Jumat, 18 April 2025

Refleksi Tri Hari Suci 2025

 


Percaya bahwa Tuhan selalu mencukupkan tepat pada waktunya.



Dalam perjalanan iman, kita sering dihadapkan pada godaan dunia: memiliki lebih,      menyimpan lebih, mengejar lebih. Tapi lewat pengalaman hidup dan pelatihan yang        dijalani, saya justru belajar satu hal yang sangat dalam: bahwa hidup bukan soal berapa banyak yang kita punya, tapi seberapa dalam kita percaya bahwa Tuhan cukup.

Percaya bahwa Tuhan mencukupkan tepat pada waktunya—itulah yang membuat hati tenang. Ketika hati dipenuhi dengan rasa cukup, tidak ada lagi ruang untuk rasa takut, cemas, atau keinginan berlebihan. Keyakinan itu menjadi jangkar iman, apalagi di tengah dunia yang terus berubah dan penuh tuntutan.

Saya teringat pada kutipan dari Amsal 30:8-9:

"Jangan berikan kepadaku kemiskinan atau kekayaan, biarkan aku menikmati makanan yang menjadi bagianku."

Ayat ini begitu sederhana, namun dalam. Ia mengajarkan kerendahan hati dan pengharapan penuh hanya pada Tuhan. Saya melihat ayat ini seperti cermin hidup saya sendiri: hidup yang tidak berlebih, tapi cukup. Hidup yang penuh syukur, dan karena itu selalu merasa diberkati.

dalam perayaan Tri Hari Suci tahun ini saya mendapatkan beberapa renungan:

             Kamis Putih mengajarkan kita tentang pelayanan dan kerendahan hati. Yesus          membasuh kaki murid-murid-Nya, memberi teladan bahwa yang terbesar di antara kita adalah yang melayani. Dalam kesibukan hidup, saya diingatkan kembali: untuk menjadi cukup, kita harus belajar rendah hati. Tidak sibuk menimbun, tapi rela berbagi. Tidak hanya mencari pengakuan, tapi setia pada hal-hal sederhana.

Jumat Agung membawa kita pada keheningan salib. Di sana Yesus menyerahkan segalanya, bahkan nyawa-Nya. Bagi saya, ini adalah puncak dari kepercayaan penuh kepada Bapa. Ketika Yesus berkata, “Ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku”, Ia mengajarkan kita bahwa penyerahan total bukan kelemahan, melainkan kekuatan terbesar. Hidup yang cukup adalah hidup yang tahu kapan harus melepaskan.

Sabtu Suci adalah hari sunyi, hari menunggu dalam iman. Tidak ada tanda, tidak ada jawaban… hanya harapan yang diam-diam dijaga. Dalam kehidupan, kita sering mengalami Sabtu Suci: masa di mana doa belum dijawab, masa penantian yang panjang. Tapi di sinilah iman dibentuk. Dan di sinilah saya belajar percaya bahwa Tuhan tidak pernah terlambat. Ia selalu mencukupkan—tepat pada waktunya.

Jika suatu hari saya diberi kesempatan, saya ingin membagikan kesaksian ini. Bukan karena saya sempurna, tapi karena saya ingin orang lain tahu bahwa hidup dalam percaya dan cukup itu memberi damai yang sejati. Dan damai itu bukan berasal dari apa yang ada di tangan, tapi dari siapa yang memegang hidup kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar