Kita
mengenal Saul sebagai raja pertama bangsa Israel. Menurut Al Kitab (Kitab
Samuel), Saul adalah seorang yang berperawakan paling tinggi dari antara
sebangsanya pada masa itu. Selain itu tubuhnya pun gagah. Pendek kata Saul,
adalah seorang laki-laki yang maco. Saul adalah pilihan pertama Allah untuk
menjadi raja Israel.
Dalam
perjalanannya sebagai penguasa perdana,
Saul, pastinya tidak langsung mahir menjadi pemimpin yang baik dan
mumpuni. Ia bertemu dengan berbagai peristiwa yang membuat dia harus memutuskan
berbagai perkara dalam mempertahankan kerajaannya dan menunjukkan otoritasnya
menjadi seorang raja. Perlu diingat bahwa kerajaan Saul bukan didirikan karena
keinginan rakyat saja. Kerajaannya terdiri karena adanya rahmat dan campur
tangan Allah. Tentunya kedaulatan Saul sebagai raja memang 100%, tetapi ia
harus mendasarkan pemerintahannya pada hukum Tuhan. Namun, Saul seringkali lupa
atau pura-pura lupa bahwa kekuasaan dia bukan kekuasaan mutlak tanpa batas dan kekuasaan
tanpa melandaskan pada hukum Tuhan.
Banyak
peristiwa dalam perkara-perkara kecil maupun besar, Saul melupakan hukum Tuhan
yang menjadi landasan kekuasaannya itu. Ketidaktaatan Saul pada Allah
ditunjukkan dalam 1 Samuel 13: 8-12, yang mengisahkan Saul tidak lagi
mengindahkan perkataan penasihat rohaninya, guru spiritualnya, Samuel. Ia lebih
memilih mengadakan kurban bakarannya sendiri tanpa menunggu Samuel. Perlu
dicatat bahwa yang berhak mempersembahkan kurban bakaran itu adalah imam, bukan
raja. Namun, Saul karena ketakutannya ditinggalkan rakyatnya yang cerai berai
karena gentar menghadapi tentara Filistin, ia memutuskan untuk mengadakan
korban bakaran sendiri. Setelah menunggu tujuh hari lamanya Samuel tidak
datang, Saul mengambil keputusan mengadakan korban bakaran tanpa imam.
Sepertinya dalam zaman Perjanjian Lama tugas mempersembahkan korban bakaran itu
memang spesial pekerjaan para imam. Raja, atau rakyat biasa tak berhak untuk melakukan kurban bakaran.
Memang begitu peraturannya. Saul membuat aturan sendiri. Samuel mengatakan:
perbuatanmu itu bodoh. Engkau tidak mengikuti perintah Tuhan, Allahmu yang
diperintahkan- Nya kepadamu; sebab sedianya Tuhan mengokohkan kerajaanmu atas
orang Israel selama-lamanya. (1Samuel13: 13)
Tindakan
pelanggaran Saul lain adalah ketika ia mengalahkan orang Amalek. Ia
menyelamatkan Agag, raja orang Amalek. Saul juga menyelamatkan kambing, domba,
lembu yang terbaik dan tambun, serta segala yang berharga. Padahal
diperintahkan untuk memusnahkan orang Amalek semuanya beserta ternak dan
barang-barang berharganya. Ketika Samuel bertanya tentang hal itu kepadanya,
Saul menjawab dengan berdalih: Semuanya itu dibawa dari pada orang Amalek,
sebab rakyat menyelamatkan kambing domba dan lembu-lembu yang terbaik dengan
maksud mempersembahkannya kepada Tuhan, Allahmu; tetapi selebihnya telah kami
tumpas (1Samuel 15:15).
Saul
mempersembahkan kurban bakaran pada Tuhan, tidak dengan niat yang tulus. Dia
mau mempersembahkan kurban bukan dari harta miliknya. Dia mau mempersembahkan
barang rampasan. Dia orang yang pelit. Pedit. Untuk Tuhan saja dia masih
mempertimbangkan untung dan rugi. Dia tak mau rugi.
Saya
sungguh terkena dengan kelakuan yang Saul dalam kisah itu. Saya pun sering
melakuka perhitungan dengan Tuhan. Contoh kalau saya mau persembahan kala
Ekaristi. Sering dalam persembahan saya tidak mempersiapkan dengan baik. Meskipun persembahan saya tidak banyak, tetapi kalau dipersiapkan dengan baik maknanya pasti lain.
Dalam
keadaan salah dan terbukti pun Saul masih melarikan diri untuk mencari kambing
hitam dari kesalahannya. Sebagai seorang raja dia mempunyai wewenang untuk
memerintahkan rakyatnya dengan tegas untuk tidak mengambil apa pun dari orang
Amalek itu. Seharusnya dia memerintahkan untuk memusnahkan semuanya tanpa
kecuali.
Kedua
tindakan Saul di atas, dia lebih mempedulikan apa kata rakyatnya. Apa yang
bdikatakan manusia. Saul raja yang sangat peduli akan pencitraan dirinya di
depan rakyat. Dia takut kehilangan dukungan rakyat bila dia tidak memenuhi
keinginan rakyat. Nama baik dirinya di hadapan manusia jauh lebih penting
baginya daripada menuruti perintah Tuhan.
Saul selalu mencari pembenaran dari kesalahan yang diperbuatnya. Dia
tidak secara ‘gentelman’ mengakui perbauatannya.
Sebetulnya
Saul tahu persis akan tindakan yang
dilakukannya. Berarti ia juga tahu bahwa tindakannya itu tidak tepat. Namun,
alih-alih mengakui kesalahannya dan meminta ampun kepada Tuhan atas
tindakannya, ia malah mencari dalih untuk membenarkan tindakannya. Lempar batu
sembunyi tangan, begitu mungkin peribahasa yang tepat untuk Saul.
Saya
jadi melihat diri saya sendiri ketika membaca tentang kisah Saul ini. Dalam
situasi terdesak, kepepet, saya juga pernah melakukan untuk mencari keselamatan
diri dengan melemparkan kesalahan saya pada ‘kambing hitam’ situsi, orang lain, kesempatan, cuaca, masa
lalu, kurangnya waktu, alat yang tidak mendukung, godaan setan, khilaf, dan
seribu kambing hitam yang lain.
Saul
mempunyai mentalitas korban (victim). Mentalitas ini merupakan upaya untuk
menghindari tanggung jawab dan memindahkan kesalahan pada kambing hitam,
kambing putih, atau kambing belang. Mentalitas menjadi korban membuat seseorang
tidak bertahan, jauh dari berkat, dan tidak bisa mencapai potensi penuh.
Ada banyak aspek dan keadaan di
lingkungan kita yang di luar kendali saya. Namun, bila saya mau menerima
tanggung jawab, maka saya saya bisa melakukannya dengan baik. Saya menjadi pemenang bukan lagi korban.
Saul membuat kesalahannya kelihatannya
menjadi masuk akal, logis, dan wajar, bisa dimaklumi. Rasanya saya juga
terkadang melakukan itu. Saya memaklumi kesalahan saya sebagai sesuatu yang
wajar terjadi karena situasi saat melakukan itu memang menjerumuskan saya pada
kesalahan. Keadaan saat saya melakukan kesalahan itu sangat logis untuk saya
lakukan saat itu. Saya bermental korban. Saya menempatkan kesalahan saya pada
kambing yang berwarna-warni.
Jika Saul, saya, atau siapa pun
melakukan ‘ lari dari tanggung jawab’ dan mencari kambing warna-warni, itu
berarti Saul, saya, atau siapa pun sedang bertindak bodoh. Ketidaktaatan pada
Allah tetap salah meskipun mencari alasan yang logis disertai dengan
bukti-bukti yang kuat dan akurat sekali pun.
Bila saya perhatikan dan cermati
prihal peraturan Allah dalam kisah Saul, hanya ada salah dan benar. Tidak ada
yang abu-abu, belang-belang, atau suam-suam kuku, yang setengah-setengah,
banci, atau yang situasional. Peraturannya jelas benar dan salah. Taat dan
tidak taat. Tidak melihat cuaca, musim, atau situasi. Peraturan Allah tetap
selama-lamanya. Begitu kata Al Kitab.
Kembali lagi kepada saya. Saya suka
membuat peraturan itu jadi situasional. Peraturan yang menyesuaikan pada saya.
Bukan saya yang mengikuti peraturan.
Kalau peraturan itu enak, ya saya ikuti. Kalau itu berat dan membelit, maka
saya berusaha membelokkan, membengkokan sesuai kemauan saya. Sepertinya saya
ini kok mirip Saul. Hanya bedanya saya
buka raja seperti dia.
(Ch. Enung Martina)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar