Hari yang Tidak Pernah Selesai
Jam dinding di ruang admisi RS Melati Raya berdetak pelan, seperti menghitung mundur kesabaran yang setiap hari terkikis. Ratna Kusumawati menyalakan laptop tuanya. Mesinnya mendengung, nyaris merintih. Sama seperti dirinya yang sudah dua puluh tahun duduk di meja itu, merapikan data yang tak pernah selesai, menambal kesalahan orang lain, dan menahan perasaan yang tak pernah punya ruang untuk diucapkan.
Hujan pagi itu turun seperti air mata yang tak ditumpahkan. Jakarta masih gelap meski jam sudah menunjukkan 06.10. Ratna tiba paling pertama, seperti biasa. Ia tidak berusaha datang pertama; ia hanya tidak punya pilihan. Terlambat sedikit saja, semua orang menudingnya. Mereka tidak pernah terlambat, hanya “terkendala.” Sedangkan Ratna? Ia teledor.
Ia menyalakan lampu meja. Cahaya kecil itu menyingkap tumpukan berkas yang sudah lama menunggu. Pekerjaan hari ini sudah terlihat menumpuk sejak kemarin. Data pasien baru, validasi BPJS, rekonsiliasi klaim bulan lalu, dan entah apa lagi yang akan datang menjelang siang. Ratna meraih termos kecil berisi kopi hitam yang dibuatnya sebelum subuh. Kopi itu tidak panas lagi, tetapi cukup untuk menyadarkannya bahwa hari akan kembali panjang.
Rekan-rekannya mulai berdatangan pukul tujuh lewat. Suara sandal, suara tertawa, suara keluhan tentang proyek suami atau anak-anak yang malas sekolah. Ratna menatap layar, mencoba tidak mendengar. Mereka tidak jahat, hanya… tidak peduli.
Kemarin, ia mendengar dua rekan mudanya bergosip:
“Bu Ratna itu ya, kayak bayangan. Ada, tapi nggak berpengaruh.”
“Iya. Kerjanya cuma input doang. Untung gajinya kecil.”
Ia masih bisa merasakan tusukan kata itu di dadanya.
Bagas, atasan mudanya, datang sambil menenteng kopi mahal. Ia hanya melirik Ratna, lalu langsung ke ruangan. Lima menit kemudian, keluar email:
Bu Ratna, tolong segera sinkronkan data klaim Maret–April. Ada temuan selisih cukup besar. Hari ini harus selesai. — Bagas.
Ratna menarik napas panjang. Hari ini baru mulai, tetapi ancaman sudah terasa.
Pada pukul sembilan, kantor pusat mengirim notifikasi lain—lebih tajam, lebih dingin:
Jika tidak diselesaikan, bagian admisi akan dikenakan pemeriksaan internal.
Ada kata-kata yang tidak dituliskan tetapi terasa jelas: pecat, sangsi, kesalahan administratif, kelalaian staf.
Dan staf itu, seperti biasa, adalah Ratna.
Ia membuka folder lama. Maret–April adalah periode yang kacau. Berkas masih sebagian manual, sebagian digital. Ada pergantian shift mendadak. Ada hari ketika jaringan mati selama tiga jam. Semua orang mengeluh, tetapi akhirnya Ratna yang harus membereskan.
“Bu Ratna,” suara Bagas muncul dari belakangnya. “Temuan pusat cukup parah. Saya perlu Ibu fokus. Jangan salah lagi, ya. Teknisnya sudah jelas, kan?”
Kalimat itu seperti cambuk. Ratna memaksakan anggukan.
Padahal, dialah yang paling mengerti teknis itu.
Setelah Bagas pergi, Ratna menunduk lama. Tangannya gemetar sedikit. Sudah berapa lama ia menahan semuanya? Dua puluh tahun? Ia nyaris lupa kapan terakhir kali merasa dihargai. Ia hanya ingat wajah Aldi kecil, anaknya di rumah, yang setiap hari menunggu kepulangannya sambil menggenggam mainan favorit.
Anaknya tidak bisa membaca cepat, tidak bisa memahami instruksi rumit, tidak bisa bersosialisasi seperti anak lain. Tapi ia bisa tersenyum kepada Ratna seolah dunia tidak pernah menyakitinya. Senyum itu yang membuat Ratna bertahan.
Keluarganya baik-baik saja, suaminya sabar, tetapi gaji mereka tidak cukup tanpa penghasilan Ratna. Jika ia dipecat, terapi anaknya akan berhenti. Itu saja sudah cukup membuat Ratna berjuang mati-matian mempertahankan pekerjaan yang tidak pernah mau mengakui keberadaannya.
Siang itu, Ratna mendapati keganjilan pada data Maret:
Jumlah klaim yang tertera tidak sesuai dengan laporan harian.
Ratna membuka arsip manual, kebiasaannya yang sering diejek sebagai “cara orang tua.” Begitu ia bandingkan dengan file digital, ia menemukan sesuatu yang membuatnya berhenti bernapas.
Ada edit log dari user lain.
Seseorang telah mengubah datanya.
Tanggal edit itu adalah hari ketika Ratna sedang mengurus anaknya yang demam dan pulang dua jam lebih awal. Data itu seharusnya aman, tetapi ternyata tidak.
Edit itu menyebabkan selisih besar dalam laporan. Dan karena pengguna lain tidak mau bertanggung jawab, kesalahan mengalir begitu saja ke bawah. Ke Ratna.
Ia menutup mata. Kepala berat. Ada kemarahan, ketakutan, dan kelelahan yang menyatu jadi satu beban. Rasanya ingin menangis tapi tidak ada waktu.
Ia harus memperbaikinya, dan cepat.
Ratna bekerja tanpa makan siang. Tangan yang sejak pagi gemetar kini bergerak otomatis. Ia menelusuri jejak file sampai ke akar. Satu demi satu, ia salin dan rekap ulang. Jam berganti, hujan berhenti, langit memucat, dan ruangan mulai kosong.
Pada pukul lima, karyawan lain sudah pulang.
Pada pukul enam, cahaya lampu putih membuat matanya pedih.
Pada pukul tujuh, hanya suara AC dan napasnya sendiri yang terdengar.
Ia menatap layar:
semuanya sudah ia perbaiki.
Laporan telah rapi. Selisih telah ditutup. Data telah benar.
Tapi tangannya tetap gemetar. Karena ia tahu—di kantor ini, kebenaran tidak selalu menyelamatkan.
Ratna menyimpan file dalam satu folder khusus. Ia berniat mengirimkan laporan itu besok, agar pikirannya lebih jernih.
Lalu, ia mematikan komputer.
Dan saat itulah, pesan WhatsApp masuk:
Bu Ratna, pusat minta laporan FINAL malam ini. Kirim sebelum jam 21.00. — Bagas.
Ia menatap layar ponselnya, gemas, lelah, marah, frustasi… tapi ia tidak punya pilihan.
Ratna menyalakan kembali komputer. Matanya terasa terbakar.
Di rumah, suaminya menunggu. “Sayang, sudah jam setengah sembilan. Kamu di mana?”
Ratna hanya menjawab singkat: “Sebentar lagi selesai.”
Bagas kecil sudah tidur. Ratna menahan isak kecil.
Ia mengirim laporan itu pukul 20.52. Tepat waktu.
Tidak ada balasan. Tidak ada “terima kasih.” Tidak ada pujian. Yang ada hanya keheningan.
Ketika ia hendak mematikan komputer, pintu ruang admisi terbuka sedikit. Satpam mengintip.
“Bu… nggak pulang?”
Ratna tersenyum lelah. “Sebentar lagi.”
Ia memaksakan diri berdiri. Tubuhnya terasa kosong. Kakinya lunglai.
Lampu-lampu lorong terlihat berkedip. Entah karena listrik, atau karena matanya yang terlalu lelah.
Ia keluar gedung dengan langkah berat. Di halte, bus terakhir sudah pergi.
Ia menunggu lama. Angin malam mengiris kulitnya. Kota terasa jauh, asing, dan penuh bayangan.
Pukul 22.15 sebuah bus datang. Ratna naik. Kursinya keras, lampunya redup. Ia menempelkan kepala pada jendela yang dingin.
Lalu ia menangis tanpa suara.
Di rumah, Ratna membuka pintu perlahan. Suaminya tertidur di sofa dengan televisi yang masih menyala. Ratna mematikan televisi. Ia masuk ke kamar anaknya dan membelai rambut Aldi yang tidur pulas.
“Maaf ya, Nak…” bisiknya. “Mama selalu pulang terlambat.”
Tidak ada jawaban. Tapi melihat anaknya saja membuat Ratna merasa sedikit hidup.
Ratna duduk di sisi ranjang. Bahunya terasa berat. Ia memejamkan mata sejenak.
Lalu ponselnya berbunyi.
Email masuk.
Dari: Kantor Pusat
cc: Manajemen RS, Bagian Admisi
Ratna menahan napas.
Setelah meninjau laporan yang dikirimkan, kami menemukan beberapa ketidaksesuaian lain pada data bulan sebelumnya. Bagian admisi diminta hadir dalam rapat klarifikasi besok pagi pukul 08.00.
Ratna membaca ulang.
Beberapa ketidaksesuaian lain.
Bulan sebelumnya.
Besok pagi.
Tubuhnya dingin.
Ratna tahu.
Ini tidak akan pernah selesai.
Data itu memang bisa ia rapikan. Kesalahan orang lain bisa ia tanggung. Pengabaian atasan bisa ia telan. Tetapi sistem ini, struktur yang membuat orang kecil memikul beban kesalahan tanpa suara. Semua tidak akan berhenti.
Ratna duduk lama. Nafasnya pendek. Ia memikirkan dua puluh tahun yang ia berikan.
Dua puluh tahun yang hilang dalam lorong-lorong rumah sakit.
Dua puluh tahun yang tidak pernah dianggap.
Besok ia harus kembali. Ia tahu itu. Karena hidup tidak memberi pilihan lain.
Ia mematikan lampu kamar Aldi, keluar pelan, dan merapatkan pintu.
Malam sudah larut.
Ratna berbaring di ranjang, menatap langit-langit yang kosong.
Air matanya jatuh tanpa suara.
Dalam gelap, hanya satu kalimat yang berulang-ulang terputar di pikirannya:
"Hidup ini… tidak pernah selesai."
Dan ia tahu, esok pagi ia akan bangun lagi,
menjalani hari yang sama,
yang tak pernah mengerti arti perjuangan seorang perempuan
yang bekerja dalam bayang-bayang.
(Ch. Enung Martina Terinspirasi oleh seorang perempuan, admisi di sebuah sekolah swasta di Serpong)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar