Saya membaca buku karya Paullo Coelho ini banyak gangguannya
karena kewajiban dunia yang harus saya penuhi. Sehingga buku ini baru selesai sesudah 1 bulan meminjam di
perpustakaan SMA Santa Ursula BSD. Namun, waktu yang lama bukan halangan untuk
mendapatkan inspirasi bukan? Nah, mari saya bagi hasil yang saya dapatkan dari
membaca ini. O, ya salah satu inspirasinya adalah saya ingin berziarah ke Santiago de
Compostela. Bisakah saya pergi ke sana?
Bagi Paulo Coelho
sendiri, The Pilgrimage mempunyai arti yang sangat penting dalam
perjalanan hidupnya. Novel ini merupakan pengalaman pribadinya yang ia tulis
setahun setelah melakukan perjalanan ziarah Road
to Santiago. The Pilgrimage mengungkapkan pencerahan-pencerahan yang ia
peroleh pada awal-awal karirnya sebagai penulis.
Road to Santiago atau Perjalanan Menuju Santiago adalah perjalanan
ziarah yang biasa dilakukan umat Kristiani, khususnya penganut Katolik, sejak
awal Masehi. Umat Kristiani sejak abad pertama Masehi juga dianjurkan menempuh
tiga rute peziarahan yang dianggap suci. “Setiap rute,” tulis Coelho
dalam The Pilgrimage, “memiliki berkah dan keuntungan tersendiri bagi
mereka yang berjalan menempuhnya.”
Perjalanan ziarah pertama yang
dianjurkan itu adalah perjalanan menuju pusara Santo Petrus di Roma (Vatikan).
Para peziarah ke Roma disebut sebagai Pengembara, bersimbolkan salib. Yang
kedua, ziarah ke makam suci Yesus Kristus di Yerusalem. Para peziarahnya
disebut sebagai Pembawa Daun Palem, karena mereka membawa daun palem yang dulu
digunakan orang untuk menyambut Yesus saat memasuki Yerusalem. Dan, yang
ketiga, adalah perjalanan ziarah ke makam San Tiago. Orang yang menempuh jalan
ini disebut sebagai Peziarah, dengan simbol kulit kerang.
San Tiago adalah salah seorang dari tiga murid Yesus (dua
lainnya: Saint Peter (Pdetrus) dan Saint John (Yohanes)) yang menjadi saksi
kebangkitan Kristus. Di Inggris, San Tiago dikenal dengan nama Saint James, di
Prancis Jacques, di Italia Giacomo, bahasa Latinnya Jacob, di Indonesia
Yakobus, dan nama aslinya (dalam bahasa
Aramaic) Yaakov ben Zehdi.
San Tiago dimakamkan di suatu tempat di Tanjung Iberia, di
daerah Galicia, Barat Daya Spanyol. Tempat itu kini dikenal sebagai Compostela,
dan makam San Tiago berada di di Katedral Santiago de Compostela.
Dalam The Pilgrimage, Coelho menguraikan bahwa keputusannya
melakukan perjalanan ziarah menuju Santiago, adalah lantaran perintah dari Sang
Guru. Sang Guru meminta Coelho melakukan perjalanan ziarah menuju Santiago,
guna menemukan kembali pedangnya, yang sebenarnya nyaris diperolehnya dalam
suatu ritual di salah satu puncak gunung Serra do Mar di Brasil.
Cerita diawali dengan upacara inisiasi di sebuah ordo
esoterik, yang oleh Coelho disebut sebagai Ordo Tradisi, di suatu tempat
bernama Itatiaia, di ketinggian puncak gunung Serra do Mar, yang termasuk dalam
rangkaian pegunungan Agulhas Negras (Jarum Hitam) Brasilia. Upacara berlangsung
malam hari, 2 Januari 1986.
Dalam inisiasi itu Paulo akan dianugrahi sebuah pedang. Namun
ketika Coelho menyentuh sarung pedang dan bersiap menggenggamnya, tiba-tiba
saja Sang guru menginjak jemarinya, dan dengan nada marah mengatakan bahwa ia
belum berhak memiliki pedang itu karena ia sedang diliputi kesombongan.
Sang Guru meminta Coelho untuk berjuang
kembali melakukan pencarian pedang tersebut mulai dari awal. Dan, melalui
isterinya, Sang Guru berpesan agar Coelho membuka peta Spanyol, dan mencari
rute perjalanan dari abad pertengahan, yang dikenal dengan Jalan Misterius
menuju Santiago. Jalan itu terbentang sekitar 700 kilometer, dari
Saint-Jean-Pied-de-Port di Prancis hingga ke Katedral Santiago de Compostela di
Spanyol. Perjalanan itu harus ditempuh dengan berjalan kaki, seperti yang
dilakukan para peziarah di masa lalu. Tak tanggung-tanggung, ada sejumlah orang
besar yang pernah melakukan perjalanan ziarah dengan rute tersebut, di antaranya
Karel Agung, Santo Fransiskus dari Asisi, Isabella dari Castille, dan Paus
Johannes Paulus XXIII.
Paulo Coelho pun berangkat menuju
Saint-Jean-Pied-de-Port, dan menemui Mme Lourdes, seorang perempuan setengah
baya, kuncen pintu gerbang menuju rute peziarahan. Dari Mme Lourdes, Coelho
memperoleh kulit kerang, sebagai simbol para peziarah menuju Santiago. Namun
Coelho bukanlah peziarah biasa yang akan dibiarkan berjalan sendiri tanpa
pemandu. Coelho, harus ditemani seorang pemandu yang akan menemuinya di
suatu tempat.
Coelho bertemu dengan sang
pemandu, yang belakangan diketahui ternyata seorang disainer ternama dan
termasuk orang terkaya di Italia. Ia juga seorang anggota partai komunis Italia
dan — anehnya — seorang penganut Katolik yang — tentu saja — sangat taat.
Pemandu itu, yang disebutnya Petrus (untuk menyamarkan nama aslinya) tak hanya
bertugas memandu (menunjukkan) rute perjalanan, tetapi juga berfungsi sebagai
guru spiritual Coelho, yang akan mengajari Coelho berbagai hal yang bersifat
batiniah. Mengarahkan Coelho untuk memandang hidup ini dengan penuh kasih tanpa
batas. Penuh optimisme. Tanpa kekhawatiran dan ketakutan.
Coelho harus menjalani serangkaian latihan fisik. Terutama
tahapan-tahapan latihan RAM, semacam latihan olah nafas dan olah tubuh, guna
mengajari tubuh dan jiwa menyatu dengan semesta. Ia bahkan harus menyelam di
sungai yang dalam, kemudian naik ke atas air terjun yang sangat membahayakan
jiwanya. Coelho tidak boleh membantah perintah sang pemandu, meskipun
berlawanan dengan akal sehat.
Coelho melukiskan perjalanan menuju Santiago itu dengan
sangat detail. Para pembaca diajaknya menyusuri tempat-tempat yang indah.
Ladang-ladang gandum yang membentang sepanjang mata memandang, padang-padang
pasir yang berdebu, hutan sabana dan stepa, menyusuri pegunungan Pyrenees,
mendaki dan menuruni tebing dan lembah.
Pemandu yang menemani Paulo
rupanya berakhir sampai di sebuah kota kecil bernama Ponferrada. Dalam mperpisahannya Petrus
berkata kepada Paulo, “Jika kau berhasil mendapatkan orang memberitahukannya
kepada kita. Kehidupan memberikan pengetahuan kepada kita setiap pedangmu, kau
harus mengajarkan Jalan menuju Santiago ini kepada orang lain. Dan jika hal ini
terjadi — saat kau menerima peranmu sebagai Guru — kau baru akan menemukan
jawaban yang terdapat di hatimu.” “Semua orang sebenarnya tahu jawabannya,”
lanjut Petrus, “bahkan saat belum ada waktu, dan rahasianya adalah menerima
bahwa hanya dalam kehidupan sehari-hari saja kita akan mampu sebijak Sulaiman
dan seperkasa Iskandar Agung. Namun kita baru akan menyadari hal ini hanya saat
kita terpaksa mengajari orang lain dan terlibat dalam petualangan luar biasa
seperti sekarang.”
Dalam kesendirian, di sebuah
puncak gunung bernama El Cebrero, Coelho semakin menyadari bahwa Perjalanan
Ziarah menuju Santiago yang hampir diselesaikannya itu, tak semata untuk
mencari pedang. Melainkan untuk merasakan penderitaan dan sekaligus kebahagiaan
umat manusia sekecil apapun.
Usai berdo’a di Gunung El Cebrero
, Coelho bergerak perlahan menuruni
lereng menuju sebuah dusun yang juga bernama El Cebrero. Di sana ada sebuah kapel yang kemudian
dimasukinya. Di kapel itu, ternyata Sang Guru telah menunggunya di depan altar
dengan sebilah pedang di tangan, sambil berseri penuh kebanggaan. Pedang itu,
diserahkannya kepada Paulo Coelho, dengan penuh keikhlasan.
Perjalanan Ziarah
menuju Santiago, hakikatnya merupakan perjalanan ziarah ke dasar diri, dan
Coelho, telah melakukannya dengan baik. Namun, tidak semau orang bisa melakukan ziarah ke dasar diri. Saya pun termasuk orang yang berpendapat bahwa hal itu tidaklah mudah. (Ch. Enung Martina)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar