Senin, 07 November 2016

Cerpen tentang Kematian

TABIR TIPIS KEMATIAN

Masih ingatkah akan cerpen saya tentang alam yang berjudul Cerita Sebuah Pohon Tanjung? Cerpen ini diunggah 10 Februari 2013 sehari sebelum saya ulang tahun ke-49. Cerpen itu berkisah tentang hati saya yang biru dan lebam karena 2 pohon tanjung besar di rumah saya ditebang karena lahan di dekatnya akan dibangun rumah, padahal pohon tanjung itu pohon peneduh di pinggir jalan.  Pohon tanjung itu sudah berusia sekitar 18 tahun kala ia ditebang. Hati saya merana sampai rasanya sakit saat saya bernafas. Kala itu saya benci terhadap orang yang akan jadi calon tetangga saya yang membangun rumahnya disamping rumah saya denagn mengorbankan pohon tanjung besar yang saya cintai.

Ini adalah lanjutan kisah sesudah 3 tahun lebih peristiwa itu berlalu.  Kami dengan penebang pohon tanjung ini menjadi tetangga. Ada asam dan manis menjadi tetangga. Awalnya saya agak canggung ketika bertegur sapa denagn keluarga ini. Apalagi saat saya mengingat dua pohon tanjung, hati saya teriris lagi. Namun, dengan bergeraknya waktu yang ajaib, kami menjadi tetangga yang baik. Anak-anaknya 3 orang anak laki-laki mulai bermain ke rumah kami. Main bersama si bungsu, Abhimanyu. Terutama anak nomor dua yang usianya selisih 1 tahun dengan bungsu saya.  Nonton yutube bersama, main game bersama, naik sepeda bersama, makan bareng, jatuh bareng, nakal bareng. Pokoknya menjadi sahabat baik. Alvin, nama anak kedua tetangga baru ini hampir setiap hari main ke rumah saya. Mungkin karena di rumah ada vasilitas internet dan laptop yang bisa dijadikan dua anak generasi Z ini bermain. Jadilah kedua anak ini menjadikan rumah saya jadi amrkas mereka.

Saya sendiri sudah jatuh cinta dengan Alvin. Anak laki-laki yang rambutnya selalu dipotong plontos itu sangat pandai membawakan diri saat bermain dengan Abhimanyu. Demikian pula kami orang tua, akhirnya mulai berperilaku layaknya tetangga,  saling mencicipi oleh-pleh bila habis bepergian, berbagi masakan yang kami masak. Hati saya sudah tidak biru lagi. Pohon tanjung masih ada dalam ingatan saya, tetapi sakit hati mulai terkikis. Itu keajaiban waktu.

Kebetulan pula bahwa saya orang Sunda dan keluarga ini suami istri dari kabupaten yang sama denagn saya. Bahkan, sang istri satu kecamatan dengan saya. Jadilah kami sering mengobrol dengan bahasa Sunda yang sangat langka saya gunakan di sini karena tak ada lawan.  Begitulah kami akhirnya menjadi tetangga yang baik.

Memang ada beberapa hal dari keluarga ini yang tak cocok denagn prinsip saya, contohnya  dalam hal lingkungan dan pola pengasuhan anak. Namun itu hal lumrah karena tidak tiap orang harus sama dengan apa yang saya mau. Dalam hal lingkungan keluarga ini saat membangun  rumah memindahkan batas jalan umum untuk memperlebar batas tanahnya. Waktu itu salah satu dari warga blok kami sudah ada yang mengingatkan, tetapi tetangga baru saya tak menggubriusnya.  Masih dalam hal lingkungan, keluarga ini tidak membuat bak sampah dekat rumahnya, melainkan menempatkan pot besar sebagai pengganti tempat sampah di samping bak sampah saya yang dibangun permanen. Dalam pola pengasuhan anak, tak ada batasan waktu anak bermain di luar atau ke rumah tetangga. Anak akan dibiarkan pulang sendiri. Terkadang saya harus mengusir Alvin pulang karena sudah kelamaan di rumah saya.

Hal-hal demikian bukan menjadi pengahalang dalam bertetangga itu pikir saya. Namun, untuk melebarkan batas tanah sempat menjadi bahan pemikiran saya. Itu karena saya dibesarkan dalam budaya pertanian yang sangat menghargai tanah, tanaman, dan air. Ayah saya almarhum pernah memberikan petuahnya bahwa jangan pernah kita melebihkan batas tanah kita dengan mengambil batas tanah orang lain. Itu pamali. Saya masih ingat karena saat itu tidak puas dengan pernyataan pamali. Lantas saya bertanya : Kenapa? Ayah saya bilang tanah itu menyangkut ‘hurip’ kehidupan. Semua mahluk bumi hidup dari tanah dan air. Karena itu kalau kamu memindahkan batas,  kamu sudah mencurangi kehidupan. begitu penjelasan ayah saya. Pasti ada akibatnya. Waktu saya bertanya apa akibatnya? Tapi Emak (ibu saya) bilang kalau pamali itu  tak usah dipertanyakan karena itu aturan leluhur yang juga diturunkan dari sononya. Mereka membuat aturan itu berdasarkan pengalaman mereka. Jadi saya tidak bertanya lagi.

Nah, kata-kata ayah saya jadi terngiang lagi ketika tetangga baru saya memindahkan batas itu. Tapi karena banyak perkara lain yang  menyita pikiran saya, hal tersebut tidak berkepanjangan, dengan sendirinya hilang begitu saja.

Hingga pada suatu hari Kamis tanggal 18 Agustus 2018, saya pulang dari tempat kerja melewati rumah tetangga baru saya sebelum masuk ke pintu pagar saya. Saya melihat di gang sudah dipasang tenda. Saya lewat saja karena pikir saya mungkin Papa Alvin mau menyelenggarakan pesta. Ketika saya masuk, Abhimanyu sedang menonton chanel yutube kesukaannya, tiba-tiba mengatakan, “Ibu, Alvin meninggal tadi pagi.”

Saya sontak melepaskan barang bawaannya saya dari tangan saya, seolah petir di siang bolong berita itu masuk ke kepala saya. “Kenapa Alvin, Abhi?”
“Alvin sudah dipanggil Tuhan. Tapi kamu gak usah sedih.”

Sudah pasti sedih dan kaget. Meskipun Abhimanyu berpesan begitu. Masih terlihat di sudut mata saya, Alvin duduk berdua dengan Abhimanyu di kursi yang sekarng diduduki Abhimanyu saat melihat chanel yutube atau bermain game bersama. Masih terbayang di pelupuk mata kaus – celana setelan hijau ada strip kuning di lengannya dengan gambar pahlawan power ranger di depannya. Di halaman rumah, tepatnya jalan gang blok kami, Alvin akan main bola atau main kayu bersama adiknya. Semuanya nyata di mata saya yang sekarang basah bersimabha air mata.

Tanpa mengganti seragam kerja berwarna biru ngejreng yang melekat di tubuh saya, saya langsung menyambangi tetangga baru saya. Keluarga inti Alvin tak ada di rumah. Mereka membawa jenazah Alvin ke kampung ibunya, berarti ke daerah saya, untuk memakamkannya di sana. Yang menyambut saya adalah paman dan bibinya yang dipercaya menjaga rumah.

Saya bertanya pada mereka penyebab Alvin meninggal. Mereka mengatakan Alvin panas 3 hari, ini hari keempat ia meninggal. Tubuh Alvin membiru saat meninggal, terutama di bagian kuku dan lidahnya. Saya kaget sekali. Saya penasaran apa yang menyebkan kematian bocah ini. Namun, mereka menjelaskan saat dibawa ke RS Medika, Alvin sudah meninggal sehingga tak bisa diketahui apa penyebabnya.

Saat saya berbincang dengan teman sekerja saya yang sekaligus tetangga saya selang satu rumah, topik kami  masih pertanyaan seputar penyebab kematian Alvin. Pak Jaka kawan saya akhirnya menelepon adiknya yang seorang dokter. Adik Pak Jaka menyatakan kalau dengan tanda seperti itu, kematian itu disebabkan kekurangan oksigen. Apakah Alvin mempunyai penyakit asma? Saya tak berani menanyakan pada orang tuanya hingga saat ini. Saya bertemu dengan mereka tak pernah menyinggung Alvin. Saya tahu hal itu akan melukai mereka.

Saya dan Abhimanyu khususnya mendoakan Alvin saat doa malam kami. Dua hari setelah kematian Alvin, berarti itu hari ketiganya Alvin tiada, Abhimanyu minta sendiri untuk mendoakan Alvin. Kami berdoa dimualai dengan doa Abhimanyu untu Alvin dan untuk supaya tidak mimpi buruk, melainkan mimpi indah. Lalu doa saya lanjutkan juga masih untuk Alvin. Selesai kami membuat tanda salib tanda doa berakhir, Abhimanyu tiba-tiba berkata, “Bu, kok kamar kita wangi sekali. Apa ada minyak wangi yang tumpah? Coba Ibu cium!” Tapi saya tak mencium apa pun. Sampai saya cari di seputar kamar bahkan ke luar dekat jendela, saya tak menemukan apa-apa. Namun, Abhimanyu tetap ‘keukeuh’ menyatakan bahwa kamarnya wangi sekali, wangi parfum dengan aroma manis, begitu ia mendeskripsikan.

Saya tidak diberi berkat untuk mencium wangi itu. Wangi itu hanya khusus UNTUK ABHIMANYU SAJA. Ketika ia bertanya itu wangi apa, saya agak sukar untuk menjawab pertanyaan itu. Saya ngarang bahwa mungkin itu wangi yang dibawa angin ke rumah kita lalu mampir di kamarmu. Begitu saya menjelaskan. Untung dia mengantuk sehingga pertanyaan tidak bersambung.
Setiap malam acara rutin saya bermeditasi (Zen Qi Sirkulasi) untuk tujuan kebugaran tubuh. Biasanya dilakukan sesudah doa malam atau sebelum rutinitas pagi. Pukul 3 .30 pagi saya bangun, lalu doa dilanjutkan meditasi. Lumayan kalau ada masalah tidak langsung nyamber ke titik emosi negatif saya, kepala jadi agak adem.

Penyebab kematian Alvin masih bersarang di otak saya. Karena itu akhirnya saya bawa dalam meditasi pernafasan saya. Apa yang didapat saudara? Ingatan kembali ke tahun 2013 saat tetangga baru saya membabat habis pohon tanjung dan membuat hati saya biru lebam. Otak saya menghubungkan pohon tanjung itu adalah sumber oksigen untuk tiap mahluk yang ada di sekitarnya. Pohon adalah pabrik oksigen. Pohon ditebang artinya kita menghancurkan pabrik oksigen. Artinya merampas oksigen dari mahluk  yang membutuhkannya. Alvin mati kekurangan oksigen. Bapaknya Alvin 3 tahun lalu menghilangkan sumber oksigen.  Bapak Alvin mengubah batas tanah yang merupakan jalan umum- hajat hidup orang banyak untuk memperluas tanahnya sendiri. Sekarang hidup Alvin terenggut?

Dalam meditasi itu air mata saya menetes deras. Saat itu saya sangat takut dengan hukum alam. Atau huku karma. Atau hukum sebab akibat. Atau hukum pamali yang ayah saya katakan. Saya sangat takut. Otak neokortek saya yang merupakan otak akal budi menepis hasil analisis otak reptilia dan otak mamalia saya. Saya bertanya apakah pamali yang Ayah saya ajarkan itu benar terjadi? Apakah benar ketika kita melakukan tindakan gegabah pada alam bisa berdampak langsung seperti itu? Tapi kenapa kalau itu  benar terjadi apda anak kecil yang tak mengerti apa-apa?

Itu semua analisis di otak reptilia dan otak mamalia saya saat meditasi.  Salah satu Suhu pernah menyatakan bermeditasi itu adalah proses otak untuk menganalisis, memilah, mengungakp, menimbang, membangun,  dan akhirnya memaparkan. Namun, benar atau tidaknya, Walallahu Alam.
(Ch. Enung Martina)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar