Akhir-akhir ini saya sedang tertarik dengan sebuah
buku klasik Jawa. Sebetulnya buku tersebut ditulis dalam bahasa Jawa yang kuno
dalam bentuk tembang. Tentu saja saya tidak membaca versi bahasa Jawa, tetapi saya
membaca dalam versi bahasa Indonesia yang terdapat di perpustakaan SMA Santa
ursula BSD. Saya membaca baru jilid peratma.
Di bawah ini catatan saya sesudah
membaca buku tersebut.
Serat Centhini
atau juga disebut Suluk Tambanglaras atau Suluk
Tambangraras-Amongraga, merupakan salah satu karya sastra terbesar dalam kesusastraan Jawa Baru. Serat
Centhini menghimpun segala macam ilmu pengetahuan dan kebudayaan Jawa, agar tak
punah dan tetap lestari sepanjang waktu. Serat Centhini disampaikan dalam
bentuk tembang.
Serat Centhini disusun berdasarkan
kisah perjalanan putra-putri Sunan Giri setelah dikalahkan oleh Pangeran
Pekik dari Surabaya, ipar Sultan Agung dari Kerajaan
Mataram. Kisah dimulai setelah tiga putra Sunan Giri berpencar meninggalkan
tanah mereka untuk melakukan perkelanaan, karena kekuasaan Giri telah
dihancurkan oleh Mataram. Mereka adalah Jayengresmi, Jayengraga/Jayengsari, dan
seorang putri bernama Ken Rancangkapti.
Jayengresmi, dengan diikuti oleh dua santri
bernama Gathak dan Gathuk, melakukan "perjalanan spiritual" ke
sekitar keraton Majapahit, Blitar, Gamprang, hutan Lodhaya, Tuban, Bojonegoro,
hutan Bagor, Gambirlaya, Gunung Padham, desa Dhandher, Kasanga, Sela, Gubug Merapi,
Gunung Prawata, Demak, Gunung Muria, Pekalongan, Gunung
Panegaran, Gunung Mandhalawangi, Tanah Pasundan, Bogor, bekas keraton Pajajaran, Gunung
Salak, dan kemudian tiba di Karang.
Serat Centhini jilid pertama berisi tentang babad Giri yang mengisahkan
Sunan Giri dimulai dari masa kejayaannya hingga dikalahkan oleh Pangeran Pekik
dari Surabaya. Kekalahan Giri berakhir
dengan ditawannya Pangeran Giri dan diboyong ke Mataram. Sementara ketiga
putra-putri Giri terpencar saat meloloskon diri dari kedaan chaos saat penyerangan
tersebut.
Cerita selanjutnya buku jilid
pertama mengisahkan perjalanan putra pertama Giri yang bernama Pangeran Jayengresmi
diikuti Santri Gathak dan Gathuk untuk mencari adik-adik Pangeran yaitu
Jayengsari dan Niken Rancangkapti. Kedua
adiknya ini diikuti oleh abdi setianya Buras.
Jayengresmi mencari adiknya dimulai
dari arah timur ke arah barat Pulau jawa, yaitu dimulai dari bekas kerajaan Majapahit
hingga Jayengresmi mendirikan padepokan di Gunung Salak, Bogor. Di padepokan ini ia didatangi oleh Seh
Ibrahim atau Ki Ageng Karang yang ingin mengangkat Jayengresmi menjadi anaknya.
Ada pun Ki Ageng Karang ini adalah seorang pertapa dari Gunung Karang, Banten yang
sangat terkenal ilmu dan kesaktiannya.
Bila dilihat dari tempat yang dikunjungi,
Jayengresmi dengan diikuti oleh dua santri bernama Gathak dan Gathuk, melakukan
"perjalanan spiritual" ke sekitar keraton Majapahit, Blitar,
Gamprang, hutan Lodhaya, Tuban, Bojonegoro, hutan Bagor, Gambirlaya, Gunung
Padham, desa Dhandher, Kasanga, Sela, Gubug Merapi, Gunung Prawata, Demak,
Gunung Muria, Pekalongan, Gunung Panegaran, Gunung Mandhalawangi, Tanah
Pasundan, Bogor, bekas keraton Pajajaran, Gunung Salak, dan kemudian tiba di
Karang.
Dalam perjalanannya di berbagai tempat mencari kedua adiknya ini, Jayengresmi
bertemu dengan orang-orang berilmu, bijaksana, dan manusia luhur. Selain itu ia
juga bertemu dengan mahluk-mahluk halus. Jayengresmi banyak mendapat ilmu dan
pengajaran dari orang-orang atau mahluk yang bertemu dengannya.
Dalam perjalanan ini, Jayengresmi mengalami
"pendewasaan spiritual", karena bertemu dengan sejumlah guru,
tokoh-tokoh gaib dalam mitos Jawa kuno, dan sejumlah juru kunci makam-makam
keramat di tanah Jawa. Dalam pertemuan dengan tokoh-tokoh itu, dia belajar
mengenai segala macam pengetahuan dalam khazanah kebudayaan Jawa, mulai dari
candi, makna suara burung gagak dan prenjak, khasiat burung pelatuk, petunjuk
pembuatan kain lurik, pilihan waktu berhubungan seksual, perhitungan tanggal
hingga ke kisah Syekh Siti
Jenar.
Perjalanan Jayengsari dan Niken Rancangkapti dalam jilid pertama juga
bertujuan mencari kakandanya yaitu Jayengresmi. Ketiga saudara ini
salingmencari. Perjalanan mereka berdua dimulai dengan naik perahu ke Sunagi
Emas dan turun di Wanakrama. Kemudian ke Desa Sidacerma, ke Tosari (ada di Pasuruan-Jawa
Timur), Ranu Grati, Banyubiru, kaki Gunung Tengger,
Malang, Baung, Singhasari, Sanggariti, Tumpang, Kidhal, Pasrepan, Tasari,
Gunung Bromo, Ngadisari, Klakah, Kandhangan, Argopuro, Gunung Raung,
Banyuwangi, Pekalongan, Gunung Perau, Dieng, sampai ke Sokayasa (Banjarnegara,
Jawa tengah) di kaki Gunung Bisma Banyumas.
Dalam perjalanan itu mereka berdua mendapatkan
pengetahuan mengenai adat-istiadat tanah Jawa, syariat para nabi, kisah Sri
Sadana, pengetahuan wudhu, shalat, pengetahuan dzat Allah, sifat dan asma-Nya
(sifat dua puluh), Hadist Markum, perhitungan slametan orang meninggal, serta
perwatakan Pandawa dan Kurawa.
Bisa dikatakan bahwa kisah dalam Serat Chentini ini
menyampaikan beragam macam hal dalam alam pikiran masyarakat Jawa, seperti
persoalan agama, kebatinan, kekebalan, dunia keris, karawitan dan tari, tata
cara membangun rumah, pertanian, primbon (horoskop), makanan dan minuman,
adat-istiadat, cerita-cerita kuno mengenai Tanah Jawa. Pokoknya buku ini seperti ensiklopedi
Jawa yang dibalut dalam alur kisah para putra-putri Sunan Giri yang sedang
berkelana. Bisa dikkatakan bahwa Serat Centhini merupakan sebuah ensiklopedi yang
memuat berbagai informasi penting mengenai politik, ekonomi, sastra, budaya,
religi yang telah berkembang di Jawa pada era Sebelum Masehi hingga pada ke 18
Masehi. Para krtiikus memuji kitab ini sebagai karya sastra istana Jawa yang
megah, mewah, indah, dan bermutu tinggi.
Buku
yang aslinya ditulis dalam bentuk tembang ini dianggap sebagai sastra klasik
yang adhiluhung. Seperti kita ketahui bahwa dalam banyak kehidupan manusia,
kita mengenal ajaran nyanyian atau tembang atau bahkan berbalas pantun, dimana
isi dari ungkapan-ungkapan di dalamnya mengajarkan perumpamaan untuk menuju
kepada kehidupan yang lebih baik. Tidak sedikit ajaran-ajaran agama juga
memiliki tembangnya sendiri, seperti dalam agama Kristiani, di dalam Kitab Suci
ada bagian disebutkan sebagai mazmur, Kidung Agung, atau puji-pujian kepada
Allah. Di dalamnya juga bisa kita tangkap beberapa kata yang menggambarkan
hubungan harmonis antara makhluk hidup yang ada di bumi ini, dan hubungan
mahluk dengan khaliknya sebagai penghormatan kepada Sang Penciptanya.
Meskipun
saya membaca buku turunannya dalam
bahasa Indonesia, tetapi saya bisa membayangkan keindahan sasatrawinya. Bila
saya mendengarkan versi asli yang didendangkan para penembang, atau bila saya
membaca tulisan berisi tembang-tembang
tersebut saya yakin rasa, greget, dan
nuansanya (fill)-nya akan lain dengan kala saya membaca buku turunanya. Teman saya,
Anna Wiwin Yarniatun, atau Ibu Wiwin, yang adalah pencinta sasatra dan seni Jawa, mengatakan bahwa ketika Serat Chentini
itu ditembangkan membuat mak-nyos di
hati.
Bila dilihat
dari sisi sosiologisnya, di awal buku, diceritakan asal usul silsilah keluarga
dan orangtua dari Jayengresmi, yaitu kakek Jayengresmi yang adalah Syekh
Walilanang, seorang muslim dari Jedah yang mencoba masuk ke Kerajaan Blambangan
sebagai benteng terakhir dari peradaban Majapahit di Jawa. Dengan kekuatannya,
Syekh Walilanang berhasil menyembuhkan penyakit puteri raja dan
mempersuntingnya, dengan harapan raja dan seluruh kerajaan bisa mengikuti
ajaran agama Islam. Menarik melihat latarbelakang penyebaran agama Islam dan
keruntuhan dari kerajaan Majapahit yang menyembah Dewa Siwa (Budha). Dituliskan
di berbagai bagian mengenai “aspek negatif” dari para penyembah Dewa Siwa dari
laskar Majapahit dan bagaimana para penyebar agama Islam tersebut termasuk
Syekh Walilanang dan anaknya Sunan Giri berusaha mengembalikan masyarakat
“Jawa” untuk kembali ke jalan yang “benar” dengan menganut agama Islam.
Perspektif Islam sangat kuat dalam buku itu. Hal ini terutama memang
berdasarkan cerita mengenai penyebaran agama Islam dan bagaimana kaidah-kaidah
agama Islam menjadi patokan dalam perumpamaan dan ajaran-ajaran yang coba
dikawinkan dengan ilmu Jawa Kuno.
Buku ini
memang menarik terlebih karena buku ini merupakan karya klasik yang ditulis 2
abad yang lalu. Seperti karya-karya sastra yang lain yang meskipun diciptakan
sekian abad yang lalu, bahkan sekian milenium yang lalu, kebijasanaan yang ada
di daalmnya akan tetap relevan untuk kehidupan saat ini.
(Christina
enung Martina, 11 Mei 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar