Senin, 02 Oktober 2017

STRAWBERRY GENERATION




Setiap hari Selasa saya bertugas piket. Biasanya saya akan mengambil tempat pagi hari untuk berpiket di tempat favorit saya, yaitu di bawah pohon nangka. Spot itu paling saya sukai karena  berdekatan dengan tempat penyebrangan dari lapangan parkir yang berlokasi di unit SD. Jadi setiap orang yang akan pergi ke SMP dan SMA atau TK akan melewati tempat saya berdiri. Biasanya saya berdiri di situ sambil mengawasi anak-anak berlalu lalang menuju kelasnya masing-masing. Saya senang karena bisa menyapa mereka dan melihat bagaimana mereka dengan berbagai ekspresi menuju kelasnya.
Aneka ekspresi yang biasanya saya lihat. Ada yang tersenyum manis siap menyongsong hari. Ada yang cemberut bermuka bete. Ada yang nampak berbeban berat. Ada yang kalem melangkah dengan pasti. Ada juga yang tak peduli melangkah dengan serampangan. Berbagai ekspresi tersebut menunjukkan isi hati yang tak bisa saya ketahui.
Suatu pagi di hari Selasa yang cerah, tepatnya 3 Oktober 2017, saya terkagetkan karena di sebrang jalan dari parkiran SD ada seorang ibu dengan  Pak Rio, kawan saya guru SD yang sedang piket dekat pos satpam, mereka menggandeng seorang anak SMP. Lha itu berarti murid saya anak SMP karena saya guru SMP.
Lantas atas seijin satpam saya menerobos kendaraan yang berseliweran untuk menyebrang mendekati anak tadi. Lalu saya menyebrang dan memastikan anak tersebut. Rupanya salah seorang anak perempuan dari kelas VIII-C. anak itu sudah dibawa masuk ke pos satpam. Ketika saya jenguk dia sedang dalam keadaan kejang.
Lalu ibu yang menggandengnya tadi (ternyata itu mamanya) menyatakan bahwa  anak ini kena serangan kejang dan sesak nafas  takut diejek temannya karena salah seragam. Anak ini akan mengalami serangan seperti itu kalau dia merasa takut dan tak  bisa mengatasai sesuatu.
Agak lama saya menenangkan dia. Namun, usaha saya tak ada hasil. Karena dia masih kejang. Akhirnya dia dibawa pulang. Hari itu dia tidak masuk sekolah.
Lantas saya berkomentar dalam hati. Walah, kalau hanya gara-gara salah seragam saja dia sudah mendapat serangan kejang. Apalagi kalau mendapat tekanan permasalahan yang berat. Apa yang akan terjadi. Betapa rapuhnya mental anak ini. Lantas saya mengingat masa SMP saya pada akhir tahun 70-an yang penuh dengan banyak tantangan. Termasuk saya di-bully oleh teman dan guru saya karena saya beragama katolik.
Jadinya pagi itu saya melihat perbedaan antara generasi saya dan generasi anak sekarang. Zaman saya dulu berjalan kaki ke sekolah dengan jarak 5 km sudah biasa. Kepanasan dan kehujanan bukan masalah. Bahkan, perlakuan dari guru yang mendidik pun lebih keras daripada saya yang jadi guru sekarang pun kami alami. Itu pun tak menjadi masalah, malah menjadikan mental kami sekuat baja.
Sementara anak sekarang mendapat tantangan dan kesusahan sedikit saja sudah mengeluh panjang pendek. Inilah yang membaut para pengamat dan para ahli pendidikan melihat anak sekarang sebagai generasi stoberi. Generasi yang manis tetapi lembek di dalam. Rapuh dan mudah terlukai.
Dari bentuk dan warnanya, strawberry itu menawan. Namun, di balik keindahannya, ia ternyata begitu rapuh. Itu adalah ilustrasi dari strawberry generation. Sebuah bagian dari suatu generasi yang rapuh meski terlihat indah. Demikian Rhenald Kasali menggambarkan anak-anak di generasi ini.
Strawberry Generation didefinisikan Rhenald sebagai generasi yang penuh dengan gagasan kreatif, tetapi mudah menyerah dan gampang sakit hati. Generasi yang menginginkan perubahan besar, tetapi menuntut jalan pintas dan berbagai kemudahan.

Apa akibatnya jika mereka tidak dapat memeroleh semua hal dalam waktu singkat? Mereka—strawberry generation—akan mudah marah, cenderung berputus asa, lantas menyerah sebelum mencapai apa yang dinginkan. Sayang sekali, bukan?

Perlu diketahui bahwa kesuksesan bukanlah sesuatu yang instan, yang diperoleh dengan jalan-jalan pintas. Kesuksesan membutuhkan waktu, ketekunan, dan kesabaran. Seperti yang Rhenald selalu katakan, untuk menjadi seorang yang sukses, mental “passanger” harus diubah menjadi “driver”; “fixed mindset” harus diganti dengan “growth mindset”.

Menurut Rhenald, kesuksesan tidak bisa diraih melalui jalan pintas. Maka, mentalitas rapuh itu harus diubah. "Passenger" harus menjadi "driver". Fixed mindset digantikan growth mindset. Itulah tugas orang tua, guru, Gereja, lembaga keagamaan lain, organisasi, dan masyarakat  untuk mendidik mereka ini siap menghadapi tantangan. Siap mengarungi lautan kehidupan yang tidak mudah. Siap bila suatu saat harus terluka. Siap bila suatu saat harus gagal. Karena kita tahu bahwa hidup terbentuk juga karena adanya kesalahan dan kegagalan. Kesempurnaan  manusia itu karena adanya carut marut yang membaut semuanya menjadi indah pada saatnya.
(Ch. Enung martina)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar