Minggu, 02 Mei 2010

CATATAN TENTANG YERUSALEM BAGIAN II

YERUSALEM 2
Mitologi tidak pernah dibuat untuk mendeskripsikan peristiwa-peristiwa yang secara historis bisa diverifikasi bahwa ia benar-benar terjadi. Ia merupakan upaya untuk mengekspresikan signifikasi batin atau untuk memberikan perhatian pada realitas-realitas yang terlalu eksklusif untuk didiskusikan dalam cara yang secara logis koheren.

Mitologi didefinisikan sebagai bentuk kuno dari psikologi karena ia mendeskripsikan jangkauan-jangkauan batin diri yang begitu misterius tapi mempesona untuk kita. Dengan demikian mitos tentang geografis sakral mengekspresikan kebenaran-kebenaran mengenai kehidupan batin. Mereka menyentuh sumber-sumber yang sulit diketahui dari kesakitan dan hasrat manusia. Dengan demikian dapat membangkitkan emosi-emosi yang kuat.

Persoalan Jerusalem mudah meledak karena kata itu telah memperoleh status mistis. Masa kini, orang-orang dari kedua belah pihak yang berkonflik tentang jerusalem (dalam komunitas internasional) sering menyerukan perdebatan yang rasional mengenai hak-hak dan kedaulatan, yang bebas dari semua friksi emosi.

Namun, tidak cukup hanya dengan menyatakan bahwa kita harus mengesampingkan kebutuhan kita akan mitologi. Di masa lalu orang sering berusaha untuk menghapuskan mitos dari agama. Para nabi dan reformis Israel kuno, misalnya sangat mudah untuk memisahkan iman mereka dengan mitologi orang Kanaan asli. Namun, mereka tidak berhasil. Cerita-cerita dan legenda lama muncul lagi dengan kuat dalam mistisme Kabbalah. Suatu proses yang dilukiskan sebagai kemenangan mitos atas bentuk-bentuk agama yang lebih rasional. Dalam sejarah Jerusalem, kita akan melihat bahwa orang secara naluriah berpaling terhadap pada mitos ketika kehidupan mereka sangat terganggu dan mereka tidak dapat menemukan pelipur lara dalam ideologi yamg lebih rasional.

Kadang-kadang peristiwa luar tampaknya sangat sempurna mengekspresikan realitas batin sehingga peristiwa-peristiwa tersebut cepat memperoleh status sebagai mitos dan mengilhami letupan antusias me-mitologis.
Istilah lain yang harus dipertimbangkan dalam mengenali sejarah Jerusalem adalah simbolisme. Dalam masyarakat yang berorientasi ilmiah, kita tidak lagi berpikir secara alamiah dalam dalam tema citra dan simbol. Kita cenderung mengatakan ‘hanyalah sebuah simbol’ yang secara esensial terpisah dari realitas yang lebih misterius yang diawali oleh simbol itu. Tidak demikian dalam dunia pramodern. Sebuah simbol dilihat sebagai bagian dari realitas yang disimbolkan. Sebuah simbol agama, dengan demikian memiliki kekuatan untuk memperkenalkan penyembahnya kepada yang sakral.

Sepanjang sejarah, yang sakral tidak pernah dialami secara langsung, kecuali oleh segelintir orang yang luar biasa. Yang sakral selalu dirasakan dalam sesuatu di luar dirinya sendiri. Dengan demikian tuhan dialami dalam diri manusia laki-laki dan perempuan. Yang sakral juga dialami dan ditemukan dalam teks suci, kode, hukum, dan doktrin.

Salah satu simbol ilahi yang paling awal dan ada di mana-mana ialah: tempat. Orang merasakan yang sakral di gunung-gunung, pohon, kota, bangunan, dll. Ketika mereka berjalan ke tempat ini, mereka merasaikan bahwa mereka telah memasuki sebuah dimensi yang berbeda, yang terpisah, tetapi juga terpaut dengan dunia fisik yang biasa mereka tempati.

Bagi orang Yahudi, Kristen, dan Islam, Jerusalem adalah simbol ilahi semacam itu. Hal ini bukan sesuatu yang terjadi begitu saja secara otomatis. Begitu suatu tempat telah dialami sebagai tempat yang sakral dengan cara tersendiri dan terbukti mampu memberi seseorang akses kepada yang ilahi. Para penyembah mencurahkan energi kreatif yang besar untuk membantu orang lebih mengembangkan perasaan transendensi ini. Kita sering melihat bahwa aritek candi, gereja, mesjid, kuil, memiliki nilai penting simbolis, yaitu sering memetakan perjalanan batin yang harus dijalani peziarah untuk mencapai Tuhan.

Liturgi dan ritual juga memperbesar perasaan akan ruang sakral. Akan lebih akurat untuk melihat liturgi sebagai suatu bentuk teater yang dapat memberikan pengalaman yang kuat akan yang transenden, bahkan dalam konteks yang seepenuhnya sekuler. Di barat, drama memiliki asal-usul dalam agama, misalnya dalam festival-festival sakral di Yunani Kuno dan perayaan paskah di Gereja Katedral Eropa abad pertengahan.
Demikian mitos-mitos juga dirancang untuk mengekspresikan makna batin Jerusalem dan berbagai tempat suci lainnya. Salah satu mitos adalah apa yang mendiang sarjana rumania – amerika, Mercia Eliade menyebutkan bahwa mitos sebagai kepercayaan abadi yang ditemukan hampir ada pada setiap kebudayaan.

Menurut cara berpikir ini, semua objek di bumi memiliki padanannya di alam ilahi. Orang dapat melihat mitos ini sebagai suatu usaha untuk mengungkapkan perasaan bahwa kehidupan kita di dunia ini adalah tidak lengkap dan terpisah dari eksistensi di tempat lain yang jauh lebih penuh dan lebih memuaskan.

Semua aktivitas dan keterampilan manusia juga memiliki prototipe ilahi. Dengan menirukan tindakan yang ilahi, orang mengalami kehidupan ilahi. Imitatio Dei. Hal ini masih terlihat sampai hari ini. Contohnya, orang masih beristirahat pada hari Sabath dan makan roti dan minum anggur di Gereja. Tindakan ini menjadi memiliki makna dalam diri seseorang karena mereka percaya bahwa Tuhan pernah melakukan hal yang sama.

Ritual-ritual di tempat suci merupakan cara simbolik lain meniru yang ilahi. Untuk memasuki kehidupan yang ilahiah, lebih penuh dengan cara mengadakan ritual. Hal yang sama juga penting bagi pemujaan terhadap kota suci. Kota suci dapat dilihat sebagai replika rumah para dewa, para suci, yang ilahi, di surga. Sebuah kuil dianggap sebagai reproduksi dari istana yang ilahi dan surga. Dengan meniru arketipe langitnya dalam bentuk sekecil apa pun, berarti kuil dapat juga menjadi rumah Tuhan di bumi.

Namun, bila dilihat dari sorotan dingin modernitas yang rasional, mitos-mitos semacam itu tampak menggelikan. Dalam agama, pengalaman selalu datang sebelum penjelasan teologis.

Orang pertama-tama merasakan bahwa mereka telah memahami yang sakral di sebuah hutan atau puncak gunung. Mereka kadang-kadang mencapai hal semacam itu dibantu oleh peralatan estetis arsitektur, musik, dan liturgi yang mengangkat mereka melampaui diri mereka sendiri. Mereka kemudian berusaha untuk menjelaskan pengalaman ini dalam simbol-simbol geografis sakral. Jerusalem menjadi salah satu lokasi yang dirasa bisa mewakili hal di atas bagi Yahudi, Krisetn, dan Muslim karena dirasa bisa mengantarkan mereka kepada Tuhan.

Praktik agama sangat berkaitan dengan praktik seni. Baik seni maupun agama berusaha untuk mengekspresikan perasaan tertinggi tentang sebuah dunia yang tragis dan cacat. Agama berbeda dari seni karena ia mempunyai dimensi etis. Agama bisa dilukiskan sebagai estetika moral. Ia tidak cukup untuk mengalami yang ilahi atau yang transenden. Pengalaman itu harus diwujudkan dalam perilaku kita terhadap orang lain. Semua agama besar bersikukuh bahwa ujian atas spiritualitas sejati ialah kasih sayang yang dibuktikan dalam praktik. Budha pernah berkata bahwa setelah mengalami pencerahan, orang harus meninggalkan puncak gunung dan kembali ke pasar. Di sana ia akan berbuat kebaikan bagi semua mahluk hidup.

Erat sekali dengan pengultusan jerusalem sejak awal yaitu nilai pentingh kedermawanan yang efektif dan keadilan sosial. Kota ini tidak bisa dianggap suci kecuali ia mampu memberikan keadilan dan kasih sayang kepada yang miskin papa. Tetapi sayangnya imperatif moral ini sering diabaikan oleh para penguasa. Justru sebagian dari kekejaman terburuk terjadi ketika orang-orang lebih mengutamakan kesucian Jerusalem dan hasrat untuk memperoleh akses kepada kesuciannya yang agung daripada pencarian keadilan dan amal nyata.

Semua peristiwa penting terkini memainkan peranan dalam sejarah panjang Jerusalem yang penuh pergolakan. Masih menjadi kebenaran yang tetap berlaku tatkala kita menengok ke belakang pada sejarah panjang Jerusalem, bahwa masyarakat yang telah tinggal di sana paling lama, umumnya adalah mereka yang bersedia untuk hidup menuju semacam sikap toleransi dan hidup berdampingan di kota suci. Sikap toleransi sudah pasti menjadi satu-satunya cara menghormati kesucian Jerusalem pada hari ini, daripada pertempuran sia-sia yang membabi buta demi kedaulatan dan kemenangan total.

catatan sesudah membaca buku Yerusalem Satu Kota Tiga Iman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar