Kamis, 07 Mei 2009

POJOK LEMBUR SINGKUR

O, ya template blog saya baru. Direkayasa oleh dua belah pihak yaitu Aga dan Metta yang measa malu blog ibunya terlalu cupu katanya.


Kampung Sususru demikian orang menyebutnya, terkadang ada yang menyebut juga Cisuru karena beranggapan nama-nama kampung di pedesaan Jawa Barat banyak yang menggunakan nama dengan diawali ci. Kampung ini masuk dalam wilayah administratif desa Kertayasa, kecamatan Panawangan, kabupaten Ciamis. Desa ini jauh masuk ke pedalaman. Kalau kita berada di kota Ciamis, kita harus mengambil jalan yang ke arah utara. Kalau kita berada di Cirebon, kita harus mengambil ke arah selatan. Dari Panawangan (tepat di depan alun-alun kecamatan) akan mengambil jalan naik di samping Mesjid. Bisa bertanya pada tukang ojek atau orang yang berada di sekitar situ.

Jalan itu akan terus menanjak dan nanti akan betemu dengan jalan agak datar dekat dengan sebuah hutan lindung kecil yang bernama Gereng, yang terletak di Dudun Susuru Luhur. Susuru yang ini bukan dusunku karena dia pake kata luhur. Dari situ akan terus melewati jalan kampung yang beraspal ala kadarnya (tipis) dan sudah mulai berlubang-lubang. Terus saja perjalanan dilanjutkan. Kita akan bertemu dengan pertigaan yang arah jalannya turun. Jangan salah, jalan itu bukan ke dusunku, itu ke Galonggong, sebuah dusun lain tetangga dusunku. Di Galonggong bibiku dan beberapa sepupu serta ua ti gigir (kakak sepupu orang tua) tinggal. Dua saudara sepupu dari ua ti gigir jadi pastor, yang satu OSC (Ordo Salib Suci) dan yang satu Projo kalau tidak salah. Pastor Andreas Dedi bertugas di Bandung dan kalau tidak salah yang satu lagi (Pastor Sukarna) di Cirebon. Kedua pastor ini adik-kakak. Ada juga anak ua ti gigir yang lain menjadi suster (biarawati) yaitu Sr. Renata, CB berada di RS Boromeus-Bandung. Dulu aku memanggil Suster ini dengan Ceu Elis karena dia satu angkatan denganku di SMP. Satu keponakan ti gigir juga menjadi suster Ursulin, namanya Sr. Entin, OSU. Sekarang beliau bertugas di Afrika. Nah, saudara-saudara ti gigir yang disebutkan tadi itu berasal dari Dusun Galonggong.

Mari kita lanjut ke perjalanan kita. Jadi dari petigaan Galonggong tadi, kita masih terus melanjutkan perjalanan lurus dan naik. Sepanjang perjalanan kita akan bertemu dengan kebun singkong, kebun kayu, diselingi satu dua rumah, diselingi kandang ayam. Perjalanan kita sekarang sudah melewati wilayah Dusun Susuru. Kita akan bertemu dengan tanjakan yang cukup terjal. Akhir dari tanjakan itu berada di sebuah puncak bukit. Nah, di bukit inilah SD-ku tersayang berada, seperti yang kuceritakan beberapa waktu lalu. Lihatlah kiri kanannya kebun… semua. Baru jalanan menurun, tepat di sebelah kiri kita ada pemakaman. Di sini bersemayam leluhur kami, nini-aki, sanak-saudara yang sudah berada di alam keabadian. Terus kita turun dan tepat di lembah akan ada warung dan beberapa rumah. Warung yang berada tepat di pertigaan itu adalah warung uaku (ua ti gigir), namanya Ua Komar. Dulu anak Ua Komar naksir berat denganku ketika kami SD. Aku kelas 4 SD, dia kelas 1 SD. Huh… rupanya sepupuku itu sukanya daun tua, bukan daun muda. Lucu ya, kalau kita mengenangkan masa kecil.

Nah, di sinilah kampungku berada. Dari pertigaan itu ke kiri masuk di tengah perkampungan lama sejak Dusun Susuru ada. Kalau ke sebelah kanan juga masuk perkampungan yang merupakan perluasan dari kampung lama. Sepertinya kita masuk di Old Yerusalem dan New Yerusalem. Nah, rumahku berada di Yerusalem baru, maksudku Susuru baru. Wilayah perluasan karena penduduk makin padat. Dahulu orang tuaku memutuskan berpindah dari rumah kami, tempat aku dan sepupuku memutilasi Si Tioh itu. Nama wilayah perluasannya disebut Blok Lempong Tajug. Jadi rumah Teh Enung Martina berada di Lempong Tajug. Di seantero kampung pasti sangat tahu siapa itu Teh Enung karena semua penduduk di kampungku ada hubungan saudara. Begitulah hidup di dusun. Di rumah kami sekarang tinggallah ibuku dan ayah tiriku, yang aku panggil Mamang.

Jadi yang mau mampir ke rumah, kami persilakan dengan senang hati. Jangan lupa membawa oleh-oleh, begitu pesan ibuku, yang biasa dipanggil Nini Enung atau Ninung. Jangan heran kalau siang hari di bawah jam 14, biasanya rumah dalam keadaan kosong karena ibuku akan melawat kebunnya dan tanamannya. Sekarang beliau sudah tua, sudah tak kuat lagi bekerja keras. Orang upahan saja yang menggarap tanah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar