup banyak orang.

“Kita akan diaudit,” kata Pak Arman sambil mengetuk-ngetuk pena. “Data pengadaan tahun lalu ada beberapa catatan. Saya butuh kamu bantu merapikan.”

Ratna mengangguk. “Merapikan bagaimana, Pak?”

Pak Arman tersenyum tipis. “Kamu kan paham. Angka-angka itu tidak salah, hanya… perlu ditampilkan dengan lebih strategis.”

Ratna pulang ke mejanya dengan perasaan seperti membawa bara di telapak tangan. Ia membuka folder lama. Laporan pengadaan. Invoice. Tanda tangan. Semua rapi, semua sah, tetapi ada bagian yang memang sengaja ditutup-tutupi sejak dulu. Selisih kecil, potongan tak tercatat, keputusan cepat demi target.

Ia tahu permainan ini. Ia tidak buta. Selama ini ia memilih diam, bekerja sesuai tugas, tidak bertanya lebih jauh. Namun kali ini, tangannya sendiri diminta ikut menyentuh api.

Di pantry, Livia, rekan kerja yang sepuluh tahun lebih muda, berdiri di sampingnya.

“Ratna, Pak Arman percaya banget sama kamu,” katanya sambil mengaduk kopi. “Kesempatan langka, tahu.”

Ratna menatap wajah Livia yang licin oleh percaya diri. Perempuan itu pintar, cepat, dan tahu cara bertahan. Sesuatu yang tidak pernah benar-benar ia pelajari.

“Maksudnya?” tanya Ratna.

“Kalau laporan ini beres, kita semua aman. Kalau tidak…” Livia mengangkat bahu. “Kamu tahu sendiri.”

Ratna tahu. Di perusahaan swasta, aman berarti bertahan. Bertahan berarti diam. Diam berarti ikut.

Malam itu, di kamar kontrakannya yang sunyi, Ratna duduk di tepi ranjang. Tidak ada suara televisi. Tidak ada pesan masuk. Hidupnya sering terasa seperti ruang tunggu tanpa panggilan.

Ia membuka Alkitab kecil yang selalu dibawanya sejak muda. Tidak setiap hari dibaca, tetapi selalu ada, seperti jangkar. Matanya jatuh pada ayat yang entah bagaimana selalu kembali menghampirinya:

“…imanmu, yang jauh lebih tinggi nilainya daripada emas yang fana, yang diuji kemurniannya dengan api.”

Ratna menutup mata. Api. Kata itu tidak terdengar romantis. Api membakar, panas, menyakitkan, dan tidak memilih siapa yang siap atau tidak. Ia sadar, menjadi perempuan lajang membuatnya lebih rentan. Tidak ada pasangan untuk berbagi beban, tidak ada tameng sosial. Jika ia jatuh, ia jatuh sendirian.

Keesokan harinya, ia mulai mengerjakan laporan. Jemarinya bergerak lambat. Ia tahu persis bagian mana yang diminta “dirapikan”. Ia juga tahu konsekuensi jika ia tidak melakukannya.

Dalam rapat kecil, Pak Arman bertanya, “Sudah hampir selesai?”

“Hampir,” jawab Ratna.

“Pastikan tidak ada yang aneh,” tambahnya, menatap tajam.

Ratna mengangguk. Dadanya terasa sesak. Ia teringat ibunya yang sudah meninggal lima tahun lalu. Seorang perempuan sederhana yang membesarkannya sendiri setelah ayahnya pergi. Ibunya selalu berkata, “Hidup mungkin tidak adil, tapi jangan sampai kamu ikut tidak adil.”

Kalimat itu terasa seperti nyala kecil di tengah ruang gelap.

Ratna mengambil keputusan yang sunyi. Ia menyelesaikan laporan versi yang diminta, tetapi ia juga menyimpan versi asli, lengkap dengan catatan perbedaan, dan mengunggahnya ke sistem pusat yang terhubung langsung dengan auditor eksternal. Tidak ada drama. Tidak ada pemberitahuan. Hanya satu klik yang mengubah arah hidupnya.

Dua hari kemudian, suasana kantor berubah. Orang-orang bicara lebih pelan. Pintu ruang manajer sering tertutup. Nama Ratna disebut-sebut dengan nada yang tidak ramah.

Ia dipanggil.

“Kenapa ada dua versi laporan?” tanya Pak Arman dengan suara tertahan.

Ratna duduk tegak. Tangannya dingin. “Karena yang satu adalah data sebenarnya, Pak.”

“Kamu sadar apa akibatnya?”

Ratna mengangguk. “Saya sadar.”

“Kamu perempuan lajang,” kata Pak Arman tiba-tiba, nadanya merendah namun menusuk. “Kamu butuh stabilitas. Jangan idealis.”

Kalimat itu lebih menyakitkan daripada ancaman. Ratna tersenyum pahit. “Justru karena saya sendirian, Pak, saya harus tahu apa yang saya pegang.”

Hari-hari setelah itu menjadi ujian yang nyata. Ia dikeluarkan dari beberapa proyek. Undangan rapat tak lagi datang. Beberapa rekan menghindar. Ada yang berbisik bahwa Ratna terlalu kaku, terlalu sok suci.

Ia pulang ke kamar dengan tubuh lelah dan hati retak. Ada malam-malam ketika ia bertanya, apakah pilihannya bodoh. Tidak ada pujian. Tidak ada kepastian. Hanya kesepian yang kian terasa.

Namun anehnya, di tengah semua itu, ia tidak kehilangan dirinya. Ada luka, tetapi tidak ada kebohongan yang menempel di dada.

Sebulan kemudian, hasil audit keluar. Perusahaan dikenai sanksi administratif. Beberapa kebijakan diubah. Pak Arman dipindahkan. Tidak ada pengakuan resmi atas peran Ratna. Dunia kerja tidak tiba-tiba menjadi adil.

Namun suatu pagi, ia dipanggil direktur utama.

“Kami membutuhkan orang yang berani berdiri di tempat yang tidak nyaman,” katanya singkat. “Kamu akan bergabung dengan tim kepatuhan internal.”

Ratna keluar dari ruangan itu dengan langkah tenang. Ia tahu, ini bukan kemenangan besar. Ini hanya satu bab kecil dalam perjalanan panjang. Intrik akan selalu ada. Api akan selalu menyala di berbagai bentuk.

Di halte bus sore itu, Ratna berdiri sendirian seperti biasa. Lampu kota mulai menyala. Ia menghela napas, menatap langit yang kelabu.

Ia mengerti kini: iman bukan pelindung dari api. Iman justru sering menempatkan seseorang tepat di tengah nyala. Tetapi seperti emas yang diuji, bukan api yang menentukan nilai, melainkan apa yang tidak hancur setelahnya.

Ratna melangkah naik ke bus. Ia tetap lajang. Tetap bekerja. Tetap berjuang. Namun ia tahu, di dalam dirinya ada sesuatu yang telah dimurnikan, dan itu cukup untuk membuatnya terus berdiri. (Ch. Enung Martina)


Selasa, 09 Desember 2025

Puisi Bancana Alam

 


Luka yang Kita Genggam

Di tanah yang dulu bening seperti doa,
mata air mengalir tanpa nama,
hutan berdiri seperti para tetua
yang diam-diam menjaga langkah manusia.

Namun kita datang dengan gergaji dan perintah,
membelah batang waktu,
mengoyak akar ingatan,
menyulut bara di dada bumi
seakan ia budak
yang wajib menyerahkan segalanya.

Di perut gunung, kita gali rakus:
emas, nikel, batu, dan janji-janji palsu;
kita kikis kulit bumi
tanpa ampun,
tanpa jeda,
tanpa malu.

Kita lupa,
bahwa langit bukan atap milik satu bangsa,
dan sungai bukan lorong kekuasaan.
Hegemoni mengalir seperti minyak panas,
mengolesi tangan yang ingin berkuasa
hingga lupa pada wajah sendiri.

Lalu datanglah bencana:
angin menjerit,
banjir meranggas,
tanah merosot dari tubuhnya sendiri,
dan laut mengirim gelombang
sebagai surat peringatan
yang kita enggan baca.

Alam tidak marah—
ia hanya mengembalikan
apa yang kita lemparkan:
keserakahan yang tumbuh jadi badai,
eksploitasi yang mekar jadi runtuhan,
lupa diri yang menjelma
menjadi kabar duka di layar pagi.

Kini kita berdiri
di reruntuhan suara sendiri,
bertanya-tanya
kapan terakhir kita menyapa pohon
tanpa niat menebang,
kapan terakhir kita mencium tanah
tanpa ingin memilikinya.

Alam semestinya lestari,
namun ia bukan penjaga tunggal.
Kitalah yang harus pulang
ke ruang kesadaran,
menautkan kembali nadi kita
dengan nadi bumi.

Sebab bila tidak,
kita akan terus menggenggam
luka yang kita ciptakan sendiri
dan bumi,
dengan kesabaran tak bertepi,
akan tetap mengingat
meski kita memilih lupa.

( Ditulis ketika bencana marak, sementara ada orang yang memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi)

Senin, 08 Desember 2025

Cerpen Perjuangan Perempuan (2)

 


Hari yang Tidak Pernah Selesai

Jam dinding di ruang admisi RS Melati Raya berdetak pelan, seperti menghitung mundur kesabaran yang setiap hari terkikis. Ratna Kusumawati menyalakan laptop tuanya. Mesinnya mendengung, nyaris merintih. Sama seperti dirinya yang sudah dua puluh tahun duduk di meja itu, merapikan data yang tak pernah selesai, menambal kesalahan orang lain, dan menahan perasaan yang tak pernah punya ruang untuk diucapkan.

Hujan pagi itu turun seperti air mata yang tak ditumpahkan. Jakarta masih gelap meski jam sudah menunjukkan 06.10. Ratna tiba paling pertama, seperti biasa. Ia tidak berusaha datang pertama; ia hanya tidak punya pilihan. Terlambat sedikit saja, semua orang menudingnya. Mereka tidak pernah terlambat, hanya “terkendala.” Sedangkan Ratna? Ia teledor.

Ia menyalakan lampu meja. Cahaya kecil itu menyingkap tumpukan berkas yang sudah lama menunggu. Pekerjaan hari ini sudah terlihat menumpuk sejak kemarin. Data pasien baru, validasi BPJS, rekonsiliasi klaim bulan lalu, dan entah apa lagi yang akan datang menjelang siang. Ratna meraih termos kecil berisi kopi hitam yang dibuatnya sebelum subuh. Kopi itu tidak panas lagi, tetapi cukup untuk menyadarkannya bahwa hari akan kembali panjang.

Rekan-rekannya mulai berdatangan pukul tujuh lewat. Suara sandal, suara tertawa, suara keluhan tentang proyek suami atau anak-anak yang malas sekolah. Ratna menatap layar, mencoba tidak mendengar. Mereka tidak jahat, hanya… tidak peduli.

Kemarin, ia mendengar dua rekan mudanya bergosip:

“Bu Ratna itu ya, kayak bayangan. Ada, tapi nggak berpengaruh.”
“Iya. Kerjanya cuma input doang. Untung gajinya kecil.”

Ia masih bisa merasakan tusukan kata itu di dadanya.

Bagas, atasan mudanya, datang sambil menenteng kopi mahal. Ia hanya melirik Ratna, lalu langsung ke ruangan. Lima menit kemudian, keluar email:

Bu Ratna, tolong segera sinkronkan data klaim Maret–April. Ada temuan selisih cukup besar. Hari ini harus selesai. — Bagas.

Ratna menarik napas panjang. Hari ini baru mulai, tetapi ancaman sudah terasa.


Pada pukul sembilan, kantor pusat mengirim notifikasi lain—lebih tajam, lebih dingin:

Jika tidak diselesaikan, bagian admisi akan dikenakan pemeriksaan internal.

Ada kata-kata yang tidak dituliskan tetapi terasa jelas: pecat, sangsi, kesalahan administratif, kelalaian staf.

Dan staf itu, seperti biasa, adalah Ratna.

Ia membuka folder lama. Maret–April adalah periode yang kacau. Berkas masih sebagian manual, sebagian digital. Ada pergantian shift mendadak. Ada hari ketika jaringan mati selama tiga jam. Semua orang mengeluh, tetapi akhirnya Ratna yang harus membereskan.

“Bu Ratna,” suara Bagas muncul dari belakangnya. “Temuan pusat cukup parah. Saya perlu Ibu fokus. Jangan salah lagi, ya. Teknisnya sudah jelas, kan?”

Kalimat itu seperti cambuk. Ratna memaksakan anggukan.

Padahal, dialah yang paling mengerti teknis itu.

Setelah Bagas pergi, Ratna menunduk lama. Tangannya gemetar sedikit. Sudah berapa lama ia menahan semuanya? Dua puluh tahun? Ia nyaris lupa kapan terakhir kali merasa dihargai. Ia hanya ingat wajah Aldi kecil, anaknya di rumah, yang setiap hari menunggu kepulangannya sambil menggenggam mainan favorit.

Anaknya tidak bisa membaca cepat, tidak bisa memahami instruksi rumit, tidak bisa bersosialisasi seperti anak lain. Tapi ia bisa tersenyum kepada Ratna seolah dunia tidak pernah menyakitinya. Senyum itu yang membuat Ratna bertahan.

Keluarganya baik-baik saja, suaminya sabar, tetapi gaji mereka tidak cukup tanpa penghasilan Ratna. Jika ia dipecat, terapi anaknya akan berhenti. Itu saja sudah cukup membuat Ratna berjuang mati-matian mempertahankan pekerjaan yang tidak pernah mau mengakui keberadaannya.


Siang itu, Ratna mendapati keganjilan pada data Maret:
Jumlah klaim yang tertera tidak sesuai dengan laporan harian.

Ratna membuka arsip manual, kebiasaannya yang sering diejek sebagai “cara orang tua.” Begitu ia bandingkan dengan file digital, ia menemukan sesuatu yang membuatnya berhenti bernapas.

Ada edit log dari user lain.
Seseorang telah mengubah datanya.

Tanggal edit itu adalah hari ketika Ratna sedang mengurus anaknya yang demam dan pulang dua jam lebih awal. Data itu seharusnya aman, tetapi ternyata tidak.

Edit itu menyebabkan selisih besar dalam laporan. Dan karena pengguna lain tidak mau bertanggung jawab, kesalahan mengalir begitu saja ke bawah. Ke Ratna.

Ia menutup mata. Kepala berat. Ada kemarahan, ketakutan, dan kelelahan yang menyatu jadi satu beban. Rasanya ingin menangis tapi tidak ada waktu.

Ia harus memperbaikinya, dan cepat.

Ratna bekerja tanpa makan siang. Tangan yang sejak pagi gemetar kini bergerak otomatis. Ia menelusuri jejak file sampai ke akar. Satu demi satu, ia salin dan rekap ulang. Jam berganti, hujan berhenti, langit memucat, dan ruangan mulai kosong.

Pada pukul lima, karyawan lain sudah pulang.

Pada pukul enam, cahaya lampu putih membuat matanya pedih.

Pada pukul tujuh, hanya suara AC dan napasnya sendiri yang terdengar.

Ia menatap layar:
semuanya sudah ia perbaiki.

Laporan telah rapi. Selisih telah ditutup. Data telah benar.

Tapi tangannya tetap gemetar. Karena ia tahu—di kantor ini, kebenaran tidak selalu menyelamatkan.

Ratna menyimpan file dalam satu folder khusus. Ia berniat mengirimkan laporan itu besok, agar pikirannya lebih jernih.

Lalu, ia mematikan komputer.

Dan saat itulah, pesan WhatsApp masuk:

Bu Ratna, pusat minta laporan FINAL malam ini. Kirim sebelum jam 21.00. — Bagas.

Ia menatap layar ponselnya, gemas, lelah, marah, frustasi… tapi ia tidak punya pilihan.

Ratna menyalakan kembali komputer. Matanya terasa terbakar.

Di rumah, suaminya menunggu. “Sayang, sudah jam setengah sembilan. Kamu di mana?”

Ratna hanya menjawab singkat: “Sebentar lagi selesai.”

Bagas kecil sudah tidur. Ratna menahan isak kecil.

Ia mengirim laporan itu pukul 20.52. Tepat waktu.


Tidak ada balasan. Tidak ada “terima kasih.” Tidak ada pujian. Yang ada hanya keheningan.

Ketika ia hendak mematikan komputer, pintu ruang admisi terbuka sedikit. Satpam mengintip.

“Bu… nggak pulang?”

Ratna tersenyum lelah. “Sebentar lagi.”

Ia memaksakan diri berdiri. Tubuhnya terasa kosong. Kakinya lunglai.

Lampu-lampu lorong terlihat berkedip. Entah karena listrik, atau karena matanya yang terlalu lelah.

Ia keluar gedung dengan langkah berat. Di halte, bus terakhir sudah pergi.

Ia menunggu lama. Angin malam mengiris kulitnya. Kota terasa jauh, asing, dan penuh bayangan.

Pukul 22.15 sebuah bus datang. Ratna naik. Kursinya keras, lampunya redup. Ia menempelkan kepala pada jendela yang dingin.

Lalu ia menangis tanpa suara.


Di rumah, Ratna membuka pintu perlahan. Suaminya tertidur di sofa dengan televisi yang masih menyala. Ratna mematikan televisi. Ia masuk ke kamar anaknya dan membelai rambut Aldi yang tidur pulas.

“Maaf ya, Nak…” bisiknya. “Mama selalu pulang terlambat.”

Tidak ada jawaban. Tapi melihat anaknya saja membuat Ratna merasa sedikit hidup.

Ratna duduk di sisi ranjang. Bahunya terasa berat. Ia memejamkan mata sejenak.

Lalu ponselnya berbunyi.

Email masuk.

Dari: Kantor Pusat
cc: Manajemen RS, Bagian Admisi

Ratna menahan napas.

Setelah meninjau laporan yang dikirimkan, kami menemukan beberapa ketidaksesuaian lain pada data bulan sebelumnya. Bagian admisi diminta hadir dalam rapat klarifikasi besok pagi pukul 08.00.

Ratna membaca ulang.

Beberapa ketidaksesuaian lain.
Bulan sebelumnya.
Besok pagi.

Tubuhnya dingin.

Ratna tahu.
Ini tidak akan pernah selesai.

Data itu memang bisa ia rapikan. Kesalahan orang lain bisa ia tanggung. Pengabaian atasan bisa ia telan. Tetapi sistem ini, struktur yang membuat orang kecil memikul beban kesalahan tanpa suara. Semua tidak akan berhenti.

Ratna duduk lama. Nafasnya pendek. Ia memikirkan dua puluh tahun yang ia berikan.
Dua puluh tahun yang hilang dalam lorong-lorong rumah sakit.
Dua puluh tahun yang tidak pernah dianggap.

Besok ia harus kembali. Ia tahu itu. Karena hidup tidak memberi pilihan lain.

Ia mematikan lampu kamar Aldi, keluar pelan, dan merapatkan pintu.

Malam sudah larut.
Ratna berbaring di ranjang, menatap langit-langit yang kosong.
Air matanya jatuh tanpa suara.

Dalam gelap, hanya satu kalimat yang berulang-ulang terputar di pikirannya:

"Hidup ini… tidak pernah selesai."

Dan ia tahu, esok pagi ia akan bangun lagi,
menjalani hari yang sama,
yang tak pernah mengerti arti perjuangan seorang perempuan
yang bekerja dalam bayang-bayang.

(Ch. Enung Martina Terinspirasi oleh seorang perempuan, admisi di sebuah sekolah swasta di Serpong)


Minggu, 07 Desember 2025

Cerpen Perjuangan Perempuan 1

 

Rumput Hijau di  Antara Debu Metropolitan

Kabut pagi masih tipis ketika Lestari mengikat rambutnya dan mengenakan seragam caddy yang sudah mulai memudar warnanya. Ia merapikan kerah yang sedikit kusut, lalu meraih tas golf yang berat. “Ayo, Bu. Flight pertama jam enam,” panggil seorang petugas lapangan.

Lestari mengangguk, menahan napas sebentar untuk mengumpulkan tenaga. Hari ini hari Sabtu, hari paling ramai. Hari ketika ia bisa berharap sedikit lebih banyak uang tip, tetapi juga hari yang penuh tekanan. Dunia golf terlihat mewah dan anggun, tetapi di belakang setiap pukulan pemain yang meraih birdie, ada caddy seperti dirinya yang berlari, memikul beban, membaca arah angin, dan menjaga senyum meski kaki hampir patah.

Ia berjalan menuju tee box. Rumputnya rapi, mengkilap seperti baru disisir. Dari kejauhan, gedung-gedung tinggi kota seperti menatap sinis: beton yang selalu menang dari manusia kecil seperti dirinya.

Pemain pertamanya hari itu adalah Pak Damar, seorang kontraktor yang terkenal temperamental. Begitu melihat Lestari, ia langsung berkomentar, “Oh, kamu caddy baru?”

“Tidak, Pak. Saya sudah tiga tahun di sini,” jawab Lestari sopan.

“Ah, saya kira baru. Ya sudah, kalau begitu cepat tanggap, ya. Saya tidak suka caddy yang lambat.”

“Baik, Pak.”

Lestari sudah biasa dengan nada semacam itu. Menjadi perempuan bekerja di lapangan golf berarti harus tahan dengan suara lantang, komentar sinis, dan candaan seksis yang dibalut tawa. Ia sudah kebal—setidaknya ia mencoba begitu.

Ketika Pak Damar bersiap memukul, Lestari berdiri di belakang, siap mengambil data angin. Tapi pria itu malah meliriknya dari atas ke bawah, seolah ia barang yang sedang dinilai.

“Caddy kayak kamu gini biasanya dapat tip banyak, ya?” tanyanya sambil tertawa kecil.

“Saya bekerja sesuai kemampuan saya, Pak,” jawab Lestari, tetap profesional.

“Hmm… kalau mau tambah penghasilan, bilang saja. Banyak cara kok.” Ia mengedipkan mata.

Lestari tidak menjawab. Ia menegang, tetapi tetap menjaga posisi. Di dunia ini, ia sudah terlalu sering dijadikan bahan candaan murahan hanya karena ia perempuan yang bekerja di ruang publik.

Setelah hole ketiga, pemain lain dalam flight itu—seorang pria berkemeja hijau, berbisik pada Lestari, “Sabarin aja, Mbak. Dia memang begitu.”
Lestari tersenyum tipis. “Sudah biasa, Pak.”

Tetapi kebiasaan tidak membuatnya lebih mudah. Terkadang komentar seperti itu membuatnya ingin berlari pulang. Terkadang ia bertanya: apakah ia bekerja atau sedang diuji kesabarannya?

Line putt saya mana? Kok kamu diam?” suara Pak Damar tiba-tiba meninggi.

“Oh, maaf Pak. Tadi saya ….”

“Kamu itu caddy atau patung? Ayo cepat!”

Lestari bergerak cepat, menjelaskan jalur putt sambil menahan napas. Dalam dirinya ada rasa marah yang menggelegak, tetapi ia menutup mulut. Pekerjaan ini bukan soal suka atau tidak suka, ini soal bertahan hidup.

Istirahat sebentar di hole sembilan, Lestari bertemu dua caddy lain: Wati dan Rini. Mereka duduk di bangku kecil sambil meneguk air.

“Denger-denger suami lo udah nikah lagi, ya?” tanya Wati tiba-tiba.

Rini menegur, “Wati… kok tanya gitu?”

“Nggak apa-apa,” jawab Lestari datar. “Iya, dia sudah menikah lagi.”

Wati mendengus, “Hidup di emang kejam. Orang miskin gampang ditinggal.”

Lestari menggenggam botol minumnya erat-erat. Ia masih ingat saat suaminya keluar rumah tanpa menoleh. “Aku lelah hidup susah, Tari,” kata lelaki itu. “Dia bisa kasih hidup lebih enak. Kamu ngerti, kan?”

Kala itu Lestari hanya diam. Ia tidak memaki. Tidak memohon. Tidak mengejar. Hidup sudah cukup melelahkan tanpa perkelahian tambahan.

“Ya sudahlah, Tari,” Rini menepuk bahunya. “Kita semua di sini juga sama. Hidup keras. Tapi kamu kuat, kok.”

Lestari tersenyum kecil. “Iya. Kita semua kuat karena harus kuat.”


Siang menjelang. Cuaca semakin panas. Sepatu golf pemain meninggalkan jejak di rumput, dan Lestari berkeringat deras. Di hole dua belas, masalah baru muncul.

“Bola saya ngilang. Caddy macam apa kamu ini?” bentak Pak Damar.

“Tadi saya sudah tandai, Pak. Mungkin….”

“Kamu yang enggak fokus! Pikirin kerjaan!”

Pemain berkemeja hijau kembali mencoba menenangkan. “Dam, sudahlah. Itu bola memang masuk rough.”

“Diam kamu! Ini salah caddy!”

Lestari ingin menjelaskan, tetapi ia takut suara gemetar akan membuat situasi makin buruk. Ia hanya berkata pelan, “Maaf, Pak. Saya cari bolanya.”

Namun bukan itu yang membuat hatinya sakit. Yang membuatnya sesak adalah kenyataan bahwa kesalahan kecil dari caddy sering dianggap kegagalan karakter pribadi, seolah ia tidak berhak salah sedikit pun. Sementara pemain bisa marah, membanting stik, atau memaki, dan itu dianggap wajar.

Setelah permainan selesai, Pak Damar memberikan tip paling kecil di antara para pemain. Bahkan memberikannya dengan gerakan melempar.

“Lain kali fokus,” katanya pendek.

Lestari menunduk. “Terima kasih, Pak.”
Ia memungut uang itu dari rumput. Uang tetap uang, dan ia butuhnya.

Di caddy house, suasana lebih hangat. Caddy-caddy lain bercanda, makan mi instan, atau merapikan sepatu pemain. Namun sore itu, Lestari merasa hampa.

“Dapat berapa, Tari?” tanya Wati sambil membuka bungkus permen.

“Sedikit,” jawabnya pendek.

“Padahal kamu kerja paling rapi. Memang hidup tuh nggak adil.” Wati menggeleng. “Yang kasar dapat banyak, yang sopan dapat sisa.”

Lestari duduk, meletakkan tasnya perlahan. Tubuhnya sangat lelah, tetapi pikirannya lebih lelah. Dalam hati ia berkata: Kapan hidup ini berhenti memaksa perempuan menelan semuanya sendirian?

Ia menatap deretan caddy lain. Ada yang masih remaja, datang dari kampung tanpa ijazah SMA. Ada yang janda seperti dirinya. Ada yang bekerja diam-diam tanpa memberi tahu suami, karena suami mereka melarang perempuan “bekerja di lapangan laki-laki.”

Semua perempuan itu berdiri di tengah tekanan kota yang sama, kota yang memukul mereka dari segala arah tapi tetap menuntut mereka tersenyum.

Ketika matahari tenggelam, Lestari pulang dengan bus kota. Ia berdiri, memeluk tasnya erat-erat. Orang-orang di dalam bus tampak lelah, sama seperti dirinya. Wajah-wajah yang ditempa waktu dan tuntutan hidup.

Kondektur lewat sambil berteriak, “Tiket! Tiket!”
Lestari menyerahkan uang pas.

Di halte dekat rumah kontrakannya, ia turun. Gang sempit itu becek, bau got bercampur asap gorengan. Dua anaknya langsung menyambut ketika ia masuk rumah.

“Ibu!” seru Seno dan Lila hampir bersamaan.

Kelelahannya seperti hilang seketika.

“Ibu bawa sesuatu?” tanya Lila berharap.

“Tentu,” jawab Lestari. Ia membuka tas kecilnya dan mengeluarkan dua roti sobek. “Ini hadiah buat anak-anak Ibu yang pintar.”

Mereka memeluknya erat, pelukan yang membuat hari paling buruk sekalipun terasa lebih ringan.

“Ayah datang?” tanya Seno tiba-tiba.

Lestari berhenti sejenak. “Tidak, Nak. Ayah sudah punya keluarga baru.”

“Kenapa Ayah tidak ajak kita?” suara anak itu polos, tetapi menohok.

Lestari berlutut, menatap kedua anaknya. “Karena Ayah memilih jalan lain. Tapi itu bukan salah kalian. Kalian anak yang baik.”

“Terus Ibu sedih?” Lila bertanya.

“Ibu capek, tetapi Ibu tidak sedih.”
Ia tersenyum lembut. “Karena kita masih punya satu sama lain.”

Anak-anak itu memeluknya lagi. Dalam pelukan itu ada harapan kecil yang terus menyala.

Malam hari, setelah anak-anak tidur, Lestari duduk di depan cermin kecil. Dari lampu redup, ia melihat wajahnya yang mulai terbakar matahari, garis-garis halus di sekitar mata, dan pundak yang mengeras karena beban tas golf.

Tetapi matanya, matanya tetap tajam. Ada cahaya yang tidak padam.

Hidup kota selalu keras pada orang kecil, apalagi perempuan. Kota tidak memberi mereka ruang salah, ruang lemah, atau ruang marah. Tetapi setiap hari, perempuan seperti dirinya tetap bangun, bekerja, mengangkat tas golf, mengangkat beban hidup, dan mengangkat masa depan anaknya.

Di lapangan golf, ia mungkin dianggap bukan siapa-siapa. Tetapi di rumahnya, ia adalah siapa-siapa: ibu, tulang punggung, harapan.

Ia memejamkan mata dan berbisik pada dirinya sendiri:

“Aku bukan perempuan yang kalah.
Aku perempuan yang bertahan.”

Dan besok pagi, ketika kabut kembali turun di atas rumput hijau, Lestari akan berdiri lagi di sana. Dengan langkah tegap, dengan senyum yang terlatih, dan dengan hati yang sudah ditempa oleh kerasnya hidup kota metropolitan, hati yang tidak mudah runtuh. 


(Cerpen terinspirasi dari cerita Ibu Ayu Lilik)