Minggu, 04 November 2018

MENGASAH RASA MELALUI PELAJARAN SASTRA



Banyak orang mulai menyadari bahwa keunggulan, keberhasilan dan kesuksesan seseorang bukan semata-mata ditentukan atau diukur dengan kecerdasan intelektual atau IQ. Bila ada sebuah pengujian atau tes IQ, dan orang tersebut mendapatkan hasil yang tinggi belum tentu menjamin aspek psikomotor dan afektif orang tersebut juga baik. Hal  yang dibutuhkan dalam kehidupan bukan hanya kecerdasan dalam menciptakan sesuatu, tetapi juga kecerdasan emosi, dan kecerdasan spiritual.

Kecerdasan emosi menjadi salah satu hal yang penting dalam menjalani dan menghadapi  kehidupan dengan berbagai tantangannya. Emosi dihubungkan dengan perasaan seseorang dalam menhdapi suatu hal. Perasaan ini menentukan afeksi/sikap yang akan menjadi pendorong untuk melakukan tindakan.

Mengolah atau mengasah perasaan merupakan bagian dari membangun karakter.  Pendidikan mengasah rasa dapat dilakukan dengan berbagai cara. Bukan hanya melalui penjelasan tentang definisi umum karakter/budi pekerti semata, tetapi melalui pelbagai cara yang dilakukan, salah satunya melalui SASTRA. Tak jarang kita melihat bahwa banyak orang yang terharu dan bahkan meneteskan air mata saat membaca novel, puisi, dan karya sastra lainnya. Di sini tampak bahwa karya sastra juga mampu menyentuh perasaan seseorang dan tentunya juga mampu menumbuhkan karakter seorang pribadi. Melalui karya sastra kita dapat mengasah perasaan, berempati, lebih menghargai orang lain, memperhalus perasaan dan membuat diri kita menjadi lebih mampu memahami orang lain.

Karya sastra banyak mengemukakan permasalahan yang sangat bermanfaat bagi perkembangan psikologi atau jiwa peserta didik. Maka semakin banyak siswa yang membaca sastra, semakin kayalah siswa akan pengalaman batin sehingga akan terbentuk pribadi yang lebih arif dalam menghadapi problema kehidupan.

Namun, tantangan guru adalah banyak anak yang tidak suka membaca. Inilah yang dihadapi guru Bahasa dan Sastra Indonesia untuk menekankan budaya gemar membaca. Bukan hanya tugas guru bahasa Indonesia,  tugas utama ini juga terkait dengan pengelola pustaka atau pustakawan sekolah untuk menyuguhkan bahan bacaan yang bermanfaat dan berguna untuk membentuk kebiasaan gemar membaca dikalangan sekolah.

Pembelajaran sastra harus berorientasi pada kegiatan pengalaman bersastra bukan pada pengembangan teori-teori sastra. Inilah “PR” bagi guru Bahasa Indonesia (termasuk saya) yang harus terus meningkatkan kemampuan berliterasi dan bersastranya. Seorang guru hendaknya (mampu) memberikan contoh dan memberikan pembelajaran terhadap pendalaman materi sastra.

Sastra itu berbicara tentang kehidupan. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa secara kasat mata, pembelajaran sastra di sekolah terlihat hanya sekedar “menumpang” pada pelajaran Bahasa Indonesia saja, meskipun namanya adalah pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Guru terpaksa menjelaskan mengenai sastra hanya berdasarkan teori yang ada di dalam buku, karena waktu yang tersedia tidak mencukupi jika harus mempraktikkan pembelajaran mengenai sastra lebih mendalam.

Dapat kita pahami bahwa pembelajaran sastra di sekolah belum sepenuhnya berjalan optimal. Padahal jika kita cermati, pembelajaran sastra memiliki banyak manfaat, bukan hanya sebagai pelengkap nilai kognitif dalam buku raport, melainkan dapat menjadi sarana pengembangan diri bagi siswa. Seperti yang sudah diungkapkan di atas pembelajaran sastra dapat memaksimalkan pengendalian terhadap kecerdasan emosional serta mengembangkan paradigma berpikir siswa berkaitan dengan kehidupan sosial. Tentunya dengan mempelajari kehidupan masyarakat dalam karya sastra sangat berguna agar anak mampu  berinteraksi dalam hubungan sosial dan diterima dengan baik di lingkungan masyarakat.

Pembelajaran sastra berperan dalam mengasah kecerdasan emosional dan pola pikir siswa. Mengapa demikian? Karena saat membaca karya sastra (contonya novel), secara tidak langsung, siswa ikut beradaptasi dengan alur cerita di dalam novel tersebut. Misalnya saja ketika cerita di dalam novel tengah menyajikan bagian-bagian yang menyedihkan, maka siswa akan terangsang untuk ikut berempati kepada tokoh yang sedang mengalami kesedihan. Begitupun juga jika jalan cerita di dalam novel tengah menggambarkan konflik yang sedang klimaks. Lalu, di saat konflik sudah menurun (antiklimaks) dan solusi sudah didapat, maka penyelesaian konflik pun dapat terwujud dengan baik. Dengan demikian, siswa dapat memetik pelajaran berharga bahwa di setiap kesulitan (konflik), jika mampu mengendalikan diri, maka akan mudah mendapatkan solusi.

Pengendalian diri tersebut termasuk ke dalam aspek kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional dapat ditingkatkan dan dampaknya dapat dirasakan, baik oleh diri siswa sendiri, maupun orang lain yang berada di sekitar mereka. Setidaknya ada 5 aspek yang membangun kecerdasan emosi, yaitu:

1. Memahami emosi-emosi sendiri

2. Mampu mengendalikan emosi-emosi sendiri

3. Memotivasi diri sendiri

4. Memahami emosi-emosi orang lain

5. Mampu membina hubungan sosial yang baik



Gambaran dari kelima aspek tersebut dapat kita temukan di dalam pembelajaran sastra, khususnya dalam karya sastra yang berupa cerita fiksi (cerpen/novel).  Membaca cerpen dan novel dapat membantu siswa dalam memahami emosi para tokoh dan merefleksikannya kepada diri sendiri, serta belajar untuk mengendalikan emosi tersebut.

Kiranya contoh di atas memicu para guru, khususnya guru Bahasa Indonesia untuk meningkatkan kegiatan bersastra peserta didiknya. Selain dapat mengelola dan mengendalikan emosi dengan baik, efek positif yang didapat oleh siswa adalah dapat memiliki hubungan sosial yang berkualitas. Kemampuan bersosialisasi erat hubungannya dengan keterampilan menjalin hubungan dengan orang lain. Orang yang cerdas secara emosi mampu menjalin hubungan sosial dengan baik dan mampu menghargai orang lain sebagai pribadi yang setara. Dengan bersastra, rasa semakin terasah untuk mampu berempati dengan orang lain. (Ch. Enung Martina)

Sumber utama : Goleman, Daniel. 2000. Emotional Intelligence (Terjemahan). Jakata: PT    Gramedia Pustaka Utama.

Goleman, Daniel. 2000. Working With Emotional Intelligence           (Terjemahan). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar