(Ch. Enung Martina)
Yerusalem, Yerusalem lihatlah Rajamu
Hosana, terpujilah,
Yesus, penebus manusia
Begitulah, potongan lagu itu kami nyanyikan dengan penuh semangat dan dengan segenap perasaan. Kami akhirnya memasuki kota ini. Kota yang terkenal di seantero dunia. Saat itu hari menjelang petang. Matahari sudah benar-benar terbenam.
Semakin dekat memasuki kota, keadaan semakin terang dan semakin ramai layaknya kota besar pada umumnya.
Sementara itu di tempat yang sama dan suatu masa yang berbeda:
Dan sementara Yesus mengendarai keledai itu, orang banyak menghamparkan pakaiannya di jalan.Ketika Dia mendekati Yerusalem, di tempat menurun dari Bukit Zaitun, mulailah semua murid yang mengiringi Dia bergembira dan memuji Allah dengan suara nyaring oleh karena segala mujijat ang telah mereka lihat. Mereka berseru:
“ Diberkatilah Dia yang datang sebagai Raja dalam nama Tuhan, damai sejahtera di sorga dan kemuliaan di tempat yang maha tinggi.”
Keharuanku makin nyata kala kami melihat bagaimana suasana kota. Meskipun ada persamaan dengan kota besar lain, contohnya Jakarta dengan gedung pencakar langit dan kendaraan yang tak pernah surut, Yerusalem tetap mempunyai keindahan dan nuansa yang berbeda yang tak dimiliki kota lain. Mungkin karena ada sejarah iman yang melatarbelakanginya.
Dua ribu tahun yang lalu, Sang Guru mengatakan kepada murid-Nya tentang Yerusalem:
“Apabila kamu melihat Yerusalem dikepung tentara-tentara, ketahuilah, bahwa keruntuhannya suah dekat. Pada waktu itu orang-orang ang berada di Yudea harus melarikan diri ke pegunungan, dan orang-orang yang berada di dalam kota harus mengungsi, an orang-orang yang berada di pedusunan jangan masuk agi ke dalam kota, sebab itulah masa pembalasan di mana akan genap semua yang ada tertuli.”
Akhirnya bis kami berhenti di salah satu gedung pencakar langit. Rupanya gedung ini hotel tempat kami akan menginap selama kami berziarah di Yerusalem. Kedem Tower Hotel, nama gedung itu.
Kami dibagi kartu untuk masuk kamar dan juga stiker sesuai nomor kamar untuk ditempelkan pada kopor-kopor kami yang akan dibawa oleh bellboy ke kamar masing-masing. Semua berada di lobi untuk mendengarkan dulu pengarahan dari tour leader kami.
Pengarahan selesai, kami menuju kamar masing-masing dengan perasaan bersemangat meskipun kantuk rasanya sudah berada di pelupuk mata kami. Kamarku di lanatai 9. Kamar yang nyaman. Dari jendela pemandangan sangat bagus ke arah penjuru kota.
Ruang makan di hotel ini sangat besar karena memang tamu yang menginap pun banyak sekali. Menu yang ada di sini hampir sama dengan di Tiberias. Namun, ketika kami mencicipinya kami baru bisa membedakannya. Roti di Tiberias lebih fresh dan lezat daripada di sini. Di Tiberias selalu ada sup, di sini tidak ada. Salad dan mustradnya sama rasanya. Buah zaitun yang sudah diasinkan pun selalu ada. Bagi lidahku yang tidak biasa memang agak asing rasanya. Karena mengingat faedahnya bagi kesehatan tubuh, aku makan juga sedikit-sedikit. Kami pun menikmati makan malam pertama kami di Yerusalem.
Di kota ini juga pernah ada perjamuan makan malam yang diselenggarakan oleh Sang Guru untuk makan malam bersama murid-murid terkasih pada perayaan Paskah Yahudi yang tercatat menjadi sebuah sejarah cinta kasih:
Hari Raya Roti Tak Beragi adalah hari di mana orang harus menyembelih anak domba Paskah, makan roti yang tak beragi, untuk mengenangkan perjalanan kebebasan Mesir menuju kebebasan dan juga pengembaraan serta tantangan keyakinan dan kesetiaan akan sesuatu yang tidak pasti.Sesuatu janji kebesan,kesejahteraan, damai, dan kebahagiaan yang teramat sukar untuk digapai.Mengenangkan pahlawan kelas kakap seperti Musa.
Lalu Dia menyuruh Petrus dan Yohanes, katanya: “ Pergiah, persiapkanlah perjamuan Paskah bagi kita supaya kita makan.”
Ketika tiba saatnya, Dia duduk makan bersama para rasul-Nya. Katanya kepada mereka: “ Aku sangat rindu makan Paskah ini bersama-sama denagn kamu, sebelum aku menderita. Sebab aku berkata kepadamu: Aku tiak akan memakannya lagi sampai ia beroleh kegenapannya dalam Kerajaan Allah.”
Perut kenyang dan kini aku terbaring di atas ranjang nan empuk ini. Bila kupandang ke seluruh penjuru kota dari jendela kamarku, aku tidak bisa membayangkan Yerusalem pada zaman Yesus. Yang jelas zaman itu aneka mobil, gedung pencakar langit, dan mall tidak ada. Ada kalanya segalanya berubah, tetapi langit dan tanah tetap sama dari dahulu. Kupandang juga langit malam. Gelap, tak tampak bintang atau bulan. Kota tetap benderang dengan cahaya ribuan lampu.Kesibukan kota masih nampak dengan lalu lalangnya kendaraan di jalan. Yerusalem tetap elok di kala malam.
Di suatu malam yang juga mungkin seelok malam ini, hanya tanpa lampu jalan warna-warni seperti sekarang. Sosok tubuh tampak terpekur larut dalam khusuknya doa di sebuah sudut taman di luar tembok kota:
Setelah tiba di Taman Zaitun, Dia, Lelaki itu berkata kepada yang mengikuti-Nya: “ Berdoalah supaya kamu tidak jatuh ke dalam pencobaan.” Kemudian Lelaki itu menjauhkan diri dari mereka kira-kia sepelempar batu jaraknya, lalu Dia berlutut dan berdoa, kata-Nya:” Ya, BapakKu, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini daripadaKu; tetapi bukanlah kehendakKu, melainkan kehendakMu-lah yang terjadi. “ Lelaki itu makin ketakutan dan makin bersungguh-sungguh berdoa. Peluh-Nya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah.
Perasaan syukur memenuhi seluruh rongga dadaku. Sambil kupandang langit Yerusalem pada malam itu, seluruh perjalananku di tanah Israel tergambar. Sebagian sudah menjadi masa laluku yang akan terkenang sepanjang hayatku. Sebagian lagi masih akan kualami beberapa hari lagi. Masih akan ada lagi cerita dan kesan yang mendalam di tanah ini. Malam bertambah larut. Kutinggalkan pemandangan indah Yerusalem di kala malam. Kuhening sejenak untuk larut dalam doa syukurku. Akhirnya aku pulas dalam pelukan selimut malam kota Yerusalem.
Sementara di waktu dan masa ribuan tahun lalu, malam semakin beranjak: Sementara Lelaki yang terpekur dalam doa dan ketakutan-Nya tadi, kini sedang digiring oleh pasukan melewati jalan terjal dari arah Taman Getemani, jalan berbatu menuju rumah Imam Besar. Deretan pohon jaitun di taman itu bisu menyaksikan drama dan aroma pengkhianatan dari seorang murid kepada Sang Guru. Malam makin larut. namun, itu bukan malam elok yang penuh kedamaian, tetapi sebuah malam awal dari penderitaan Lelaki yang selama ini berkarya dalam mujijat dan menujukkan kebesaran Allah Sang Pencipta yang agung.
(Teh Nung mengingat kembali perjalanan yang membuat semangat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar