Ungkapan di atas
bahkan ada yang memodifikasi menjadi: mulutmu harimaumu, kata-kata
bumerangmu. Karena mengingat
perkembangan teknologi gajet, bahkan ada yang menambahkan menjadi : mulutmu,
jemari, dan jempol harimaumu. Apa pun tambahannya yang jelas maknanya tetap
sama mengacu kepada peringatan untuk berhati mengeluarkan kata-kata.
Ini sebuah kasus
kematian yang bermula karena jahatnya kata-kata:
Caci Maki Berujung Maut (Kompas, 9 Februari 2009)
Tak tahan dan sakit hati
karena sering dicaci maki dengan kata-kata kotor oleh isterinya, seorang suami
tega mendalangi pembunuhan isterinya tersebut. Peristiwa yang terjadi di
wilayah hukum Polres Cilegon ini, rupanya bukanlah peristiwa yang pertama.
Sebelumnya, pada pertengahan April 2008, pernah terjadi juga seorang suami
menganiaya isteri dan anak tirinya hingga tewas lalu memasukkan mayat keduanya
ke dalam drum dan kemudian dikubur begitu saja di bawah lantai dapur rumah
mereka. Alasannya? Si suami sudah tak tahan lagi mendengar caci maki sang
isteri yang sering marah-marah karena penghasilan suaminya sebagai tukang ojek
dianggap minim.
Semuanya berawal dari mulut dan lidah...
Sebab dalam Al Kitab tertulis:
Siapa menjaga mulutnya, memelihara
nyawanya, siapa yang lebar bibir, akan ditimpa kebinasaan. (Amsal 13:3).
Orang bebal dibinasakan oleh mulutnya,
bibirnya adalah jerat bagi nyawanya. (Amsal 18:7).
Siapa memelihara mulut dan lidahnya,
memelihara diri dari pada kesukaran. (Amsal 21:23).
Hidup dan mati dikuasai lidah, siapa suka
menggemakannya, akan memakan buahnya. (Amsal 18:21).
Lidah lembut adalah pohon kehidupan, tetapi
lidah curang melukai hati. (Amsal
15:4).
Tetapi apa yang keluar dari mulut berasal
dari hati dan itulah yang menajiskan orang. (Mat. 15:18).
Yakobus 3:5a:
“Demikian juga lidah, walaupun suatu anggota
yang kecil dari tubuh, namun dapat memegahkan perkara-perkara besar.”
Berapa banyak kita mengalami sakit hati karena ucapan
seseorang kepada kita?
Berapa sering kita merancang pembalasan untuk
membuat orang lain sakit hati atas kata-katanya kepada kita? Saya yakin semua
orang mengalaminya.
Dengan lidah (kata-kata) kita memuji Tuhan,
dengan lidah kita memuji orang, dengan lidah kita bisa menjunjung tinggi nilai
Kebenaran, dengan lidah kita bisa menghianati kebenaran, dengan lidah kita
mampu memunculkan yang tidak ada menjadi ada dan dengan lidah pula kita mampu
menciptakan kerusuhan atau perdamaian.
Janganlah ada
perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk
membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih
karunia ( Efesus 4:29). Karena komunikasi
verbal memanfaatkan kekuatan kata. Kata – kata membentuk realitas, sehingga
mengandung kekuatan yang luar biasa. Seseorang dapat mengubah persepsi orang
lain tentang realitas dengan pilihan kata – kata yang digunakan.
Mulut adalah media untuk mengartikulasikan segala yang ada dalam hati.
Ucapan merupakan cerminan dari hal tersebut. Ungkapan pikiran dan hati, dengan
media apapun tentu mempunyai tujuan yaitu dapat dibaca dan diketahui banyak
orang. Sebab “Siapa yang mau mencintai hidup dan mau melihat
hari-hari baik , ia harus menjaga lidahnya terhadap yang jahat
dan bibirnya terhadap ucapan-ucapan yang menipu” (1 Petrus 3 : 10 ).
Pepatah
"mulutmu harimaumu" mengajarkan kepada kita bahwa perkataan yang
keluar dari mulut ini harus kita kendalikan. Jika tidak, perkataan itu menjadi
'galak' seperti harimau yang bisa menerkam balik kita. Mulut adalah media untuk
mengartikulasikan segala sesuatu yang ada di dalam pikiran dan hati. Oleh karena
itu, pepatah ini ingin mengajarkan kepada kita untuk selalu mengendalikan mulut
kita.
Raja Daud berkata : Awasilah mulutku, ya TUHAN, berjagalah pada pintu bibirku! (Mazmur
141:3). Pemazmur mengajarkan kepada
kita, bahwa untuk menyaring perkataan yang keluar dari mulut kita, tidak cukup
dengan usaha sendiri, melainkan dengan berdoa. Berdoa adalah perlawanan yang
paling tepat terhadap perkataan yang kotor dan jahat. Dalam doanya pada waktu
petang, Daud berseru kepada Tuhan, meminta Tuhan melindungi dan memampukannya
untuk hidup bagi kemuliaan-Nya. Permohonan ini begitu penting sehingga Daud
berharap agar Tuhan menolongnya dalam pergumulan melawan berbagai bentuk
pencobaan. Ia meminta Allah mengontrol perkataan, pikiran, dan tindakannya.
Saya membaca dari sebuah sumber yang entah apa judulnya, bahwa Mao Tse
Tung dulunya adalah seorang anak sekolah minggu, tetapi karena guru sekolah
minggunya suatu kali mengatai dia sebagai ‘anjing
kuning’, ia lalu meninggalkan gereja dan menjadi komunis. Ia membawa banyak
orang menjadi komunis yang anti kristen. Hikmah apa yang kita pelajari dari
kisah nyata ini?
Bagi saya yang seorang guru, atau lebih kerennya pendidik, menyatakan
bahwa saya harus mengendalikan kata-kata saya saat saya ucapkan kepada anak
didik saya. Kata-kata seorang guru bisa membawa berkat, tetapi juga bisa
membawa laknat.
Namun, hal itu tidak hanya berlaku untuk guru saja. Untuk siapa pun ungkapan ini berlaku.
Mulut menjadi bumerang, apa yang keluar dari mulut akan
kembali lagi. Baik secara interpersonal (relasi dengan orang lain) maupun intrapersonal (relasi dengan diri
sendiri). Akibat kata-kata secara interpersonal mungkin lebih mudah dirasakan
dan diamati, misalnya relasi
kekeluargaan atau pertemanan jadi
renggang. Namun, akibat kata-kata untuk intrapersonal apakah benar bisa
terjadi? Perhatikan saja jika kita mulai mengata-ngatai diri sendiri dengan
hal-hal negatif, misalnya marah atau mengeluh. Akibatnya bagi diri kita menjadi tidak
bersemangat dan tmbah emosional. Mungkin kita pernah mendengar ada orang
mengatakan: Dulu dia menghina saya, sekarang yang dia katakan pada saya
(hinaan) dulu, dialaminya. Itu contoh
bahwa kata-kata menjadi bumerang untuk diri kita sendiri.
Kita
sudah mengetahui, betapa hebatnya dampak dari ketidak waspadaan kita terhadap
ucapan-ucapan lidah yang sembrono. Marilah kita melatih diri untuk
mengendalikannya. Bukan dengan kekuatan kita, tetapi dengan kekuatan Tuhan yang
Agung, yang kita kenal dalam nama Tuhan Yesus, Penebus dan Penyelamat kita. (Ch. Enung Martina)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar