Jumat, 12 Desember 2025

Cerpen Perjuangan Perempuan 3

 



Api yang Tidak Memilih


Ratna sudah terbiasa pulang dalam gelap. Bukan karena ia lembur setiap hari, melainkan karena hidupnya memang berjalan dalam irama yang jarang ramah pada cahaya. Pukul tujuh malam, gedung-gedung perkantoran di Sudirman masih menyala terang, seolah siang enggan menyerah. Ratna melangkah cepat menuju halte, menenteng tas kerja yang mulai aus di sudutnya, seperti dirinya, dipakai terus-menerus tanpa pernah benar-benar diperhatikan.

Ia perempuan lajang, empat puluh dua tahun, bekerja di perusahaan swasta nasional yang bergerak di bidang distribusi alat kesehatan. Jabatan supervisor administrasi, posisi yang cukup aman tetapi tidak cukup bergengsi untuk diperjuangkan dalam rapat-rapat strategis. Dua belas tahun bekerja, tiga kali pergantian manajemen, dan tak satu pun promosi berarti.

“Belum menikah?”
Pertanyaan itu selalu muncul, entah dari rekan baru, klien, atau bahkan HR saat evaluasi tahunan, seolah status hidupnya adalah kolom kosong yang harus segera diisi agar ia sah sepenuhnya sebagai manusia dewasa.

Ratna menjawab dengan senyum kecil. Senyum yang tidak menuntut penjelasan.

Di kantor, ia dikenal rapi, teliti, dan bisa diandalkan. Ia tidak banyak bicara, tidak ikut gosip, tidak bermain politik. Ia percaya bahwa bekerja dengan benar sudah cukup. Ia baru menyadari betapa naif keyakinan itu ketika intrik mulai menyentuh mejanya sendiri.

Pagi itu, Pak Arman, manajer divisi yang baru enam bulan menjabat, memanggilnya ke ruangannya. Ruang kaca dengan pendingin udara yang terlalu dingin, meja besar, dan kursi empuk yang membuat orang mudah lupa bahwa keputusan diambil tentang hidup banyak orang.

“Kita akan diaudit,” kata Pak Arman sambil mengetuk-ngetuk pena. “Data pengadaan tahun lalu ada beberapa catatan. Saya butuh kamu bantu merapikan.”

Ratna mengangguk. “Merapikan bagaimana, Pak?”

Pak Arman tersenyum tipis. “Kamu kan paham. Angka-angka itu tidak salah, hanya… perlu ditampilkan dengan lebih strategis.”

Ratna pulang ke mejanya dengan perasaan seperti membawa bara di telapak tangan. Ia membuka folder lama. Laporan pengadaan. Invoice. Tanda tangan. Semua rapi, semua sah, tetapi ada bagian yang memang sengaja ditutup-tutupi sejak dulu. Selisih kecil, potongan tak tercatat, keputusan cepat demi target.

Ia tahu permainan ini. Ia tidak buta. Selama ini ia memilih diam, bekerja sesuai tugas, tidak bertanya lebih jauh. Namun kali ini, tangannya sendiri diminta ikut menyentuh api.

Di pantry, Livia, rekan kerja yang sepuluh tahun lebih muda, berdiri di sampingnya.

“Ratna, Pak Arman percaya banget sama kamu,” katanya sambil mengaduk kopi. “Kesempatan langka, tahu.”

Ratna menatap wajah Livia yang licin oleh percaya diri. Perempuan itu pintar, cepat, dan tahu cara bertahan. Sesuatu yang tidak pernah benar-benar ia pelajari.

“Maksudnya?” tanya Ratna.

“Kalau laporan ini beres, kita semua aman. Kalau tidak…” Livia mengangkat bahu. “Kamu tahu sendiri.”

Ratna tahu. Di perusahaan swasta, aman berarti bertahan. Bertahan berarti diam. Diam berarti ikut.

Malam itu, di kamar kontrakannya yang sunyi, Ratna duduk di tepi ranjang. Tidak ada suara televisi. Tidak ada pesan masuk. Hidupnya sering terasa seperti ruang tunggu tanpa panggilan.

Ia membuka Alkitab kecil yang selalu dibawanya sejak muda. Tidak setiap hari dibaca, tetapi selalu ada, seperti jangkar. Matanya jatuh pada ayat yang entah bagaimana selalu kembali menghampirinya:

“…imanmu, yang jauh lebih tinggi nilainya daripada emas yang fana, yang diuji kemurniannya dengan api.”

Ratna menutup mata. Api. Kata itu tidak terdengar romantis. Api membakar, panas, menyakitkan, dan tidak memilih siapa yang siap atau tidak. Ia sadar, menjadi perempuan lajang membuatnya lebih rentan. Tidak ada pasangan untuk berbagi beban, tidak ada tameng sosial. Jika ia jatuh, ia jatuh sendirian.

Keesokan harinya, ia mulai mengerjakan laporan. Jemarinya bergerak lambat. Ia tahu persis bagian mana yang diminta “dirapikan”. Ia juga tahu konsekuensi jika ia tidak melakukannya.

Dalam rapat kecil, Pak Arman bertanya, “Sudah hampir selesai?”

“Hampir,” jawab Ratna.

“Pastikan tidak ada yang aneh,” tambahnya, menatap tajam.

Ratna mengangguk. Dadanya terasa sesak. Ia teringat ibunya yang sudah meninggal lima tahun lalu. Seorang perempuan sederhana yang membesarkannya sendiri setelah ayahnya pergi. Ibunya selalu berkata, “Hidup mungkin tidak adil, tapi jangan sampai kamu ikut tidak adil.”

Kalimat itu terasa seperti nyala kecil di tengah ruang gelap.

Ratna mengambil keputusan yang sunyi. Ia menyelesaikan laporan versi yang diminta, tetapi ia juga menyimpan versi asli, lengkap dengan catatan perbedaan, dan mengunggahnya ke sistem pusat yang terhubung langsung dengan auditor eksternal. Tidak ada drama. Tidak ada pemberitahuan. Hanya satu klik yang mengubah arah hidupnya.

Dua hari kemudian, suasana kantor berubah. Orang-orang bicara lebih pelan. Pintu ruang manajer sering tertutup. Nama Ratna disebut-sebut dengan nada yang tidak ramah.

Ia dipanggil.

“Kenapa ada dua versi laporan?” tanya Pak Arman dengan suara tertahan.

Ratna duduk tegak. Tangannya dingin. “Karena yang satu adalah data sebenarnya, Pak.”

“Kamu sadar apa akibatnya?”

Ratna mengangguk. “Saya sadar.”

“Kamu perempuan lajang,” kata Pak Arman tiba-tiba, nadanya merendah namun menusuk. “Kamu butuh stabilitas. Jangan idealis.”

Kalimat itu lebih menyakitkan daripada ancaman. Ratna tersenyum pahit. “Justru karena saya sendirian, Pak, saya harus tahu apa yang saya pegang.”

Hari-hari setelah itu menjadi ujian yang nyata. Ia dikeluarkan dari beberapa proyek. Undangan rapat tak lagi datang. Beberapa rekan menghindar. Ada yang berbisik bahwa Ratna terlalu kaku, terlalu sok suci.

Ia pulang ke kamar dengan tubuh lelah dan hati retak. Ada malam-malam ketika ia bertanya, apakah pilihannya bodoh. Tidak ada pujian. Tidak ada kepastian. Hanya kesepian yang kian terasa.

Namun anehnya, di tengah semua itu, ia tidak kehilangan dirinya. Ada luka, tetapi tidak ada kebohongan yang menempel di dada.

Sebulan kemudian, hasil audit keluar. Perusahaan dikenai sanksi administratif. Beberapa kebijakan diubah. Pak Arman dipindahkan. Tidak ada pengakuan resmi atas peran Ratna. Dunia kerja tidak tiba-tiba menjadi adil.

Namun suatu pagi, ia dipanggil direktur utama.

“Kami membutuhkan orang yang berani berdiri di tempat yang tidak nyaman,” katanya singkat. “Kamu akan bergabung dengan tim kepatuhan internal.”

Ratna keluar dari ruangan itu dengan langkah tenang. Ia tahu, ini bukan kemenangan besar. Ini hanya satu bab kecil dalam perjalanan panjang. Intrik akan selalu ada. Api akan selalu menyala di berbagai bentuk.

Di halte bus sore itu, Ratna berdiri sendirian seperti biasa. Lampu kota mulai menyala. Ia menghela napas, menatap langit yang kelabu.

Ia mengerti kini: iman bukan pelindung dari api. Iman justru sering menempatkan seseorang tepat di tengah nyala. Tetapi seperti emas yang diuji, bukan api yang menentukan nilai, melainkan apa yang tidak hancur setelahnya.

Ratna melangkah naik ke bus. Ia tetap lajang. Tetap bekerja. Tetap berjuang. Namun ia tahu, di dalam dirinya ada sesuatu yang telah dimurnikan, dan itu cukup untuk membuatnya terus berdiri. (Ch. Enung Martina)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar