Minggu, 13 Maret 2016

Artikel tentang Theologi Tubuh

File:Sacro Monte di Varallo-Cappella I-Il peccato originale

Ketelanjangan Asali (Original Nakedness)

Kejadian 2:25: …Mereka, keduanya telanjang, manusia dan istrinya itu, tapi tidak merasa malu”.
Berbicara tentang ketelanjangan asali menghubungkan dengan topik Teologi Tubuh yang diungkapkan oleh Paus Yohanes Paulus II.  Gagasan teologi tubuh lahir dari audensi Paus setiap hari Rabu dari tanggal 5 September 1979 – 28 Nopember 1984. Yohanes Paulus II mengajak kita untuk  kembali merefleksikan makna memiliki tubuh. Beliau menyerukan kepada dunia agar memaknai kembali secara benar arti tubuh dan seksualitas yang dimiliki manusia. Gagasan ini terkait erat dengan situasi dan kondisi zaman saat itu dan juga saat ini yang menggiring mayoritas manusia untuk menjadikan tubuh dan seksualitas sebagai sarana untuk memuaskan keinginan daging, bukan untuk menghayati kebebasan sejati manusia sebagai citra Allah.

Dua konsep kunci pada ayat di atas  yang direfleksikan Yohanes Paulus II  yakni telanjang dan tidak merasa malu. Meskipun dalam keadaan telanjang manusia pertama tidak merasa malu satu terhadap yang lain. Sikap ini tumbuh karena satu sama lain melihat tubuh mereka sebagai subjek yang harus dihargai.  Bahwa dalam keadaan ini setiap pribadi memberikan diri dalam cinta dengan penuh kejujuran.

Ketelanjangan adalah situasi yang memungkinkan manusia melihat tubuh sebagai sesuatu yang suci dan murni. Inilah yang terjadi pada manusia pertama bahwa meskipun mereka telanjang, mereka tidak merasa malu. Dalam bahasa Yohanes Paulus II ketelanjangan tersebut adalah sebuah perayaan kemanusiaan yang pertama. Dalam ketelanjangan nilai tubuh dirayakan secara agung dan ilahiah.
Tubuh yang telanjang punya arti asali dan mendasar yakni panggilan untuk saling mencintai. Tak adanya rasa malu sebenarnya menunjukkan kepenuhan dan kematangan mereka sebagai pribadi; memperlihatkan juga kemurnian hati dan cinta mereka yang tidak saling melihat diri sebagai objek untuk digunakan, melainkan sebagai anugerah. Adam dan Hawa saling melihat diri mereka dengan ‘mata Tuhan’ yang melihat segala sesuatu baik adanya.

Jika kita melihat struktur tubuh manusia sudah terdapat semacam cetak biru/blue print relasi. Tegak berdiri, tangan membentang dari luar ke dalam untuk merangkul dan memeluk, mata di bagian atas untuk melihat dengan jangkauan /dimensi yang luas, dua telinga untuk mendengarkan, mulut yang siap berbicara yang baik, dan struktur bibir untuk tersenyum. Ketelanjangan susah dipahami di luar konteks relasi cinta manusia yang satu dengan manusia yang lain.
Ketika saya memandikan ketiga anak saya kala mereka kecil, mereka tidak malu karena mereka  mengerti saat dimandikan ibu, yakni ada ada kepercayaan penuh bahwa mereka tidak pernah dijadikan obyek tapi dicintai dan diterima tanpa syarat. Mereka mempercayai saya sebagai ibunya.

Asal Muasal Rasa Malu
Dengan kebebasannya, manusia bisa mencintai sekaligus menolak Allah pada saat yang sama. Tuhan sedemikian mencintai manusia hingga memberikannya kebebasan seperti itu. Jatuhnya Adam-Hawa dalam dosa tidak lepas dari kebebasan yang dimiliki keduaya. Mereka memilih untuk melanggar dan menolak Allah dengan makan buah terlarang. Mereka tidak menghendaki Allah campur tangan dalam hidupnya. Pilihan inilah yang akhirnya membuat dia serta merta bersembunyi ketika Tuhan datang.

“Aku takut dan bersembunyi karena aku telanjang”, demikian kata Adam ketika mendengar Tuhan mendatanginya. Karena pilihan inilah Adam tidak lagi melihat dirinya sebagai partner atau rekan Allah, tetapi lebih sebagai objek dari Allah. Ia mulai takut, khawatir kalau-kalau Tuhan akan menghukumnya. Ia mulai melihat dirinya sebagai objek yang siap dikuasai. Dan pada saat yang sama pula ia mulai melihat Hawa sebagai objek yang bisa digunakan.


Yohanes Paulus dalam Theology of Body dengan sangat mengagumkan menulis:
“Kata-kata dalam Kejadian 3:10 (Aku takut karena aku telanjang, dan aku bersembunyi) langsng menunjukkan perubahan radikal tentang arti ketelanjangan asali. Ketelanjangan yang pada mulanya berarti positif sebagai pengungkapkan penuh penerimaan akan tubuh dan seluruh pribadi manusia sekarang berubah menjadi negatif yakni menjadi nafsu.”


Akibat nafsu itulah manusia menjadi malu (shame) dengan dirinya dan tubuhnya sendiri, dan mulai melihat tubuh yang lain sebagai objek pemuasan kebutuhan seksualnya. Nafsu birahi yang menyatu dengan rasa malu dan menjadi impuls atau dorongan untuk menguasai yang lain sebagai obyek, bukan lagi sebagai partner dan pribadi yang diterima dan dicintai secara penuh. Di pihak lain, rasa malu juga mengandung hal positif yakni kebutuhan untuk self-protection , tidak dilihat dan digunakan orang lain sebagai objek.



Tubuh adalah sarana pengungkapan kehadiran manusia yang paling nyata dan konkret. Melalui tubuhnya seseorang menyatakan kepada sesama tujuan, arti dan makna hidupnya di dunia. Boleh dikatakan bahwa tubuh adalah sebuah komunikasi/ pengungkapan diri yang paling mudah dibaca. Dengan demikian memahami tubuh berarti secara perlahan masuk dalam inti diriku sebagai pribadi dan juga orang lain. Saya bisa mengenal orang lain dan juga diriku sendiri melalui pengungkapan tubuh. Seluruh kedirian seseorang menjadi nyata melalui tubuhnya.
Ajakan Paus Yohanes Paulus II kepada anak muda untuk mencintai tubuhnya adalah agar manusia menghargai dirinya sebagai pribadi yang dicintai Allah. Allah yang telah menciptakan manusia dengan seluruh diri-Nya dan kebaikan-Nya itu perlu disadari oleh siapa pun agar bangga terhadap tubuhnya itu karena tubuh adalah Bait Allah.
(Ch. Enung Martina)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar