SANG NAVIGATOR
( CH. Enung Martina)
Time flies, but remember you are the navigator!
Itu adalah kalimat yang saya baca pada kalender yang tergantung di dinding.
Tulisan itu sekilas tak mendatangkan makna apa pun bagi saya pada saat saya melihat tanggal untuk mencocokkan tanggal dan jadwal kegiatan saya. Namun, pada saat mata saya sedang jenuh karena kalimat-kalimat dalam kertas ulangan siswa yang sedang saya koreksi, saya tak sengaja melihatnya dengan leluasa pada tulisan tersebut bukan pada angka-angka tanggal. Kalimat pendek itu menggelitik saya dan sedetik merenungkannya.
Benar adanya kalimat tersebut. Waktu begitu cepat berlalu. Perasaan baru hari Senin, tetapi tiba-tiba Sabtu sudah datang. Begitulah waktu dirasakan datang dan pergi tanpa kita sadari. Tak terasa uban yang dulu belum ada di kepala pun, kini muncul satu-dua. Yang jelas itu tanda-tanda penuaan meskipun ada juga uban bukan karena penuaan. Tanda kebijaksanaan? Saya tak berani menjawabnya.
Sang waktu akan datang dengan perlahan namun pasti. Ada kalanya kita melewatkan waktu dalam ketergesaan karena ini itu. Namun, ada kalanya juga kita memboroskannya untuk hal-hal yang benar-benar tak berguna bila kita renungkan dengan jeli. Namun, waktu akan tetap ajeg pada tugasnya tak akan berhenti barang sesekon.
Kita sebagai kaum urban sering mengeluh kekurangan waktu. Kita katakan tak punya waktu untuk menelepon keluarga jauh hanya untuk sekedar bertanya ‘Bagaimana kabarnya?’ Kita tak punya waktu untuk menjenguk sanak-keluarga yang sekalipun jaraknya dekat dan satu komplek perumahan. Kita tak punya waktu untuk sekedar mengobrol berbasa-basi dengan tetangga terdekat. Kita tak punya waktu untuk menghadiri undangan sekolah untuk membicarakan anak kita. Bahkan ada yang lebih sadis lagi, tak punya waktu untuk sekedar mengurus diri sendiri. Apalagi kalau berbicara tentang membina relasi dengan Sang Pencipta Waktu.
Begitulah kita: terlena dengan apa yang kita anggap perlu, baik, dan mendesak. Kita selalu sibuk dengan berbagai urusan yang tentu saja pasti penting. Menyitir apa yang dikatakan Gede Prama dalam artikelnya yang berjudul Dalam Terang Cahaya Keheningan yang dimuat KOMPAS (waktu terbitnya lupa) tentang betapa jaman semakin sibuk dan hening menjadi sesuatu yang langka.
Waktu memang tak akan pernah berhenti untuk menunggu kita. Kitalah Sang Navigator yang berhak mengatur dan mengarahkan waktu. Kita yang berhak menentukankapan waktu untuk ini dan itu. Kita juga yang berhak menentukan waktu yang kita lewati itu bermakna atau sia-sia. Tentu saja kebermaknaan itu tidak hanya diukur dari kuantitas bisnis dan uang yang dihasilkan. Namun, ada yang lebih tinggi dari sekedar itu.
Waktu Tuhan dengan waktu kita memang terkadang banyak tidak cocoknya. Yang jelas Tuhan mempunyai waktu yang paling tepat untuk apa pun dalam hidup kita. Kita mau menolak seperti apa pun, Sang Pencipta Waktu yang berhak menentukan. Kita hanya memakai waktu dan menjalani sesuai peran dan kebutuhan kita. Sang Navigator itulah kita yang berhak mengatur sedemikian rupa agar waktu itu berkualitas dan bermakna dalam hidup kita.
Membagi waktu memang perlu kearifan. Tidak perlu ilmu nujum untuk melakukannya, hanya perlu hati. Hati untuk memilah dan memilih mana yang penting dan mendesak, mana yang tak bisa ditawar dan boleh ditunda.
Pada suatu waktu tertentu mungkin kita dihadapkan pada beberapa pilihan untuk melakukan beberapa hal dalam jam yang sama, acara yang berbeda, dan tentu saja tempat yang berbeda. Mungkin saat itu kita bingung mana yang kita pilih? Pada suatu hari Sabtu di bulan Agustus 2008, jam 17.00, penulis bertemu dengan tiga hal yang harus dipilih mana yang harus didahulukan. Pertama ada rapat Legio, kedua ada pertemuan ibu-ibu di lingkungan, ketiga ada salah seorang teman yang anaknya tadi jam tiga sore meninggal. Sepertinya penting semua bukan? Yang diputuskan kala itu jelas melayat.
Pilihan di atas termasuk mudah bukan? Namun, tak tertutup kemungkinan bahwa kita dihadapkan pada situasi yang lebih rumit dari contoh di atas. Yang jelas bahwa pilihan kita untuk hal ini tergantung pada diri kita. Kearifan perlu dalam hal ini. Pertimbangan utama memang urgenitas, yang berikutnya baru kepentingan lain sesuai dengan prioritasnya. Namun, tak kalah penting juga relasi perlu diperhatikan dalam mempertimbangkan pilihan.
Kita memang tidak bisa bilokasi, yang bisa berada dalam suatu waktu di tempat yang berbeda. Karena itulah kita harus memilih.Apa pun pilihan kita pada saat itu, kita yakin sudah dipertimbangkan dengan penuh kearifan.
Namun, bila boleh kita memilih pada saat waktu kita yang luang dan longgar, pikirkanlah mengisi waktu kita untuk membina relasi baik dengan keluarga, sanak-saudara, sahabat, dan yang utama adalah Tuhan. Untuk yang terakhir itu memang orang suka banyak tawar menawar. Nanti saja kalau semua sudah beres, nanti saja kalau masalah sudah selesai, nanati saja kalau usaha sudah maju, nanati saja kalau...
Kita tahu Sang Pembuat Waktu akan tetap menantikan kita mendekat pada-Nya dan menunggu kita membina relasi dengan-Nya. Hingga akhirnya Sang Navigator waktu (kita), tiba waktunya untuk pulang kepada-Nya dan membawa apa yang sudah kita buat dan mempertanggungjawabkan apa yang sudah dilakukan dan belum dilakukan dalam waktu yang diberikan kepada kita. Selamat mencoba menjadi navigator waktu yang arif!
(Nung Martina)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar