Minggu, 27 Maret 2016

REFLEKSI JUMAT AGUNG: ENERGI CINTA


Tri Hari Suci 2016 ini dilalui bersamaan dengan menikmati batuk yang tak kunjung sembuh. Setiap saat diisi dengan mingsrek-mingsrek menyedot ingus/dahak dan mengeluarkannya, tapi kadang menelannya. Repot dah. Batuk kali ini dimulai dari Abhimanyu, si bungsu. Karena sering begadang terbangun memperhatikan dia, akhirnya inangnya juga terterobos oleh virus batuk.

Jumat Agung mengikuti Ibadat Penghormatan Salib di Gereja Santo Ambrosius, Vila Melati Mas. Sejak pukul 13.00 hari mendung dan disempurnakan dengan gerimis yang mengundang rasa yang biru. Berangkat 1 jam sebelumnya, tetapi sudah tak mendapat tempat incaran: kursi di dalam ruangan yang nyaman dengan angin cepoy-cepoy (AC). Eh, ternyata kami tidak beransib mujur. Ruangan dalam gereja atau pun aula sudah penuh tak ada tempat. Akhirnya duduk di bangku bakso di selesar atas dengan panorama samping Gereja HKBP. Lumayanlah ada angin yang semilir dan ada jemaat HKBP yang hilir mudik di jalan mereka. Sehingga kami sering bertatapan dengan saudara satu iman dalam Kristus, tetapi berbeda gedung ibadat itu. Namun, kami tetap satu dalam Kristus.

Meski duduk kami sekeluarga terpencar, tetapi tak menghilangkan kekhidmatan mengikuti prosesi ini. Sejam menunggu untuk masuk dalam prosesi bukan waktu yang singkat. Terutama untuk anak berusia 5 tahun yang duduk 10 menit saja merupakan perjuangan. Ibu cerdas tak kalah akal, bawalah kertas bekas sebanyak mungkin, bawa sidol, pinsil warna, gunting, dan seperangkat kartu boboboi. Semua orang menanti, si bocah superaktif duduk delosor di bawah kursi asyik menggambar aneka karekter dari zombi hingga robot. Saat prosesi akan dimulai, si bocah sudah bosan dengan aktivitasnya. Dia mulai bertanya : Sudah mau pulang kita, Bu? Waduh, baru akan mulai, Nak. Dia mulai resah dan mengeluh: Aku pegal ni. Mataku gatal ni. Dan aneka keluhan lain. Dia mulai bersandar ke pundak, mata mulai sayu. wah pertanda.... kantuk tiba. Begitu prosesi doa pembukaan mulai dia sudah duduk manis dengan mata terpejam. Akhirnya keadaan memaksa  sang ibu untuk duduk menyedikan pangkuan untuk bantal si bocah. Sepanjang prosesi sabda yang panjang dalam pasio yang indah dia tertidur. Sabda digelar, kantuk pun datang. Sang ibu harus mempertahankan posisi duduk agar buah hati bisa nyaman tidur. Prosesi sabda selesai, tiba prosesi cium salib. Untunglah si bocah sudah bangun. Dengan segar dia sudah siap mengalami pengalaman mencium Kaki Yesus.

Malam tiba. Hidung masih mampet, dada terasa sesak, tulang iga terasa sakit, dan kepala pusing, tetapi kantuk tak kunjung datang. Teringat sebuah kutipan film Sun Go Kong: kalau mau tidur berdoa saja. Maka jadilah saya duduk manis di kursi dengan posisi meditasi Zen Qi Sirkulasi, duduk tegak tanpa bersandar, tangan terkatup di pangkuan, lidah menyentuh langit-langi dengan lafal L, kemudian mingkem. Meditasi diawali dengan doa Aku Percaya, dan dilanjutkan dengan merafalkan Bapak Kami secara lambat dan perlahan.

Semenit, lima menit, 15 menit. Mulai terasa reaksi badan hangat, dada terasa sesak, punggung pegal dan hangat, kepala terasa pening. Sensasi ini berlanjut hingga 15 menit kemudian. Pada menit ke-30 lebih mulailah . Dalam setiap meditasi ini, saya biasanya tak pernah ada ujud doa tertentu. Pada meditasi malam kali ini pun tidak.

BTW, sekedar memberitahu, saya belajar meditasi ini berawal dengan tujuan untuk menjaga stamina tubuh agar tetap bugar. Namun, dalam perjalanan latihan ternyata sampai pada yang agak-agak spiritual. saya juga tidak mengerti kok bisa begitu. Tadinya saya mengikuti Bob, suami saya yang mengikuti pelatihan meditasi ini secara intensif dengan suhu yang handal tentunya. Lama lama saya menjalankan latihan ini dan ‘nagih’.

Pada menit ke-30 menit lebih ini biasanya saya sudah mengalami sensasi yang tak akan sama pada setiap meditasi. Mediatasi kali ini mula-mula saya mengingat peristiwa Prosesi Jumat Agung yang sore tadi saya ikuti sperti cerita di atas. Namun, lama-lama lokasi jadi berpindah menjadi ke lokasi di Israel sana yang pernah saya kunjungi tahun 2007 silam. Dalam visual itu saya melihat jalan yang dilaluinya adalah lorong-lorong pasar yang menuju Bukit Golgota. Lalu muncul salah satu adegan film Passion of The Christ yaitu saat  Yesus disesah dengan cambuk dengan seluruh bilur luka di punggungnya yang mengeluarkan tetesan darah tak terhingga sehingga seluruh punggung rembes dengan darah segar yang terus menetes. Lantai tempat Dia disesah belepotan dengan darah dan pecut yang dipakai menyesah menyisakan cabikan kulit dan goresean daging yang terobek. Adegan film itu begitu hidup saya lihat. Dengan sendirinya saya menangis. Prosesi terus berjalan mengikuti adegan menuju puncak bukit temapat yang dipilih untuk menyalibkan-Nya. Lantas saya teringat saya berlutut di bukit itu di bawah reflika kayu salib yang posisinya di tengah yang diapit oleh dua salib lain di kiri kanannya. Kala itu saya hanya bisa menangis dan tak sepatah kata pun doa keluar dari mulut saya. saya hanya merasa sangat tak layak dan merasa sangat dikasihi. Itu saja perasaan saya. Lantas saya teringat saya turun ke gua yang berfungsi sebagai amkam tempat menguburkan tubuh-Nya. Saya amsih ingat betapa panjang antrian ke gua itu. Tiba giliran saya untuk amsuk ke dalam gua itu. Di sana ada seorang penjaga bertubuh tinggi besar dengan muka brewokan dan jauh dari ramah. Jubahnya yang berwarna coklat kehitaman menyentuh lantai. Saya menduga mungkin dia biarawan Fransiskan.  Dengan tegas ia mengatur semua peziarah mengantri untuk masuk ke bilik tempat tubuh dibaringkan. Saya masuk ke bilik itu dan melihat ada segulung kain kafan terumbruk di situ sebagai reflika adegan bahwa tubuh-Nya sudah bangkit. Sama di gua ini pun saya tak bisa berdoa apa-apa karena ada keharuan yang memuncak pada diri saya. Ketika saya berlutut dan mendekatkan bibir saya ke reflika kain kafan yang dilapisi kaca itu, saya hanya berucap lirih ‘terima kasih’.

Begitu kejadian itu berputar dalam ingatan saya. Lantas dalam meditasi ini otak waras saya bertanya jadi mengapa Dia melakukan itu semua? Meski saya tahu jawabannya karena sudah didoktrin oleh guru agama dan juga cerita dari Kitab Suci. Namun, pengetahuan sebatas otak  saja tidak cukup kalau belum sampai ke hati. Saya melanjutkan pertanyaan itu. Dan muncullah suatu jawaban yang sama dengan pengetahuan otak selama ini: karena Cinta yang besar. Lantas bergerak lagi kata-kata itu dan saya melihat bahwa cinta itu adalah energi yang super besar yang tidak merusak atau menghanguskan, tetapi kebalikannya menghidupkan dan menumbuhkan. Lantas visual saya melompat ke pemandangan ada poros saeperti roda bermesin yang bergerak melingkar mulai pelan makin lama makin cepat, cepat, dan sangat cepat hingga gerakannya tak lagi nampak. Roda itu tak pernah berhenti berputar, tetapi tak seorang pun menyadarinya. Itulah putaran energi cinta-Nya yang tak terlihat, tak terasa, tetapi ada dan tak pernah berhenti. Lantas saya melihat peta hidup saya. saya melihat saat saya sekolah dengan segala perjuangan saya dan kerja keras orang tua. Saya melihat energi cinta mereka pada saya begitu besar sehingga menumbuhkan semangat saya untuk belajar dan menghidupkan pula energi cinta dalam diri saya untuk mencintai mereka dan keluarga dan ingin ikut membahagiakan mereka dengan belajar yang baik hingga saya berhasil. Energi cinta itu membuat saya tak pantang menyerah dalam perjuangan kala saya sekolah mulai dari SMP negri di kota kecamatan kecil, Panawangan, kemudian berlanjut energi cinta itu membawa saya ke SPG Santa Angela Bandung, dan kemudian mendamparkan saya skuliah di Kota Gudeg. Pada setiap etape pendidikan say energi cinta itu tersebar melalui orang-orang yang membentu saya, teman, saudara, ibu kost, para pendidik, para suster pembimbing, Yayasan Salib Suci yang memberi beasiswa kepada saya, Pastor Gandhi OSC (kakak sepupu saya yang sekaligus guardian angel saya), Pastor Rojakers OSC, penyalur dana dari OSC, dan banyak lagi orang-orang yang menjadi saluran energi cinta Tuhan untuk saya.

Saya melanjutkan permenungan saya ke dalam dunia perkawinan saya yang sekarang sudah berumur 27 tahun ini. Saya melihat begitu banyak suka duka yang dilalui bersama pasangan. saya melihat energi cinta yang membuat saya mampu melaluiberbagai peristiwa, tantangan, rintangan dalam rumah tangga saya. Energi cinta itu yang membuat saya bisa berjuang untuk pendidikan anak-anak saya. Energi cinta yang besar yang membuat semuanya terasa membuat saya takjub tak berkesudahan atas eajaiban yang dibuat-Nya dalam hidup saya.

Permenungan itu terus berlanjut dengan 3 buah hati yang dikaruniakan kepada saya. Saya melihat mereka bertumbuh dalam energi cinta yang mengelilingi mereka. Dengan energi cinta mereka bertumbuh, berjuang, berusaha, belajar, dan mendapat beberapa keberhasilan dalam hidup mereka yang besar ataupun yang kecil. Semuanya karena ada energi cinta pada mereka dan juga pada kami orang tuanya juga orang-orang di sekitar mereka yang mempunyai kehendak baik.

Ketika saya melihat bahwa saya masih sering mengkuatirkan hal-hal yang belum terjadi,  sebenarnya itu kesia-siaan. Energi cinta cukup untuk membuat saya tidak perlu kuatir. Energi cinta menjadi suatu garansi akan janji Tuhan kepada saya. Energi cinta menjadi bukti bukan hanya sekedar janji para politikus dalam kampanye mereka. Energi cinta itu bersumber dari Sang Cinta itu sendiri yang rela mennumpahkan darah-Nya untuk saya dan semua manusia serta seluruh jagat raya ini demi tercapai kedamaian di dunia dan hati setiap orang. Sang Cinta yang tangan-Nya terentang antara langit dan bumi. Kurang apa lagi?
(Ch. Enung Martina, Sabtu Suci, 26 Maret 2016)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar