Selasa, 12 Maret 2013

KISAH DI BALIK PASKAH


Bagi orang Yahudi kuno, mengenangkan sebuah peristiwa religius lebih dari sekedar mengingat-ingat kembali sesuatu yang terjadi berabad-abad sebelumnya. Sebaliknya, mengingat peristiwa tersebut berarti membawa orang masuk ke dalam realitas dan menghidupinya kembali lewat iman.

Demikian pula ketika orang Yahudi mengenang perayaan Paskah Yahudi setiap tahun, mereka melakukannya lebih dari sekedar mengingat peristiwa pembebasan leluhur mereka dari mesir. Namun, lebih dari itu, dengan mengenangkannya, mereka membawa peristiwa itu memasuki masa kini dan menghidupinya kembali. Dengan cara ini mereka menerima berkat yang sama dari peristiwa tersebut seperti yang diterima para leluhur mereka dulu.

Paskah Yahudi dilakukan pada malam hari, tepat setelah munculnya bintang-bintang pertama. Itulah sebabnya setiap orang merayakannya pada saat yang sama sebagai sebuah keluarga. Ketika bintang-bintang pertama bermunculan 2000 tahun yang lalu, Yesus bertindak sebagai seorang bapak, memulai rangkaian perayaan Paskah Yahudi. Cara yang Dia lakukan cukup mencengangkan para murid yang ikut bersama-Nya kala itu. Dia melakukan ritual itu dengan membuka jubah luar-Nya dan membasuh kaki para rasul-Nya.
Bagi orang Yahudi, membasuh kaki orang lain adalah tindak perendahan diri. Hanya para budaklah yang membasuh kaki orang lain. Itulah sebabnya tindakan Yesus  membekaskan suatu perasaan yang mendalam dalam diri para rasul.

Dalam Paskah Yahudi biasanya digunakan anggur merah untuk mengenangkan ambang pintu bertandakan darah di Mesir pada masa Musa membebaskan orang Israel. Perjamuan Yahudi biasa  dimulai dengan pemecahan roti terlebih dahulu. Namun, pada saat Paskah Yahudi, perjamuan dimulai dengan makan sayur pahit. Sayuran pahit mengingatkan tahun-tahun perbudakan yang getir di tanah Mesir. Kemudian perjamuan dilanjutkan dengan makan roti tak beragi untuk mengingatkan keberangkatan yang tergesa-gesa keluar dari Mesir.

Mari sekarang kita mengaitkannya dengan tokoh utama kita, Yesus. Menjelang penyaliban-Nya, Yesus mengadakan perjamuan bersama para rasul-Nya. Perjamuan itu tak terlupakan oleh mereka. Perjamuan tersebut merupakan cikal bakal Ekaristi yang setiap minggu kita ikuti.Semoga perjamuan Ekarisisti tidak hanya sekedar menerima hosti yang menjadi tradisi Gereja Katolik saja, tetapi bisa dimaknai mendalam. Seperti halnya orang Yahudi yang mengenagkan peristiwa religius mereka dengan keyakinan bahwa  mengingat peristiwa tersebut berarti membawa orang masuk ke dalam realitas dan menghidupinya kembali lewat iman.

Paskah Kristen berbeda dengan Paskah Yahudi. Paskah Kristen mengingatkan kita pada peristiwa Kebangitan Yesus dari kematian. Kematian Yesus diuraikan oleh Mark Link, SJ dalam bukunya Journey sebagai tanda, undangan, dan pewahyuan. Dikatakan tanda karena kematian Kristus merupakan tanda kedalaman kasih Yesus kepada manusia dan tanda ketaatan sekaligus kasih  kepada Bapa. Dikatakan sebagai undangan karena kematian-Nya merupakan undangan untuk saling mengasihi seperti yang telah dicontohkan sendiri oleh-Nya. “ Kasihilah satu sama lain seperti Aku mengasihimu.” (Yoh. 15:12). Dinyatakan sebagai pewahyuan karena kematian Kristus mewahyukan tentang kasih yang sering dilupakan. Sekaligus juga mewahyukan bahwa cinta menuntut penderitaan. Dari kita dituntut untuk mengikuti-Nya tanpa cerewet. “Barang siapa mau mengikut  Aku, harus menyangkal dirinya, memikul salibnya, dan mengikuti Aku.” ( Mark. 8:34)

Bagaimana dengan kita sendiri berkaitan dengan Paskah ini? Sebagai orang Katolik memang kita menjalani ritual yang selayaknya secara liturgis dijalani. Namun, terkadang hanya sebatas ritual. Meskipun begitu, saya masih melihat sisi lain bahwa baiklah itu, orang Katolik pada Pekan Suci rajin datang ke gereja untuk mengikuti semua ritual. Itu tandanya ada niat baik. Bahkan orang yang jarang terlihat pun datang ke gereja. Alangkah baiknya bila niat baik untuk mengikuti rangkaian Pekan Suci itu juga dibarengi dengan sikap hati yang ditunjukkan dengan perilaku. Lebih elok lagi bila akhirnya semua kegiatan liturgis itu menjadi tanda perubahan dalam sikap dan tingkah laku kita keseharian. Semangat Paskah membawa kita pada sikap hidup yang baik. Paskah membawa kita lebih membuka hati pada Bapa  untuk berelasi dengan-Nya , merasakan kasih-Nya, dan mensyukuri  kasih-Nya.

Setiap upacara liturgi yang kita ikuti kiranya mampu membawa kita mengenangkan peristiwa religius lebih dari sekedar mengingat-ingat kembali sesuatu yang terjadi berabad-abad sebelumnya, tetapi membawa kita mengingat peristiwa tersebut masuk ke dalam realitas dan menghidupinya kembali lewat iman. AMIN.
(Ch. Enung Martina) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar