HIKMAT PERLAHAN TERKIKIS MENJADI
SUAM-SUAM KUKU
“Aku, hikmat, tinggal bersama-sama dengan kecerdasan, dan
aku mendapat pengetahuan dan kebijaksanaan.” (Amsal 8 : 12).
INI adalah kasus yang sulit—dua wanita
memperebutkan seorang bayi. Keduanya tinggal serumah, dan keduanya melahirkan
seorang putra, hanya selisih beberapa hari. Salah satu bayi meninggal, dan
sekarang, masing-masing mengaku sebagai ibu dari bayi yang masih hidup. Tidak ada
saksi lain dalam peristiwa itu. Tampaknya, kasus tersebut sudah diperiksa di
pengadilan yang lebih rendah tetapi tidak terselesaikan. Akhirnya, perbantahan
tersebut dibawa ke hadapan Salomo, raja Israel. Sanggupkah ia menyingkapkan
kebenaran?
Setelah beberapa waktu
mendengarkan perbantahan mereka, Salomo meminta sebuah pedang. Kemudian, dengan
raut muka bersungguh-sungguh, ia memerintahkan agar anak itu dibelah, dan
masing-masing wanita mendapat setengah bagian. Seketika itu juga, ibu yang asli
memohon kepada sang raja untuk memberikan bayi itu—anaknya yang
tersayang—kepada wanita lainnya. Tetapi, wanita lainnya itu tetap berkeras agar
anak tersebut dibelah. Kini, Salomo tahu yang sebenarnya. Ia mempunyai
pengetahuan tentang keibaan hati yang lembut seorang ibu terhadap anak kandungnya,
dan ia menggunakan pengetahuan tersebut untuk membereskan perbantahan itu.
Bayangkan betapa leganya sang ibu ketika Salomo menyerahkan sang bayi kepadanya
dan berkata, ”Dialah ibunya.”—1 Raja 3:16-27.
Hikmat yang luar biasa,
bukan? Sewaktu orang-orang mendengar bagaimana Salomo menyelesaikan
kasus tersebut, mereka sangat kagum, ”sebab mereka melihat bahwa hikmat Allah
ada dalam dirinya”. Ya, hikmat Salomo adalah pemberian Allah. Bapa telah
memberinya ”hati yang bijaksana dan berpengertian”. (1 Raja 3:12, 28)
Namun, bagaimana dengan
kita? Apakah kita juga dapat menerima hikmat ilahi? Ya, karena di bawah ilham,
Salomo menulis, ”Allah sendiri memberikan hikmat.” (Amsal 2:6) Allah berjanji
untuk memberikan hikmat—kesanggupan untuk menggunakan pengetahuan, pengertian,
dan pemahaman dengan baik—kepada mereka yang berupaya mencarinya dengan tulus.
Allah bersedia
membagikan hikmat-Nya kepada kita tidak soal latar belakang dan pendidikan
kita. (1 Korintus 1:26-29) Namun, kita harus mengambil inisiatif, karena
Alkitab mendesak kita untuk ’mendapatkan hikmat’. (Amsal 4:7)
Cara mendapatkan
hikmat: Pertama-tama, kita perlu takut akan Allah. ”Takut akan Allah adalah permulaan hikmat [”langkah pertama
menuju hikmat” Takut akan Allah berarti, bukan meringkuk di hadapan-Nya karena
perasaan ngeri, melainkan membungkuk di hadapan-Nya karena perasaan hormat,
respek, dan percaya. Rasa takut demikian adalah takut yang sehat dan sangat
memotivasi. Rasa takut tersebut menggerakkan kita untuk menyelaraskan kehidupan
kita dengan pengetahuan tentang kehendak dan jalan-jalan Allah. Tidak ada lagi
haluan yang lebih berhikmat yang dapat kita tempuh karena standar-standar Allah
selalu menghasilkan manfaat terbaik bagi mereka yang mematuhinya.
Kedua, kita harus
rendah hati dan bersahaja. Hikmat ilahi tidak akan ada tanpa kerendahan hati
dan kesahajaan. (Amsal 11:2) Apabila kita rendah hati dan bersahaja, kita
mau mengakui bahwa kita tidak tahu
segala-galanya, bahwa pendapat kita tidak selalu benar, dan bahwa kita perlu
mengetahui pikiran Yehuwa berkenaan dengan berbagai hal. Allah ”menentang
orang yang angkuh”, tetapi Ia senang memberikan hikmat kepada mereka yang
rendah hati.—Yakobus 4:6.
Hal ketiga yang sangat
penting adalah mempelajari Firman Allah yang tertulis. Hikmat Allah disingkapkan
dalam Firman-Nya. Untuk mendapatkan hikmat tersebut, kita harus mengerahkan
upaya untuk menggalinya. (Amsal 2:1-5)
Abuna Hendra
Tuntutan keempat adalah
doa. Jika kita dengan tulus meminta hikmat kepada Allah, Ia akan memberikannya
dengan murah hati. (Yakobus 1:5) Doa-doa kita untuk meminta bantuan roh-Nya
tidak akan dibiarkan tak terjawab. Dan, roh-Nya memungkinkan kita menemukan
harta dalam Firman-Nya yang dapat membantu kita memecahkan berbagai masalah,
menghindari bahaya, dan membuat keputusan yang bijaksana.—Lukas 11:13.
Begitulah memperoleh
hikmat. Apakah mudah? Wah, tentu tidak Ferguso! Tantangannya seabreg. Apalagi hidup
di zaman sekarang. Berbicara tentang hikmat, yang juga dikenal sebagai
kebijaksanaan, begitu penting dalam kehidupan manusia. Tanpa hikmat dalam
kehidupan, seseorang bisa salah jalan. Tidak mengherankan, apabila setiap
manusia selalu ingin memiliki hikmat dan kebijaksanaan dalam kehidupannya.
Bahkan, tidak jarang mereka akan melakukan apa saja untuk mendapatkan hikmat
dan kebijaksanaan itu.
Banyak yang berpikir
bahwa hikmat dan kebijaksanaan itu dapat mereka beli dan miliki dengan jalan
belajar sampai tingkat tertinggi dan di tempat yang hebat, sehingga mereka
berlomba-lomba untuk mendapatkan pendidikan yang terbaik, dan berusaha
mendapatkan nilai akademis tertinggi.
Memang, tidak salah
seseorang belajar sampai setinggi-tingginya. Namun, yang harus kita pahami
adalah kemampuan akademis, atau kemampuan intelektual, tidaklah identik dengan
hikmat. Pendidikan tinggi tidak menjamin seseorang memiliki hikmat. Lihat saja
kasus-kasus yang ada di negeri ini, orang-orang yang dianggap berhasil dalam
meraih pendidikannya banyak juga yang gagal ketika diberi kepercayaan untuk
memimpin sekelompok masyarakat.
Ada yang berpikir bahwa
hikmat dan kebijaksanaan seseorang dinilai dari usia seseorang, dari kedudukannya
dalam masyarakat, dari kedudukannya di sebuah kantor/lembaga, atau dari
kedudukannya sebagai pimpinan agama, atau dari banyaknya gelar akademis yang
disandangnya. Namun, ternyata tidak demikian. Semua hal itu tidak menjamin
seseorang berhikmat.
Bahkan, kita tahu dan
belajar dari Raja Salomo yang digambarkan di atas tentang bagaimana dia
berhikmat. Ternyata kalau hikmat yang dimilikinya pada akhirnya akan terkikis
kalau tidak dipelihara, dirawat, dan diperdalam. Kita mengetahui bahwa di
antara orang-orang yang pada awalnya berjalan dengan Tuhan dengan segenap hati
namun kemudian menyimpang dari-Nya, dengan mengizinkan dosa masuk ke dalam hatinya,
mungkin tidak ada contoh yang berbunyi lebih nyaring daripada Salomo. Tiga
kitab dalam Alkitab Perjanjian Lama ditulis olehnya, dan ini saja mungkin sudah
cukup menunjukkan betapa berapi-apinya orang ini bagi Tuhan pada awalnya.
Hikmat yang Allah
karuniakan kepada Salomo benar-benar luar biasa. Sebagaimana kita baca dalam 1
Raja-raja 4:29-30, 34: “Dan Allah memberikan kepada Salomo hikmat dan
pengertian yang amat besar, serta akal yang luas seperti dataran pasir di tepi
laut, sehingga hikmat Salomo melebihi hikmat segala bani Timur dan melebihi
segala hikmat orang Mesir…….Maka datanglah orang dari segala bangsa
mendengarkan hikmat Salomo, dan ia menerima upeti dari semua raja-raja di bumi,
yang telah mendengar tentang hikmatnya itu.” Dan, sebagaimana I Raja-raja 3:3
katakan kepada kita: “Dan Salomo menunjukkan kasihnya kepada TUHAN dengan hidup
menurut ketetapan-ketetapan Daud, ayahnya”.
Namun, apa lacur? Ternyata
si babang tamvan Salomo ini begitu mencintai banyak perempuan asing. Di samping
anak Firaun ia mencintai perempuan-perempuan Moab, Amon, Edom, Sidon dan
Het.Salomo mempunyai tujuh ratus isteri
dari kaum bangsawan dan tiga ratus gundik; isteri-isterinya itu menarik hatinya
dari pada TUHAN. Sebab pada waktu Salomo sudah tua, isteri-isterinya itu
mencondongkan hatinya kepada allah-allah lain, sehingga ia tidak dengan sepenuh
hati berpaut kepada TUHAN, Allahnya, seperti Daud, ayahnya. Demikianlah Salomo
mengikuti Asytoret, dewi orang Sidon, dan mengikuti Milkom, dewa kejijikan
sembahan orang Amon, dan Salomo melakukan apa yang jahat di mata TUHAN.
Ada satu hal yang
menarik: Salomo tidak sepenuhnya
berpaling dari Tuhan. Sebaliknya, ia “tidak dengan sepenuh hati mengikuti
Tuhan”. Dengan kata lain, ia tidak dingin, juga tidak panas. Ia suam-suam
kuku. Ia lebih memilih untuk mengikuti daging dan keinginan-keinginannya
daripada mengikuti Tuhan dan perintah-perintah-Nya. Reaksi Tuhan terhadap
perubahan hati Salomo ini diberikan dalam 1 Raja-raja 11: "Oleh karena begitu kelakuanmu,
yakni engkau tidak berpegang pada perjanjian dan segala ketetapan-Ku yang telah
Kuperintahkan kepadamu, maka sesungguhnya Aku akan mengoyakkan kerajaan itu
dari padamu dan akan memberikannya kepada hambamu. Hanya, pada waktu hidupmu
ini Aku belum mau melakukannya oleh karena Daud, ayahmu; dari tangan anakmulah
Aku akan mengoyakkannya”.
Contoh kehidupan Salomo
ini memperlihatkan apa yang dapat terjadi pada seorang abdi Allah jikalau ia
mengizinkan dunia ini hidup di dalam hatinya: ia akan segera menyembah apa yang disembah oleh dunia. Kemuliaan,
kehormatan, nama baik, dan kekuasaan, serta harta kekayaan, juga kenikmatan. Apa
yang disembah oleh dunia banyak membawa seorang pemimpin besar berpaling dari
visi misi awal yang diperjuangkannya.
Kasus Salomo bukan
satu-satunya kasus di mana seseorang yang tadinya begitu berapi-api bagi Tuhan,
berubah menjadi suam-suam kuku. Orang yang mempunyai tujuan awal mulia,
lama-lama terbelokkan untuk hal yang bukan lagi yang diperjuangkannya. Banyak orang telah jatuh dan mereka jatuh ke
dalam perangkap yang sama. Itulah mengapa 11 Korintus 13:5 menasihati kita
“Ujilah dirimu sendiri, apakah kamu tetap tegak di dalam iman”
Cinta akan dunia ini
menggantikan cinta kepada Bapa dan fakta bahwa kita pada hari ini berada dalam
iman tidak menjamin kita akan tetap berada dalam iman pada besok hari. “Waspadalah,
supaya kamu jangan kehilangan apa yang telah kami kerjakan itu, tetapi supaya
kamu mendapat upahmu sepenuhnya.” (II Yohanes 8). Dalam doa kita meminta pertolongan Roh-Nya yang Maha Kudus untuk tetap menjaga iman kita. Karena iman adalah rahmat yang besar dalam hidup kita. Ketika iman kita lakukan dalam perbuatan kasih maka makin sempurnalah ia. Dengan kasih dan iman maka kita selalu mempunyai harapan dalam hidup kita. (Ch.
Enung Martina)
(Refrensi:
https://www.jba.gr/Bahasa/Kejatuhan-Salomo.htm, https://www.jw.org/id/publikasi/buku/mendekatlah/bijaksana/cara-hidup-menurut-hikmat-allah/