Senin, 21 April 2025

Refleksi Paskah 2025

 


Sumber: CNN Indonesia

Cahaya di Tengah Kegelapan

Sehari setelah Hari Raya Paskah, kita mendapat kabar duka tentang kepergian Bapa Suci Paus Fransiskus. Itu semua membuat Paskah tahun ini terasa sangat berbeda. Setelah gegap gempita perayaan kebangkitan Kristus, hati umat Katolik juga diselimuti kabut duka atas wafatnya Paus Fransiskus—sang gembala yang penuh kasih. Namun justru dalam suasana duka itu, pesan Paskah bersinar makin terang: bahwa di balik salib, ada cahaya kehidupan. Bahwa kematian bukan akhir, melainkan awal dari kehidupan yang kekal.

Pesan Paskah 2025 mengajak kita untuk tidak kehilangan harapan. Kristus bangkit bukan hanya sebagai peristiwa sejarah, tetapi sebagai janji yang hidup—bahwa terang akan selalu menang atas gelap. Seperti tertulis dalam Yohanes 1:5, “Terang itu bercahaya di dalam kegelapan dan kegelapan itu tidak menguasainya.” Paskah memberi kita keberanian untuk terus berjalan, meski dunia terasa tidak pasti.

Berbicara tentang Paus Fransiskus, bangsa Indonesia tak akan melupakan kunjungan beliau ke negeri kita tercinta ini. Sebagai tamu negara, Bapa Paus disambut oleh seluruh negeri.  Di Gelora Bung Karno, dalam Misa akbar yang penuh haru, saya merasakan pesan Paskah itu secara nyata. 

Hari itu, suasana di Gelora Bung Karno begitu mengharukan. Ribuan umat Katolik berkumpul dalam satu hati, merayakan Misa bersama Paus Fransiskus yang datang jauh-jauh untuk memberi berkat bagi bangsa ini. Dari setiap sudut stadion, terlihat wajah-wajah penuh harapan, semangat, dan syukur. Namun, langit yang mendung dan gerimis pun datang menjelang. 

Saat seluruh umat sedang menanti kedatangan Bapa Paus, tiba-tiba langit mendung dan gerimis pun mulai menitik. Momen yang paling menggugah hati adalah ketika seluruh umat dipimpin Romo Yus bersama-sama berdoa Salam Maria sepuluh kali. Setiap kata yang diucapkan, setiap doa yang dipanjatkan, seolah membentuk sebuah ikatan spiritual yang sangat kuat. Doa ini bukan hanya sekadar pengulangan kata-kata, tetapi penghubung jiwa-jiwa umat yang hadir di sana, mengharapkan berkat dan perlindungan dari Bunda Maria.

Dan tiba-tiba, seakan alam pun ikut bergabung dalam doa sepuluh kali doa Salam Maria, langit yang tadinya gelap mulai tersibak. Awan yang mendung perlahan menghilang, dan hujan yang sebelumnya mengancam untuk turun, seakan ditahan oleh kuasa doa umat yang penuh iman. Sebuah tanda yang tidak bisa dianggap remeh. Keajaiban itu menyentuh hati setiap orang yang hadir, membawa rasa haru yang mendalam. Betapa besar kuasa doa bersama—sebuah perwujudan nyata bahwa Tuhan mendengar dan menjawab dengan cara-Nya yang penuh kasih.

Momen tersebut seakan mengingatkan kami bahwa dalam setiap perayaan iman, kita tak hanya merayakan dengan kata-kata, tetapi dengan hati yang terbuka, dengan doa yang penuh keyakinan. Bahwa meski langit kadang mendung, harapan akan selalu ada, dan doa yang tulus akan selalu membuahkan berkat.

Di Gelora Bung Karno, dalam Misa akbar yang penuh haru, saya merasakan pesan Paskah itu secara nyata. Dengan  berdoa sepuluh kali Salam Maria. Dan sungguh ajaib—awan tersibak, hujan mengurung diri, dan langit perlahan membuka diri. Bagi saya, itu bukan sekadar fenomena alam. Itu adalah tanda: bahwa doa membawa harapan, dan iman menghadirkan keajaiban.

Dalam momen itu, seolah Tuhan ingin menunjukkan bahwa kebangkitan bukan hanya kisah dua ribu tahun lalu. Kebangkitan adalah peristiwa harian, ketika kita tetap percaya di tengah ancaman, tetap berdoa di tengah kegelisahan, dan tetap bersyukur meski awan kelabu menggantung. Sama seperti para murid yang awalnya bingung dan takut, akhirnya mengalami sukacita dan mendapat semangat kebangkitan. Demikian pula,  kita pun diajak untuk mengalami bahwa Yesus yang bangkit berjalan bersama kita.

Paus Fransiskus pernah berkata bahwa “kita adalah orang-orang Paskah dan Alleluia adalah lagu kita.” Maka meskipun duka melingkupi Gereja, kita tetap bernyanyi, tetap percaya. Karena kebangkitan Kristus adalah sumber harapan yang tidak pernah habis. Dan dalam setiap langit yang tersibak, kita melihat cahaya kasih-Nya terus menyinari jalan hidup kita.

Dari Audiensi 2015 hingga Warisan Kasih Paus Fransiskus

Puji Tuhan saya pernah mengalami audiensi umum bersama beliau.  Hari itu merupakan hari yang istimewa bagi kami, rombongan Santa Ursula BSD,  karena hari Rabu, 17 Juni 2015,  kami dapat  mengikuti audiensi umum pemimpin Gereja Katolik sedunia, Paus Fransiskus, di lapangan Basilika St. Petrus. Kami benar-benar menantikan peristiwa ini. Sesudah menikmati sarapan ala Italia di Vila Aurelia, kami berangkat untuk mengikuti acara istimewa ini.

Pada audiensi umum Paus Fransiskus saat itu, beliau menyampaikan pesan yang mendalam tentang belas kasih melalui kisah janda di Nain. Dalam Injil Lukas 7:11–17, Yesus menunjukkan kepedulian-Nya dengan menghidupkan kembali anak laki-laki janda tersebut, menyentuh hati banyak orang yang hadir. Paus Fransiskus menekankan bahwa belas kasih sejati melibatkan kehadiran dan perhatian kepada mereka yang menderita, bukan hanya memberi bantuan materi, tetapi juga memberi diri secara pribadi.​

Wafatnya Paus Fransiskus pada 21 April 2025, sehari setelah perayaan Paskah, seakan menjadi penggenapan dari kehidupan yang beliau dedikasikan untuk pelayanan kasih. Seperti Kristus yang menyerahkan diri-Nya demi umat manusia, Paus Fransiskus menyerahkan seluruh hidupnya untuk melayani Tuhan dan sesama, terutama mereka yang miskin dan terpinggirkan. 

Warisan yang beliau tinggalkan meliputi ajaran tentang cinta tanpa syarat, kepedulian terhadap lingkungan hidup, perhatian kepada anak muda, dan semangat persaudaraan universal.​ Dalam semangat Paskah ini, kita diajak untuk melanjutkan warisan kasih ini dengan menjadi pribadi yang peka terhadap penderitaan sesama, menjaga bumi yang kita tinggali, dan membangun persaudaraan di tengah perbedaan. Seperti Paus Fransiskus, marilah kita hidup sebagai pembawa damai dan kasih, meneruskan pesan Kristus yang hidup dalam diri kita.​ Selamat jalan Bapa Suci Paus Fransiskus, doakanlah kami yang masih terus berziarah. Amin. 

Jumat, 18 April 2025

Refleksi Tri Hari Suci 2025

 


Percaya bahwa Tuhan selalu mencukupkan tepat pada waktunya.



Dalam perjalanan iman, kita sering dihadapkan pada godaan dunia: memiliki lebih,      menyimpan lebih, mengejar lebih. Tapi lewat pengalaman hidup dan pelatihan yang        dijalani, saya justru belajar satu hal yang sangat dalam: bahwa hidup bukan soal berapa banyak yang kita punya, tapi seberapa dalam kita percaya bahwa Tuhan cukup.

Percaya bahwa Tuhan mencukupkan tepat pada waktunya—itulah yang membuat hati tenang. Ketika hati dipenuhi dengan rasa cukup, tidak ada lagi ruang untuk rasa takut, cemas, atau keinginan berlebihan. Keyakinan itu menjadi jangkar iman, apalagi di tengah dunia yang terus berubah dan penuh tuntutan.

Saya teringat pada kutipan dari Amsal 30:8-9:

"Jangan berikan kepadaku kemiskinan atau kekayaan, biarkan aku menikmati makanan yang menjadi bagianku."

Ayat ini begitu sederhana, namun dalam. Ia mengajarkan kerendahan hati dan pengharapan penuh hanya pada Tuhan. Saya melihat ayat ini seperti cermin hidup saya sendiri: hidup yang tidak berlebih, tapi cukup. Hidup yang penuh syukur, dan karena itu selalu merasa diberkati.

dalam perayaan Tri Hari Suci tahun ini saya mendapatkan beberapa renungan:

             Kamis Putih mengajarkan kita tentang pelayanan dan kerendahan hati. Yesus          membasuh kaki murid-murid-Nya, memberi teladan bahwa yang terbesar di antara kita adalah yang melayani. Dalam kesibukan hidup, saya diingatkan kembali: untuk menjadi cukup, kita harus belajar rendah hati. Tidak sibuk menimbun, tapi rela berbagi. Tidak hanya mencari pengakuan, tapi setia pada hal-hal sederhana.

Jumat Agung membawa kita pada keheningan salib. Di sana Yesus menyerahkan segalanya, bahkan nyawa-Nya. Bagi saya, ini adalah puncak dari kepercayaan penuh kepada Bapa. Ketika Yesus berkata, “Ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku”, Ia mengajarkan kita bahwa penyerahan total bukan kelemahan, melainkan kekuatan terbesar. Hidup yang cukup adalah hidup yang tahu kapan harus melepaskan.

Sabtu Suci adalah hari sunyi, hari menunggu dalam iman. Tidak ada tanda, tidak ada jawaban… hanya harapan yang diam-diam dijaga. Dalam kehidupan, kita sering mengalami Sabtu Suci: masa di mana doa belum dijawab, masa penantian yang panjang. Tapi di sinilah iman dibentuk. Dan di sinilah saya belajar percaya bahwa Tuhan tidak pernah terlambat. Ia selalu mencukupkan—tepat pada waktunya.

Jika suatu hari saya diberi kesempatan, saya ingin membagikan kesaksian ini. Bukan karena saya sempurna, tapi karena saya ingin orang lain tahu bahwa hidup dalam percaya dan cukup itu memberi damai yang sejati. Dan damai itu bukan berasal dari apa yang ada di tangan, tapi dari siapa yang memegang hidup kita.

Jumat, 04 April 2025

Refleksi Manusia di Zaman AI



Menjadi Manusia di Era AI: Panggilan untuk Lebih Manusiawi

Perkembangan teknologi, khususnya kecerdasan buatan (AI), telah mengubah wajah dunia dengan sangat cepat. Dari mesin yang bisa berpikir, berbicara, hingga mencipta, manusia kini hidup berdampingan dengan sistem yang mampu meniru banyak fungsi kognitifnya. Namun, di tengah arus kemajuan ini, muncul pertanyaan mendalam: apa artinya menjadi manusia? Apakah kita hanya sekadar makhluk berpikir dan bekerja? Ataukah ada sesuatu yang lebih dalam, yang tak bisa digantikan oleh algoritma?

Dalam sejarah panjang umat manusia, kita telah melewati berbagai revolusi—kognitif, pertanian, industri, dan kini digital. Setiap lompatan peradaban selalu datang dengan berkat dan tantangannya sendiri. Revolusi digital memberi kemudahan luar biasa, namun juga menantang nilai-nilai kemanusiaan: relasi menjadi dangkal, informasi melimpah tapi hikmat menipis. Maka, justru di era ini, manusia dipanggil untuk kembali pada jati dirinya: makhluk bermartabat, yang memiliki akal budi dan hati nurani.

Kitab Suci mengajarkan bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Kejadian 1:26-27). Artinya, manusia bukan sekadar makhluk rasional, tetapi memiliki kapasitas untuk mengasihi, menciptakan, dan menjaga ciptaan. Yesus sendiri menunjukkan kemanusiaan sejati bukan dalam kekuasaan atau efisiensi, melainkan dalam pengorbanan, kelembutan, dan pelayanan. Di hadapan AI yang serba cepat dan pintar, justru teladan Kristus memanggil kita untuk lebih hadir, lebih peka, dan lebih peduli.

Maka menjadi manusia di era AI bukan berarti bersaing dengan mesin, melainkan menghadirkan nilai-nilai kasih, keadilan, dan belas kasih di tengah sistem yang sering kali dingin dan impersonal. Teknologi adalah alat—bukan tujuan. Bila diarahkan oleh hati yang bijak, AI bisa menjadi sarana pelayanan, pendidikan, dan perdamaian. Namun tanpa kebijaksanaan moral dan spiritual, teknologi bisa menjadi pisau bermata dua.

Akhirnya, kita diajak untuk tidak menyerah pada kemajuan, tetapi menuntunnya dengan nurani. Di tengah dunia yang terus berubah, satu hal yang tetap: panggilan untuk menjadi manusia seutuhnya—makhluk yang mengasihi dan menjaga kehidupan. Seperti yang diajarkan Nabi Mikha: “Yang dituntut Tuhan darimu: berlaku adil, mencintai kebaikan, dan hidup rendah hati di hadapan Allahmu.” (Mikha 6:8). Dan di era AI ini, itulah panggilan yang paling manusiawi. (5 April 2026)