Minggu, 10 Mei 2015

CATATAN SESUDAH MEMBACA SERAT CENTHINI JILID I

Akhir-akhir ini saya sedang tertarik dengan sebuah buku klasik Jawa. Sebetulnya buku tersebut ditulis dalam bahasa Jawa yang kuno dalam bentuk tembang. Tentu saja saya tidak membaca versi bahasa Jawa, tetapi saya membaca dalam versi bahasa Indonesia yang terdapat di perpustakaan SMA Santa ursula BSD. Saya membaca baru jilid peratma.  Di bawah ini catatan saya  sesudah membaca buku tersebut.
      Serat Centhini atau juga disebut  Suluk Tambanglaras  atau Suluk Tambangraras-Amongraga, merupakan salah satu karya sastra terbesar dalam kesusastraan Jawa Baru. Serat Centhini menghimpun segala macam ilmu pengetahuan dan kebudayaan Jawa, agar tak punah dan tetap lestari sepanjang waktu. Serat Centhini disampaikan dalam bentuk tembang.
        Serat Centhini disusun berdasarkan kisah perjalanan putra-putri Sunan Giri setelah dikalahkan oleh Pangeran Pekik dari Surabaya, ipar Sultan Agung dari Kerajaan Mataram. Kisah dimulai setelah tiga putra Sunan Giri berpencar meninggalkan tanah mereka untuk melakukan perkelanaan, karena kekuasaan Giri telah dihancurkan oleh Mataram. Mereka adalah Jayengresmi, Jayengraga/Jayengsari, dan seorang putri bernama Ken Rancangkapti.
       Jayengresmi, dengan diikuti oleh dua santri bernama Gathak dan Gathuk, melakukan "perjalanan spiritual" ke sekitar keraton Majapahit, Blitar, Gamprang, hutan Lodhaya, Tuban, Bojonegoro, hutan Bagor, Gambirlaya, Gunung Padham, desa Dhandher, Kasanga, Sela, Gubug Merapi, Gunung Prawata, Demak, Gunung Muria, Pekalongan, Gunung Panegaran, Gunung Mandhalawangi, Tanah Pasundan, Bogor, bekas keraton Pajajaran, Gunung Salak, dan kemudian tiba di Karang.

Serat Centhini jilid pertama berisi tentang babad Giri yang mengisahkan Sunan Giri dimulai dari masa kejayaannya hingga dikalahkan oleh Pangeran Pekik dari Surabaya.  Kekalahan Giri berakhir dengan ditawannya Pangeran Giri dan diboyong ke Mataram. Sementara ketiga putra-putri Giri terpencar saat meloloskon diri dari kedaan chaos saat penyerangan tersebut.
            Cerita selanjutnya buku jilid pertama mengisahkan perjalanan putra pertama Giri yang bernama Pangeran Jayengresmi diikuti Santri Gathak dan Gathuk untuk mencari adik-adik Pangeran yaitu Jayengsari dan Niken  Rancangkapti. Kedua adiknya ini diikuti oleh abdi setianya Buras.
            Jayengresmi mencari adiknya dimulai dari arah timur ke arah barat Pulau jawa, yaitu dimulai dari bekas kerajaan Majapahit hingga Jayengresmi mendirikan padepokan di Gunung Salak,  Bogor. Di padepokan ini ia didatangi oleh Seh Ibrahim atau Ki Ageng Karang yang ingin mengangkat Jayengresmi menjadi anaknya. Ada pun Ki Ageng Karang ini adalah seorang pertapa dari Gunung Karang, Banten yang sangat terkenal ilmu dan kesaktiannya.
Bila dilihat dari tempat yang dikunjungi, Jayengresmi dengan diikuti oleh dua santri bernama Gathak dan Gathuk, melakukan "perjalanan spiritual" ke sekitar keraton Majapahit, Blitar, Gamprang, hutan Lodhaya, Tuban, Bojonegoro, hutan Bagor, Gambirlaya, Gunung Padham, desa Dhandher, Kasanga, Sela, Gubug Merapi, Gunung Prawata, Demak, Gunung Muria, Pekalongan, Gunung Panegaran, Gunung Mandhalawangi, Tanah Pasundan, Bogor, bekas keraton Pajajaran, Gunung Salak, dan kemudian tiba di Karang.
Dalam perjalanannya di berbagai tempat mencari kedua adiknya ini, Jayengresmi bertemu dengan orang-orang berilmu, bijaksana, dan manusia luhur. Selain itu ia juga bertemu dengan mahluk-mahluk halus. Jayengresmi banyak mendapat ilmu dan pengajaran dari orang-orang atau mahluk yang bertemu dengannya.
Dalam perjalanan ini, Jayengresmi mengalami "pendewasaan spiritual", karena bertemu dengan sejumlah guru, tokoh-tokoh gaib dalam mitos Jawa kuno, dan sejumlah juru kunci makam-makam keramat di tanah Jawa. Dalam pertemuan dengan tokoh-tokoh itu, dia belajar mengenai segala macam pengetahuan dalam khazanah kebudayaan Jawa, mulai dari candi, makna suara burung gagak dan prenjak, khasiat burung pelatuk, petunjuk pembuatan kain lurik, pilihan waktu berhubungan seksual, perhitungan tanggal  hingga ke kisah Syekh Siti Jenar. 
            Perjalanan Jayengsari dan Niken  Rancangkapti dalam jilid pertama juga bertujuan mencari kakandanya yaitu Jayengresmi. Ketiga saudara ini salingmencari. Perjalanan mereka berdua dimulai dengan naik perahu ke Sunagi Emas dan turun di Wanakrama. Kemudian ke Desa Sidacerma, ke Tosari (ada di Pasuruan-Jawa Timur), Ranu Grati, Banyubiru, kaki Gunung Tengger, Malang, Baung, Singhasari, Sanggariti, Tumpang, Kidhal, Pasrepan, Tasari, Gunung Bromo, Ngadisari, Klakah, Kandhangan, Argopuro, Gunung Raung, Banyuwangi, Pekalongan, Gunung Perau, Dieng, sampai ke Sokayasa (Banjarnegara, Jawa tengah) di kaki Gunung Bisma Banyumas.
Dalam perjalanan itu mereka berdua mendapatkan pengetahuan mengenai adat-istiadat tanah Jawa, syariat para nabi, kisah Sri Sadana, pengetahuan wudhu, shalat, pengetahuan dzat Allah, sifat dan asma-Nya (sifat dua puluh), Hadist Markum, perhitungan slametan orang meninggal, serta perwatakan Pandawa dan Kurawa.
Bisa dikatakan bahwa kisah dalam Serat Chentini ini menyampaikan beragam macam hal dalam alam pikiran masyarakat Jawa, seperti persoalan agama, kebatinan, kekebalan, dunia keris, karawitan dan tari, tata cara membangun rumah, pertanian, primbon (horoskop), makanan dan minuman, adat-istiadat, cerita-cerita kuno mengenai Tanah Jawa.  Pokoknya buku ini seperti ensiklopedi Jawa yang dibalut dalam alur kisah para putra-putri Sunan Giri yang sedang berkelana. Bisa dikkatakan bahwa Serat Centhini merupakan sebuah ensiklopedi yang memuat berbagai informasi penting mengenai politik, ekonomi, sastra, budaya, religi yang telah berkembang di Jawa pada era Sebelum Masehi hingga pada ke 18 Masehi. Para krtiikus memuji kitab ini sebagai karya sastra istana Jawa yang megah, mewah, indah, dan bermutu tinggi.
            Buku yang aslinya ditulis dalam bentuk tembang ini dianggap sebagai sastra klasik yang adhiluhung. Seperti kita ketahui bahwa dalam banyak kehidupan manusia, kita mengenal ajaran nyanyian atau tembang atau bahkan berbalas pantun, dimana isi dari ungkapan-ungkapan di dalamnya mengajarkan perumpamaan untuk menuju kepada kehidupan yang lebih baik. Tidak sedikit ajaran-ajaran agama juga memiliki tembangnya sendiri, seperti dalam agama Kristiani, di dalam Kitab Suci ada bagian disebutkan sebagai mazmur, Kidung Agung, atau puji-pujian kepada Allah. Di dalamnya juga bisa kita tangkap beberapa kata yang menggambarkan hubungan harmonis antara makhluk hidup yang ada di bumi ini, dan hubungan mahluk dengan khaliknya sebagai penghormatan kepada Sang Penciptanya.

Meskipun saya membaca buku turunannya dalam  bahasa Indonesia, tetapi saya bisa membayangkan keindahan sasatrawinya. Bila saya mendengarkan versi asli yang didendangkan para penembang, atau bila saya membaca  tulisan berisi tembang-tembang tersebut saya yakin  rasa, greget, dan nuansanya (fill)-nya akan lain dengan kala saya membaca buku turunanya. Teman saya, Anna Wiwin Yarniatun, atau Ibu Wiwin, yang adalah pencinta sasatra dan seni  Jawa, mengatakan bahwa ketika Serat Chentini itu ditembangkan membuat mak-nyos di hati.
Bila dilihat dari sisi sosiologisnya, di awal buku, diceritakan asal usul silsilah keluarga dan orangtua dari Jayengresmi, yaitu kakek Jayengresmi yang adalah Syekh Walilanang, seorang muslim dari Jedah yang mencoba masuk ke Kerajaan Blambangan sebagai benteng terakhir dari peradaban Majapahit di Jawa. Dengan kekuatannya, Syekh Walilanang berhasil menyembuhkan penyakit puteri raja dan mempersuntingnya, dengan harapan raja dan seluruh kerajaan bisa mengikuti ajaran agama Islam. Menarik melihat latarbelakang penyebaran agama Islam dan keruntuhan dari kerajaan Majapahit yang menyembah Dewa Siwa (Budha). Dituliskan di berbagai bagian mengenai “aspek negatif” dari para penyembah Dewa Siwa dari laskar Majapahit dan bagaimana para penyebar agama Islam tersebut termasuk Syekh Walilanang dan anaknya Sunan Giri berusaha mengembalikan masyarakat “Jawa” untuk kembali ke jalan yang “benar” dengan menganut agama Islam. Perspektif Islam sangat kuat dalam buku itu. Hal ini terutama memang berdasarkan cerita mengenai penyebaran agama Islam dan bagaimana kaidah-kaidah agama Islam menjadi patokan dalam perumpamaan dan ajaran-ajaran yang coba dikawinkan dengan ilmu Jawa Kuno.
Buku ini memang menarik terlebih karena buku ini merupakan karya klasik yang ditulis 2 abad yang lalu. Seperti karya-karya sastra yang lain yang meskipun diciptakan sekian abad yang lalu, bahkan sekian milenium yang lalu, kebijasanaan yang ada di daalmnya akan tetap relevan untuk kehidupan saat ini.

(Christina enung Martina, 11 Mei 2015)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar