Banyak orang mulai menyadari bahwa keunggulan, keberhasilan dan
kesuksesan seseorang bukan semata-mata ditentukan atau diukur dengan kecerdasan
intelektual atau IQ. Bila ada sebuah pengujian atau tes IQ, dan orang tersebut
mendapatkan hasil yang tinggi belum tentu menjamin aspek psikomotor dan afektif
orang tersebut juga baik. Hal yang
dibutuhkan dalam kehidupan bukan hanya kecerdasan dalam menciptakan sesuatu,
tetapi juga kecerdasan emosi, dan kecerdasan spiritual.
Kecerdasan
emosi menjadi salah satu hal yang penting dalam menjalani dan menghadapi kehidupan dengan berbagai tantangannya. Emosi
dihubungkan dengan perasaan seseorang dalam menhdapi suatu hal. Perasaan ini
menentukan afeksi/sikap yang akan menjadi pendorong untuk melakukan tindakan.
Mengolah
atau mengasah perasaan merupakan bagian dari membangun karakter. Pendidikan mengasah rasa dapat dilakukan
dengan berbagai cara. Bukan hanya melalui penjelasan tentang definisi umum
karakter/budi pekerti semata, tetapi melalui pelbagai cara yang dilakukan,
salah satunya melalui SASTRA. Tak jarang kita melihat bahwa banyak orang yang
terharu dan bahkan meneteskan air mata saat membaca novel, puisi, dan karya
sastra lainnya. Di sini tampak bahwa karya sastra juga mampu menyentuh perasaan
seseorang dan tentunya juga mampu menumbuhkan karakter seorang pribadi. Melalui
karya sastra kita dapat mengasah perasaan, berempati, lebih menghargai orang
lain, memperhalus perasaan dan membuat diri kita menjadi lebih mampu memahami
orang lain.
Karya
sastra banyak mengemukakan permasalahan yang sangat bermanfaat bagi
perkembangan psikologi atau jiwa peserta didik. Maka semakin banyak siswa yang
membaca sastra, semakin kayalah siswa akan pengalaman batin sehingga akan
terbentuk pribadi yang lebih arif dalam menghadapi problema kehidupan.
Namun,
tantangan guru adalah banyak anak yang tidak suka membaca. Inilah yang dihadapi
guru Bahasa dan Sastra Indonesia untuk menekankan budaya gemar membaca. Bukan
hanya tugas guru bahasa Indonesia, tugas
utama ini juga terkait dengan pengelola pustaka atau pustakawan sekolah untuk
menyuguhkan bahan bacaan yang bermanfaat dan berguna untuk membentuk kebiasaan
gemar membaca dikalangan sekolah.
Pembelajaran
sastra harus berorientasi pada kegiatan pengalaman bersastra bukan pada
pengembangan teori-teori sastra. Inilah “PR” bagi guru Bahasa Indonesia
(termasuk saya) yang harus terus meningkatkan kemampuan berliterasi dan
bersastranya. Seorang guru hendaknya (mampu) memberikan contoh dan memberikan
pembelajaran terhadap pendalaman materi sastra.
Sastra
itu berbicara tentang kehidupan. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa secara
kasat mata, pembelajaran sastra di sekolah terlihat hanya sekedar “menumpang”
pada pelajaran Bahasa Indonesia saja, meskipun namanya adalah pelajaran Bahasa
dan Sastra Indonesia. Guru terpaksa menjelaskan mengenai sastra hanya
berdasarkan teori yang ada di dalam buku, karena waktu yang tersedia tidak
mencukupi jika harus mempraktikkan pembelajaran mengenai sastra lebih mendalam.
Dapat
kita pahami bahwa pembelajaran sastra di sekolah belum sepenuhnya berjalan
optimal. Padahal jika kita cermati, pembelajaran sastra memiliki banyak
manfaat, bukan hanya sebagai pelengkap nilai kognitif dalam buku raport,
melainkan dapat menjadi sarana pengembangan diri bagi siswa. Seperti yang sudah
diungkapkan di atas pembelajaran sastra dapat memaksimalkan pengendalian
terhadap kecerdasan emosional serta mengembangkan paradigma berpikir siswa berkaitan
dengan kehidupan sosial. Tentunya dengan mempelajari kehidupan masyarakat dalam
karya sastra sangat berguna agar anak mampu berinteraksi dalam hubungan sosial dan
diterima dengan baik di lingkungan masyarakat.
Pembelajaran
sastra berperan dalam mengasah kecerdasan emosional dan pola pikir siswa.
Mengapa demikian? Karena saat membaca karya sastra (contonya novel), secara
tidak langsung, siswa ikut beradaptasi dengan alur cerita di dalam novel
tersebut. Misalnya saja ketika cerita di dalam novel tengah menyajikan
bagian-bagian yang menyedihkan, maka siswa akan terangsang untuk ikut berempati
kepada tokoh yang sedang mengalami kesedihan. Begitupun juga jika jalan cerita
di dalam novel tengah menggambarkan konflik yang sedang klimaks. Lalu, di saat
konflik sudah menurun (antiklimaks) dan solusi sudah didapat, maka penyelesaian
konflik pun dapat terwujud dengan baik. Dengan demikian, siswa dapat memetik
pelajaran berharga bahwa di setiap kesulitan (konflik), jika mampu
mengendalikan diri, maka akan mudah mendapatkan solusi.
Pengendalian
diri tersebut termasuk ke dalam aspek kecerdasan emosional. Kecerdasan
emosional dapat ditingkatkan dan dampaknya dapat dirasakan, baik oleh diri
siswa sendiri, maupun orang lain yang berada di sekitar mereka. Setidaknya ada
5 aspek yang membangun kecerdasan emosi, yaitu:
1. Memahami emosi-emosi sendiri
2. Mampu mengendalikan emosi-emosi
sendiri
3. Memotivasi diri sendiri
4. Memahami emosi-emosi orang lain
5. Mampu membina hubungan sosial yang
baik
Gambaran
dari kelima aspek tersebut dapat kita temukan di dalam pembelajaran sastra,
khususnya dalam karya sastra yang berupa cerita fiksi (cerpen/novel). Membaca cerpen dan novel dapat membantu siswa
dalam memahami emosi para tokoh dan merefleksikannya kepada diri sendiri, serta
belajar untuk mengendalikan emosi tersebut.
Kiranya
contoh di atas memicu para guru, khususnya guru Bahasa Indonesia untuk
meningkatkan kegiatan bersastra peserta didiknya. Selain dapat mengelola dan
mengendalikan emosi dengan baik, efek positif yang didapat oleh siswa adalah
dapat memiliki hubungan sosial yang berkualitas. Kemampuan bersosialisasi erat
hubungannya dengan keterampilan menjalin hubungan dengan orang lain. Orang yang
cerdas secara emosi mampu menjalin hubungan sosial dengan baik dan mampu
menghargai orang lain sebagai pribadi yang setara. Dengan bersastra, rasa semakin
terasah untuk mampu berempati dengan orang lain. (Ch. Enung Martina)
Sumber utama : Goleman,
Daniel. 2000. Emotional Intelligence (Terjemahan). Jakata: PT Gramedia Pustaka Utama.
Goleman, Daniel. 2000. Working With
Emotional Intelligence
(Terjemahan). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar