Sabtu, 04 Agustus 2012

KEHENDAK ROH DAN KEINGINAN DAGING


Kesalahpahaman dan pertikaian bukan karena konflik kepentingan, melainkan karena kurangnya pemahaman akan satu dengan yang lain dan juga karena pengkotak-kotakan serta labeling yang diterapkan pada orng lain.

Tidak seorang pun di dunia ini lebih baik dari yang lain. Yesus berkata: Mengapa engkau katakana aku baik? Tidak ada seorang pun yang baik selain daripada Allah. Ini berarti tak ada seorang pun memiliki hak untuk menilai, menghakimi, apalagi mengadili orang lain. 

Itu kata orang-orang bijak. Nah, saya ini belum termasuk golongan orang yang bijaksana. Saya hanya terkadang bijaksini saja. Artinya bijaknya hanya di sini, sesaat, sesudah itu tak bijak lagi. Terkadang saya ini OD. Bukan over dosis, tetapi omong doang. Saya agak malu menuliskan refleksi  ini sebetulnya karena saya sadar, saya masih jauh dari hal itu. Saya ini masih suka gossip, suka melabel orang, suka terbawa menyalahakan orang, bahkan mungkin mengadili. Sebenarnya maunya roh saya sih tidak begitu. Tapi itu, si lidah memang benar-benar tidak bertulang . Lidah itu benar-benar daging tho. Karena itu, dia sangat lentur. Mudah bekelit dan mudah membelit. Itu dia barangkali yang dikatakan Kitab Suci bahwa keinginan daging lebih kuat daripada keinginan roh.

Roh saya merindukan Tuhan dalam saat doa dan hening. Namun, keinginan daging saya lebih suka melajutkan aktivitas untuk melajutkan pekerjaan rumah, pekerjaan sekolah, berselancar di dunia maya, atau mengobrol ngalor ngidul tak tentu arah. Waduh kok ya keinginan daging saya ini kuat banget ya. Lha saya ini tahu bahwa menjaga kesehatan itu juga bagian dari iman untuk menjaga bait Allah karena tubuh itu adalah bait-Nya. Akan tetapi saya masih saja suka ngemil klethikan yang gurih-gurih dan berminyak, yang digoreng-goreng, dan kemeriuk itu sungguh menggoda iman saya. Boro-boro seperti pembantu saya,  Mbak Yanti , yang puasanya getol selama Ramadhan ini. Dia itu buruh nyuci - nyetrika dan nyapu-ngepel dari pintu ke pintu, tapi ya puasanya kok ya… mulus gitu lo. Yang saya tahu, dalam satu hari ada  dua rumah yang dia garap. Haduhhh, ternyata kok ya tidak mudah  menahan godaan itu. Abot tenan!

Lantas saya berpikir mengapa bisa begitu ya? Mbak Yanti kuat berpuasa dari saur sampai bedug magrib berkumandang. Sementara saya menahan untuk tidak makan goreng-gorengan saja susahnya setengah urip. Ternyata rahasianya ada pada NIAT. Mbak Yanti itu ketika akan berpuasa mengucap niat dengan doa. Nawaitu shauma sahri ramadhana Kullihi Lillahi ta’ala. Artinya : Sengaja aku berpuasa sebulan pada bulan Ramadan tahun ini kerana Allah Taala.

Lihat! Itu ajaibnya sebuah niat yang dibawa ke dalam doa! Saya merenungkan makna dari doa di atas, dan saya merasa minder! Pembantu saya lebih religious daripada saya! Religiousitas seseorang tidak diukur dari pembantu antau majikan, dari kaya atau miskin, dan dari intelek atau bodohnya seseorang.

Satu hal lain yang tentunya dijalani pembantu saya dalam melakoni puasanya adalah : dia iklas! Itu juga kunci dalam menjalankan segala sesuatu. Saya KO kedua kalinya! Lha, saya ini terkadang masih menggerutu (meski di dalam hati sekali pun)  untuk menjalai sesuatu. Benar-benar saya kalah telak dengan pembantu saya dalam hal ini.

Saudara-Saudari, saya ini terkadang merasa sudah menjadi orang yang beriman, orang yang saleh karena menjalankan kewajiban agama saya. Saya ke Gereja untuk mengikuti Ekaristi, saya berdoa pribadi, dan saya juga ikut doa dalam komunitas. Rupanya, itu semua belumlah cukup, bila semua hanya ada di permukaan saja. Hanya di luar, hanya fisik, hanya rutinitas, hanya sebatas kewajiban. Semua yang saya lakukan itu tidak samapai inti, tidak mendalam, tidak menyentuh yang hakiki, tidak menembus  sampai ke ruh saya. Semua sia-sia. Percuma.

Romo Thomas Hidya Tjaya, S.J. dalam bukunya Peziarahan Hati  berkata bahwa kita berdoa harus membuka hati . Hanya dengan hati yang terhubung pada Tuhanlah kita dapat mengalami dan merasakan keindahan kasih Tuhan secara langsung. Keindahan doa hanya dapat dirasakan kalau kita menggunakan seluruh hati dalam berdoa.

Saya tahu bahwa doa saya belum sampai pada level seperti itu. Mungkin kalau anak sekolah saya baru belajar melek huruf sedikit. Namun, saya tetap percaya meskipun tingakat iman dan doa saya baru level anak TK-B, Tuhan tetap juga menyayangi saya.

Sekarang ini kalau saya ke Gereja dengan niat mengikuti Ekaristi dengan khusyuk, rupanya belum tercapai. Saat ini kalau Saya ke Gereja dengan anak bontot saya yang berusia 2 tahun itu, menjadi sebuah perayaan Ekaristi di lapangan parkir St. Ursula. Maklum anak usia seperti itu belum bisa duduk manis di dalam Gereja. Meskipun begitu, saya tetap ke Gereja membawa anak saya dan dibawa sendiri, bukan diserahkan pembantu. Saya lebih percaya kalau ibunya yang memegang hasilnya akan berbeda dengan ketika  orang lain yang memegang. Repot. O, itu pasti. Cape dan pegal. Itu juga betul. Maklum sudah tua. Bagi saya, membawa anak ke Gereja  merupakan tugas orang tua.

Itulah yang bisa saya lakukan sekarang. Saya melakoninya. Saya sedang  belajar iklas. Saya belajar dari Mbak Yanti yang melakoni semuanya dengan begitu saja. Mengalir tanpa beban. Meski saya sadar bahwa keinginan daging saya lebih dominan daripada kehendak roh saya, saya tetap yakin bahwa kalau kita belajar dan berusaha pasti kita bisa melakukannya.. 

(Bulam Ramadhan 1443 H.)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar