(Danau Garda, Italia)
Kita manusia ciptaan Allah yang memiliki tubuh yang dibatasi
ruang dan waktu. Manusia adalah kesatuan antara tubuh dan jiwa yang memberi
hidup. Arah tujuan hidup kita digerakkan oleh dorongan roh. Roh baik membimbing
kita pada Allah sebagai tujuan akhir, sedangkan roh jahat membelokkan arah
tujuan hidup kita. Untuk mengenali roh
baik dan jahat itulah kita memerlukan waktu menyendiri dan mengheningkan diri.
Retret merupakan salah satu latihan rohani untuk mengenali kedua roh tersebut.
Pada saat retret kita memerlukan keheningan diri, keterbukaan
akan Kasih Allah, kerja sama dengan manusia juga Allah, serta juga memerlukan
kedisipilan diri dalam melakuakan berbagai latihan di bawah bimbingan.
Situasi yang harus kita bangun pada saat retret adalah sikap batin berjiwa
besar untuk mengakui beberapa kekurangan dan kelemahan, serta rela berkorban untuk membuang hal-hal
yang selama ini sudah melekat ternyata tidak membawa pada kebaikan. Keterbukaan
hati diperlukan untuk membiarkan Allah membimbing kita seperti seorang guru
yang membimbing muridnya. membiarkan diri mempunyai kesadaran akan kegiatan
yang dilakukan dengan meninggalkan rutinitas, membiarkan diri tenang dan dalam
suasana istirahat. beretret merupakan situasi liburan. Berlibur bersama Tuhan.
Bukan seberapa banyak berlimpahnya pengetahuan yang diperoleh
dalam retret, melainkan lebih penting merasakan dan mencecap kebenaran yang
memperkaya jiwa. Tidak dalam rangka
mengejar banyaknya materi yang sudah dirancang, melainkan kedalaman refleksi
yang utama. Karena itu untuk masuk ke kedalaman memerlukan silensium. Diam.
Hening agar kita berjumpa dengan diri kita dan Tuhan.
Salah satu latihan dal;am retret adalah meditasi. Latihan
meditasi merupakan proses untuk masuk pada keheningan menuju kedalaman. Latihan yang digunakan dengan meditasi cara
Ignatius dari Loyola yang mempunyai 4
tahapan. Meditasi ini dibawa pada satu fokus dari teks Kitab Suci.
Tahapan pertama kita mengenali dahulu pokok-pokok bacaan yang
biasanya ada 3 pokok. Pokok pertama pada pengenalan-pengantar, pokok kedua ada
permasalahan atau pergumulan, pokok ketiga ada situasi ideal yang dikehendaki
Allah. Tahapan yang kedua ada percakapan
imajinatif antara diriku dengan Tuhan melalui kata-kata / ayat dalam
pokok-pokok-pokok di atas. dalam pokok ini ada perjumpaan antara diriku dengan
Tuhan. Tahapan ketiga adalah memahami dan merefleksikan perjumpaan tadi dengan
hidupku. tahapan yang keempat mencacatkan buah-buah yang kudapatkan dalam
proses bermeditasi.
Permenungan dari Kejadian 6: 9-22 (Riwayat Nuh)
Hasil Meditasi Diriku:
Tahap I: Menghidupkan kembali teks Kitab Suci dalam 3 pkok. Pokok 1, Kejadian 6: 9: Nuh adalah
seorang yang benar dan tidak bercela di antara orang-orang sezamannya; dan Nuh
itu hidup bergaul dengan Allah. Pokok
2, Kejadian 6: 13: Aku
(Allah)telah memutuskan untuk mengakhiri hidup segala mahluk, sebab
bumi telah penuh kekerasan oleh mereka, jadi Aku akan memusnahkan mereka
bersama-sama dengan bumi. Pokok 3 Kejadian
6: 18: tetapi dengan engkau (Nuh) Aku
akan mengadakan perjanjian-Ku, dan engkau akan masuk ke dalam bahtera itu:
engkau bersama-sama dengan anak-anakmu dan istrimu dan istri anak-anakmu.
Tahap II Percakapan imajinatif: Dalam tahap ini saya
mengalami imajinasi tentang sebuah kapal pesiar besar bercat putih yang sedang
berlabuh. Imajinasi saya hanya sebatas
bentuk luar kapal tersebut. Saya tidak melihat dalamnya. Gambaran berikutnya
muncul di dalam kapal Tanjung Kambani. Sekedar tahu, Tanjung Kambani itu sebuah
kapal perang milik TNI ALRI. Gambaran ini muncul karena saya pernah menginap di
dalam kapal ini dan berjalan di seluruh bagian kapal ini, kecuali gudang
senjatanya. Lalu gamabaran berikutnya
muncul seorang laki-laki Yahudi berusia anatara 50-60 tahun dengan
janggut rapi yang di antara janggut itu sudah muncul beberapa uban. Ia
berperawakan tinggi, besar, tidak gemuk, tetpi tegap, berkulit agak kemerahan
seperti pada umumnya orang Yahudi. Rupanya itu gambaran Nuh.
Dalam tahapan ini saya mengingat bahwa sebetulnya saya pernah
membayangkan kalau saya hidup pada zaman Nuh atau kebalikannya, Nuh hidup di zaman
saya, saya merasa jatuh cinta dengan
Nuh. Lantas saya mengingat ada sebuah cerpen yang saya buat terinspirasi karena
kisah Nuh. Cerpen ini mendapatkan juara harapan II ketika saya lombakan dalam
sebuah perlombaan menulis cerpen tingkat dewasa.
Persepsi yang terhubung dalam otak kanan saya saat tahapan
ini adalah: Nuh orang yang dekat dengan Allah, sudah pasti hidupnya
selaras/seimabng secara horisontal (sesama) dan vertikal (Tuhan). Saya melihat
Nuh adalah seorang yang kaya. Ia mempunyai banyak teman dan kolega. Meskipun
teman dan koleganya berbeda gaya hidupnya dengan Nuh, tetapi ia tetap bekerja
sama dalam hal bisnis dengan mereka. Saya membayangkan Nuh orang kaya karena
ketika Tuhan menyuruh dia membangun bahtera bertingkat 3 yang itu artinya
bahtera besar dan pastinya perlu biaya banyak, Nuh melakukannya dan selesai
membangunnya. Imajinasi saya berlanjut
bahwa saat pembuatan bahtera itu, Nuh mendapat
pertanyaan dan cemoohan dari orang-orang sekitarnya. Nuh seorang yang
bermental baja. Ia lelaki yang kuat mental. Ia percaya pada janji Allah yang
akan menyelamatkan dia dan keluarganya. Nuh yakin Allah mempunyai proyek besar
dalam hidupnya dan pasti akan menggenapi.
Tahap III, kontekstual dengan hidup saya: Allah juga
mempunyai janji kepada saya. Allah menjanjikan rancangan damai sejahtera dan
keselamatan un tuk saya. Allah juga memberikan proyek besar dalam hidup saya.
Proyek itu adalah panggilan hidup saya sebagai seorang guru di St. Ursula BSD,
sebagai seorang ibu dari 3 orang anak, dan memilih saya menjadi seorang Katolik
yang hidup di Indonesia.
Proyek ini dirasa penting bagi saya. Menjadi seorang guru
merupakan tantangan karena saya harus terus belajar dan harus menjadi model
bagi anak didik saya. Saya sudah 20 tahun menjadi guru di St. Ursula. Saya
mengalami refleksi yang panjang untuk sampai pada kesadaran bahwa menjadi guru
itu adalah proyek besar dalam hidup saya.
Demikian pula proyek menjadi ibu bagi 3 orang anak. Saya
sebagai seorang ibu tak pernah bersekolah bagaimana menjadi seorang ibu yang
baik bagi anak-anak saya. Saya merasa terkadang saya menjadi ibu yang buruk.
Untuk mendidik anak menjadi anak-anak yang berkareakter.
Tahapan keempat saya bertanya pada diri saya: Apa yang akan saya
lakukan untuk ke depan berkaitan dengan proyek Tuhan dalam hidup saya?
Pastinya saya akan berusaha sekuat tenaga untuk menjalankan
proyek Tuhan dalam hidup saya dan menyelesaikannya sampai dengan ketsudahannya.
Tuntas. Berhasil.
Sebagai guru saya benar-benar akan menikmati pekerjaan saya sebagai pendidik. Lima tahun ke depan saya sudah pensiun menurut aturan kepegawaian yang berlaku di yayasan tempat saya bekerja. Dengan begitu saya benar-benar akan menikmati menjadi guru ini dengan penuh gairah.
Proyek kedua saya sebgai ibu dari tiga anak. Kedua anak saya sudah bekerja, sudah besar. Namun, perjuangan mereka untuk meraih harapan, cita-cita, dan panggilan hidup mereka, tetap membutuhkan saya sebagai ibunya untuk menjadi pendukung meraka. Untuk anak bontot yang sekarang berada di kelas 1 SD, sudah jelas bahwa perjuangan saya masih panjang. Itulah alasan Tuhan membuat saya tetap sehat dan membuat saya tetap bersemangat.
Karena saya orang Katolik yang hidup di Indonesia tentunya bukan secara kebetulan. Saya dipanggil untuk menjadi seorang Katolik yang minoritas di negri saya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa menjadi minoritas itu bukan hal mudah. Namun, saya tetap akan setia pada panggilan saya sebagai orang Katolik dengan tantangan iman yang saya hadapi. Saya berusaha untuk bisa menggereja semampu saya. (Ch. Enung Martina)
Sebagai guru saya benar-benar akan menikmati pekerjaan saya sebagai pendidik. Lima tahun ke depan saya sudah pensiun menurut aturan kepegawaian yang berlaku di yayasan tempat saya bekerja. Dengan begitu saya benar-benar akan menikmati menjadi guru ini dengan penuh gairah.
Proyek kedua saya sebgai ibu dari tiga anak. Kedua anak saya sudah bekerja, sudah besar. Namun, perjuangan mereka untuk meraih harapan, cita-cita, dan panggilan hidup mereka, tetap membutuhkan saya sebagai ibunya untuk menjadi pendukung meraka. Untuk anak bontot yang sekarang berada di kelas 1 SD, sudah jelas bahwa perjuangan saya masih panjang. Itulah alasan Tuhan membuat saya tetap sehat dan membuat saya tetap bersemangat.
Karena saya orang Katolik yang hidup di Indonesia tentunya bukan secara kebetulan. Saya dipanggil untuk menjadi seorang Katolik yang minoritas di negri saya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa menjadi minoritas itu bukan hal mudah. Namun, saya tetap akan setia pada panggilan saya sebagai orang Katolik dengan tantangan iman yang saya hadapi. Saya berusaha untuk bisa menggereja semampu saya. (Ch. Enung Martina)