Senin, 28 April 2014

GOLGOTA GEREJA MAKAM KUDUS

Untuk mengenangkan kembali DIA yang menderita, tersalib, wafat, dan bangkit pada hari ketiga, saya menuliskan kembali perjalanan saya bersama rombongan Santa Ursula BSD ke Tanah Suci tujuh tahun yang lalu. Meski sudah berlalu sekian tahun, terasa masih segar dalam ingatan.

"Dan Yusuf (dariArimatea) pun mengambil mayat itu, mengapaninya dengan kain lenan yang putih bersih, lalu membaringkannya di dalam kuburnya yang baru, yang digalinya di dalam bukit batu, dan sesudah menggulingkan sebuah batu besar ke pintu kubur itu, pergilah ia." (Matius 27:59-60)

Kami memasuki pelataran Bukit Golgota yang sekarang sudah menjadi komplek sgereja yang sangat besar. Seluruh bukit itu sudah menjadi gereja. Satu tempat yang dianggap paling kudus oleh seluruh umat Kristen adalah Gereja Makam Kudus. Gereja ini berdiri di atas puncak Golgota, tempat Yesus disalibkan dan makam tempat Yesus dibaringkan hingga kebangkitan-Nya. Dahulunya tempat ini merupakan bagian di luar tembok kota Yerusalem.

Gerbang di kompleks itu besar dan tinggi. Pintunya dari kayu tebal dan bergerendel besi. Kaum Kristen di seluruh dunia mengenal gerbang itu sebagai pintu masuk Gereja Makam Kudus di Yerusalem. Gereja ini dibangun pada 326 Masehi atas usulan Kekaisaran Romawi Konstantinopel. Tempat ini menjadi situs awal umat Nasrani beribadah.

Gereja di komplek ini dibagi-bagi menjadi tujuh komunitas gereja kuno, yaitu: Gereja Katolik Roma, Gereja Ortodoks Yunani, Gereja Armenia, Gereja Koptik, dan Gereja Assyria. Pembagian ini didasarkan pada perjanjian Status Quo oleh peraturanTurki tahun 1852. Makam suci itu dijaga selama berabad-abad oleh sebuah keluarga Muslim. Wajeeh Nuseibeh adalah salah satu keturunan keluarga itu yang saat itu menjadi juru kunci Gereja Makam Kudus. Ketika Khalifah Umar menguasai Yerusalem pada tahun 638 Masehi, beliau menugaskan salah satu prajurit Arab, nenek moyang Wajeeh, menjaga gereja itu.

Suasana di tempat ini terasa sangat syahdu dan sendu menurut perasaan sayaNamun, ada keagungan dan kekudusan yang dirasakan. Meskipun pengunjung berjubel, ketenangan dan kekhidmatan tetap terjaga.

Sebelum memasuki komplek ini kami berjalan salib melalui stasi-stasi yang tersedia. Rute jalan Salib itu dikenal dengan Via Dolorosa.  Kami melanjutkanjalansalib kami dengan perayaan Ekaristi di kapel Makam Suci sebagai perhentian keempat belas. Pada Ekarist ini, Romo Robby Wowor OFM, pembimbing rohani kami, berbicara tentang nilai pengorbanan yang tulus. Dalam menjalankan tugas, hendaknya kita melakukannya dengan baik hingga kesudahannya. Dalam tugas ada banyak pengorbanan yang akan kita temukan, tetapi semua itu akan membuat tugas kita menjadi sempurna.
Lelehan air mata haru sepanjang perayaanEkaristi kami rasakan. Kami merasa syukur yang tak terhingga atas kesempatan ini hingga kami bisa merayakan Ekaristi di Golgota. Ketika kami keluar satu persatu dari kapel itu, tak lupa kami menyentuh potongan pilar/tiang yang diduga tempat menambatkan tanganYesus saat sedang dipecuti. Potongan pilar itu diletakkan dekat pintu keluar/masuk.

Karena di beberapa perhentian seperti XI, XII, XIII masih penuh oleh pengunjung dari berbagai bangsa, maka kami tadi langsung ke perhentian XIV untuk merayakan Ekaristi. Seperti yang tadi diungkapkan bahwa Basilika Makam Kudus ini terbagi menjadi beberapa bagian yang dimiliki oleh gereja-gereja yang dianggap kuno. Di sisi lain saya merasakan agak terhenyak juga ternyata di tanah suci saja pemisahanmasih berlaku, tetapi sisi lain lagi saya merasa bangga karena saya adalah umat Katolik Roma yang masih mempunyai hak milik. Mengapa demikian? Karena berbarengan dengan penziarahan kami, ada beberapa rombongan dari Indonesia, ternyata beberapa saudara kita dari gereja nonkatolik, mereka tidak bisa leluasa mengadakan ibadat seperti kita merayakan Ekaristi.

Akhirnya kami  mendapat giliran juga memasuki stasi tempat Yesus disalibkan. Dengan menapaki tangga yang cukup curam, kami perlahan memasuki tempat kudus ini. Kami semua berbaris mengantri, sabar menunggu giliran untuk bisa mencium situs yang disucikan ini.  Semua mendapat giliran menciumnya.

Saya letakkan ransel yang terpasang di punggung terlebih dahulu agar tidak mengganggu saat saya melakukan ritual ini. Saya berlutut mencium tempat itu dengan sepenuh hati. Lidah terasa kelu.  Ada banyak hal yang ingin saya ucapkan dan ungkapkan di bawah kaki-Nya yang kudus. Hanya air mata yang terus merebak dan merembes di kedua mata,  jatuh perlahan. TuhanTerima kasih, sembah sujudku untuk-Mu Sang Penyelamat Dunia.     Segera saya bangkit karena antrian di belakang begitu panjang. Semua yang mengantri perasaannya juga tak jauh dengan saya. Saya duduk agak jauh dari situ untuk kembali meneruskan doa yang belum semua terucap.

Kemudian, kami turun menuju batu tempat Yesus dimandikan. Kami menyentuhnya. Saya usapkan saputangan pada batu yang selalu basah dengan minyak wangi itu. Kami mengantri lagi untuk menuju makam Yesus tempat Yesus dibaringkan sampai hari kebangkitan-Nya. Hak milik makam ini ada pada Gereja  Ortodoks. Makam ini terletak di kaki bukit  Kalvari. Menurut Kitab Suci, makam ini dibuat oleh Yusuf dari Arimathea. Sesudah menurunkan mayat itu, ia (Yusuf Arimathea) mengafani-Nya denagn kain lenan, lalu membaringkan-Nya di dalam kubur yang digali di dalam bukit batu, di mana belum pernah dibaringkan mayat (Luk. 23:53).

Akhirnya tiba juga giliran saya masuk ke dalamnya. Makam itu terdiri dari dua bilik. Bilik pertama digunakan untuk para peziarah dan bilik ke dua digunakan untuk tempat jenazah dibaringkan. Ketika kami masuk bilik pertama pintu masuk lebih tinggi dibandingkan pada bilik kedua. Peziarah harus mengantri lagi di bilik pertama. Tiga orang peziarah berada di dalam bilik kedua. Seorang pastor Ortodoks saat itu menjadi pengatur lalulintas di dalam bilik.

Tiba giliran saya dengan dua orang teman yang lain masuk ke dalam bilik kedua. Kami maju dengan menundukkan kepala karena pintunya pendek. Di dalam bilik kedua ada semacam batu padas yang dibuat lempeng tempat jenazah dibaringkan. Kini batu itu   ditutup dengan kaca. Kami berlutut dan mencium bagian atasnya. Tak satu pun dari kami mampu untuk menahan rasa haru yang mendalam saat bibir kami menyentuhnya. Kami masih ingin menyampaikan banyak hal yang bergejolak dalam hati kami, tetapi yang terucap hanya satu kata: terima kasih. Sementara itu pastor penjaga sudah memberikan tanda bahwa kami harus keluar. Dengan perasaan yang berat kami meninggalkan bilik kedua. Ketika keluar bilik kedua, kami harus mundur agar tidak terantuk pada lawang gua.

Perasaan yang mengharu-biru masih terbawa saat keluar dari dalam bilik. Air mata masih meleleh. Ketika kami ke luar bilik pertama, antrian masih panjang dan sudah disambung lagi dengan antrian dari gereja lain, dari India sepertinya. Saya putuskan untuk bersandar pada pilar besar yang ada di sekitar situ untuk melanjutkan doa. Sementara itu antrian panjang masih terus ke luar dan masuk membawa para peziarah yang menggenapi dan memuaskan perasaan rindunya kepada Sang Penebus.

            Renungan di Golgota
Terkadang aku bertanya
Mengapa aku selalu menjadi korban?
Mengapa aku selalu harus mengalah?
Mengapa aku harus bersabar?
Di tempat ini, Dia berkata:
Karena Aku ingin kamu menjadi pemenang
Bukan menjadi korban
Untuk berkembang
Bukan untuk direndahkan
Untuk dimuliakan
Bukan dihinakan
Untuk bisa mengatasi berbagai rintangan
Sehingga sepanjang hidupmu bermakna dan bahagia.

( Ch. Enung Martina, Jelupang, Paskah 2014)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar