Sabtu, 19 Januari 2019

Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran



Tanggal 25 Desember 2018, kami sekeluarga menikmati perjalanan ke Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran, demikian nama lengkapnya. Sering disebut dengan Gereja Ganjuran. Gereja Ganjuran terletak di Ganjuran, Bambanglipuro, Bantul, 17 kilometer di sebelah selatan kota Yogyakarta. Gereja ini dibangun di tanah seluas 2,5 hektar, termasuk tempat parkir, candi, gereja, pastoran, dan beberapa bangunan lain. Gedung gereja dibuat dengan gaya joglo dan dihiasi dengan ukiran gaya Jawa yang menutupi 600 meter per segi. Ini termasuk ukiran nanas dari kayu serta ukiran berbentuk jajar genjang yang disebut wajikan. Altarnya dihiasi dengan malaikat yang berbusana tokoh wayang.Karena gaya arsitektur ini, ilmuwan Belanda M. C. Ricklefs menyatakan bahwa gereja di Ganjuran  merupakan manifestasi penyesuaian gereja Katolik di Jawa yang paling menonjol. Ilmuwan Jan S. Aritonang dan Karel A. Steenbrink menyatakan bahwa gereja ini merupakan "produk paling spektakular  dari kesenian pribumi yang dibantu orang Eropa

Berdasarkan hasil penelusuran dari berbagai sumber,  Gereja Ganjuran  mulai dibangun pada tahun 1924 atas prakarsa dua bersaudara keturunan Belanda, Joseph Smutzer dan Julius Smutzer. Gereja ini merupakan salah satu bangunan yang didirikan sejak dua bersaudara itu mulai mengelola Pabrik Gula Gondang Lipuro di daerah tersebut pada tahun 1912. Bangunan lain yang didirikan adalah 12 sekolah dan sebuah klinik yang menjadi cikal bakal Rumah Sakit Panti Rapih.

Pembangunan gereja yang dirancang oleh arsitek Belanda J Yh van Oyen ini adalah salah satu bentuk semangat sosial gereja (Rerum Navarum) yang dimiliki Smutzer bersaudara, yaitu semangat mencintai sesama, khususnya kesejahteraan masyarakat setempat yang kebanyakan menjadi karyawan di Pabrik Gula Gondang Lipuro yang mencapai masa keemasan pada tahun 1918 - 1930.

Dalam perkembangannya, kompleks gereja ini disempurnakan dengan pembangunan candi yang dinamai Candi Hati Kudus Yesus pada tahun 1927. Candi dengan teras berhias relief bunga teratai dan patung Kristus dengan pakaian Jawa itu kemudian menjadi pilihan lain tempat melaksanakan misa dan ziarah, selain di dalam gereja, yang menawarkan kedekatan dengan budaya Jawa.

Ketika saya memandang keliling dari komplek gereja Ganjuran, saya menyadari bahwa bangunan ini dirancang dengan perpaduan gaya Eropa, Hindu, dan Jawa. Gaya Eropa dapat ditemui pada bentuk bangunan berupa salib bila dilihat dari udara, sementara gaya Jawa bisa dilihat pada atap yang berbentuk tajug, bisa digunakan sebagai atap tempat ibadah. Rupanya atap itu disokong oleh empat tiang kayu jati, melambangkan empat penulis Injil, yaitu Matius, Markus, Lukas dan Yohanes.

Nuansa Jawa juga terlihat pada altar, sancristi (tempat menyimpan peralatan misa), doopvont (wadah air untuk baptis) dan chatevummenen (tempat katekis). Patung Yesus dan Bunda Maria yang tengah menggendong putranya juga digambarkan tengah memakai pakaian Jawa. Demikian pula relief-relief pada tiap pemberhentian jalan salib, Yesus digambarkan memiliki rambut mirip seorang pendeta Hindu.

Kami menginap di ganjuran In, 200 meter dari Gereja Ganjuran. Pemandang sawah yang hijau dan pohon yang dibentuk cemara menyambut kami begitu memasuki Desa Ganjuran, tempat gereja ini berdiri. Mengunjungi gereja ini, kita akan merasakan suasana pedesaan Jawa pada umumnya.

Rupanya ada kisah tersendiri di balik kata Ganjuran. Dari sumber yang saya baca, perubahan nama menjadi Ganjuran sendiri berkaitan dengan kisah percintaan Ki Ageng Mangir dan Rara Pembayun yang diasingkan oleh Mataram. Kisah cinta dua orang tersebut yang kemudian mengilhami penciptaan tembang Kala Ganjur, berarti tali pengikat dasar manusia dalam mengarungi kehidupan bersama dengan dasar cinta. Nah, dari nama tembang tersebutlah desa yang dulu bernama Lipuro itu berubah menjadi Ganjuran.

Sebetulnya yang sangat berniat ke Ganjuran itu adalah Metta, anak saya yang pertama. Dia lupa lagi gereja itu seperti apa. Kami pernah mengunjungi gereja ini saat dia masih kelas V SD. Dia sangat penasaran dengan berbagai cerita tentang keunikan gereja tersebut. Maka jadilah kami berada di tempat ini.

Yang menjadikan gereja ini berbeda dengan bangunan gereja pada umumnya adalah keberadaan bangunan candi. Candi tersebut bernama Candi Hati Kudus Yesus. Candi yang diangun pada tahun 1927 ini sebagai perwujudan rasa syukur Schmutzer bersaudara atas keberhasilan mengelola pabrik gula. Seperti candi-candi pada umumnya, candi ini juga berhiaskan relief bunga teratai dan memiliki relung. Jika di relung candi terdapat patung budha atau arca lingga yoni, maka di relung Candi Hati Kudus Yesus terdapat patung Yesus mengenakan pakaian adat Jawa, dengan rambut menyerupai pendeta Hindu, dan sebuah mahkota di kepalanya.

Pelataran depan candi merupakan tempat favorit untuk berdoa. Di bawah naungan pucuk-pucuk pinus, kita bisa berkontemplasi di atas kursi kecil sambil menatap Yesus Sang Raja di hadapan kita. Halaman yang luas ini juga menjadi lokasi misa bulanan dan Prosesi Agung Sakramen Maha Kudus. Mengikuti misa malam hari di tempat terbuka beratapkan langit dan diiringi dengan alunan gamelan akan menjadi pengalaman spiritual yang baru dan tak kan pernah terlupakan.

Di kompleks Gereja Ganjuran pengunjung juga bisa melakukan prosesi jalan salib. Pada masing-masing stasi atau pemberhentian terdapat relief yang lekat dengan tradisi Jawa. Biasanya jalan salib akan diakhiri dengan berdoa di depan candi. Seusai berdoa, kita bisa mengambil air suci Tirta Perwitasari yang dialirkan melalui kran-kran di samping kiri candi. Beberapa peziarah kerap mengambil air suci dan memasukkannya ke dalam botol atau jerigen kecil kemudian membawanya pulang.

Meskipun merupakan tempat peribadatan umat Katholik, Gereja Ganjuran biasa dikunjungi oleh siapa pun. Para pengunjung bisa datang ke gereja ini sewaktu-waktu baik untuk beribadah maupun melakukan kontemplasi. Namun, pengunjung  wajib mematuhi berbagai peraturan yang berlaku untuk men jaga ketertiban. Saat tanggal 25 Desember 2018 sore, kami berkunjung ke sana, tampak beberapa pengunjung asyik berdoa. Bahkan, ada 2 orang turis asing (sepertinya India atau Pakistan)  yang juga datang berkunjung.
Gereja Ganjuran memang tempat yang teduh dan menenangkan, baik bagi tubuh maupun bagi jiwa. Deretan pepohonan yang berdiri rimbun di halaman gereja menjadikan suasana begitu sejuk dan teduh. Bangunannya yang berbentuk pendopo terbuka dengan pilar-pilar berwarna hijau dan altar dengan nuansa Jawa yang kental menjadikan tempat ini begitu menyatu dengan sekitar. Di tempat ini kita akan merasakan suasana gereja yang begitu melebur dengan sekitar, gereja yang tanpa sekat dan tanpa batasan. Konsep pendopo terbuka ini menegaskan bahwa gereja siap menyambut siapa pun yang datang dengan tangan terbuka, tak peduli suku  atau kebangsaanmu, tak peduli derajat sosialmu, tak peduli agamamu.

Bagi yang bepergian kea rah Yogyakarta, jangan lupa sempatkan mampir ke Gereja Ganjuran untuk menikmati suasana magisnya. Betapa saya bersyukur karena Gereja Katolik begitu kaya. (Ch. Enung Martina)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar