Selasa, 12 Juli 2016

Liburan 5: PAGODA EKAYANA


Pagoda setinggi 9 lantai membawa imajinasi ke film Sun Go Kong, kisah legenda Kera Sakti dari China. Pagoda ini merupakan  Vihara Buddhayana, sebuah tempat beribadah bagi Umat Budha. Suatu hal unik ditemukan, di tempat yang penduduknya kebanyakan beragama Kristen ada sebuah vihara yang megah. Keberadaan Vihara ini menggambarkan kerukunan antar umat beragama di Kota Tomohon.

Kami tiba di tempat ini pada saat hari masih pagi. Sejuknya Kota Bunga Tomohon menambah semarak pagi itu. Sepanjang perjalanan kami disuguhi dengan panorama alam yang indah dan asri.

Di hadapan kami berdiri megah dan anggun  Vihara Buddhayana yang sering disebut juga Pagoda Ekayana. Dari kompleks ini kita bisa melihat pemandangan Gunung Lokon. Om Boy menjelaskan bahwa Kota Tomohon memiliki empat buah gunung, dua di antaranya masih aktif, yaitu Gunung Lokon dan Gunung Mahawu. Gunung Lokon adalah gunung tertinggi di Kota Tomohon dengan ketinggian 1580 mdpl. Selain panorama gunung, hamparan hijau tanaman dan bunga-bunga juga melengkapi keindahan vihara ini.

Memasuki gerbang vihara, kami disambut dengan jejeran 18 patung Lohan atau Arhats, yaitu pengikut “delapan belas jalan” Buddha. Mereka adalah Pindola, Nantimitolo, Pantha the Elder, Angida, Asita, Rahula, Nagasena, Gobaka, Pantha the Younger, Fajraputra, Nakula, Bodhidarma, Vanavasa, Kanaka The Bharadavaja, Katika, The Vatsa, Nandimitra, dan Pindola the Bharadvaja. Begitu tulisan yang saya baca dari setiap patung yang ada di sana. Penjelasannya panjang. Kalau saya jelaskan nanti jadi pelajaran Agama Budha.

Nampaknya pengurus vihara memelihara seluruh bangunan dengan sangat baik. Mereka memahami bahwa selain untuk tempat ibadah, Vihara Buddhayana juga merupakan salah satu daya tarik pariwisata Kota Tomohon. Para wisatawan  yang datang bisa menikmati keindahan arsitektur seluruh bagian vihara dengan tetap menghormati keberadaan Vihara Buddhayana sebagai tempat ibadah.

Pengunjung diperbolehkan untuk memasuki beberapa ruangan. Saya memasuki 3 bangunan yang setiap ruangan tersebut menampilkan keindahan arsitektur Cina yang nenawan. Setiap ruangan yang saya masuki terasa hawanya adem, mak nyus. Selain karena udara sekitarnya sejuk, juga karena itu tempat berdoa sehingga menimbulkan aura doa. Setiap masuk ruangan saya berdoa sesuai denan iman saya. Saya beranggapan bahwa ketika masuk di tempat doa, ya pantaslah kalau kita berdoa.

Ketika memasuki bangunan pagoda utama yang bertingkat 9 itu, saya sangat terkesan. Pengunjung diperbolehkan menaiki setiap tingkatnya. Saya menaikinya hingga ke tingkat 9. Perlu dicatat tidak ada eskalator atau lift untuk menaiki tangga-tangga itu. Ya, rada ngos-ngosan juga pada usia oversek seperti ini. Bukan masalah capenya, tetapi kepalanya yang mumet lihat ke bawah, apa lagi saya fobia ketinggian. Namun, saya berperinsip kalau saya masih bisa saya harus mencobanya karena pasti ada makna yang saya dapatkan ketika melakukan itu. Pada tingkat ke-9, saya terpana melihat panorama dari ketinggian. Gunung Lokon yang menjulang dengan hamparan biru kehijauan di bawahnya. Luar biasa indahnya.
Saat berada di tingkat terakhir ini saya jadi ingat Legenda Ular Putih yang saya tonton beberapa puluh tahun lalu. Bai Su Zhen (Pai Su Chen) yang diperankan Angie Chiu, berusaha menaiki Menara Petir yang bertingkat sembilan untuk memenuhi persyaratan agar terjadi keseimbangan di dunia yang selama ini terjadi bencana (tidak seimbang) karena ulahnya menikah denagn manusia yang bernama Xu Xian (Shi Han Wen). Sambil tenguk-tenguk melihat keindahan alam dari tingkat 9 menara ini, saya membayangkan Mbak Pai Su Chen yang ayu itu.

Setelah puas menikmati keindahan dari puncak menara, saya turun. Di bawah saya lebih jeli memperhatikan deretan 18 patung yang saya sebut di atas. Ketika diperhatikan ada sesuatu yang menurut saya aneh. Semua patung dalam ruangan vihara itu patung berwajah Tionghoa, tetapi 18 patung di luar wajahnya bukan wajah China. Itulah keunukannya,  patung-patung Budha tadi berwajah  India. Patung Bodhidharma tersebut mengambarkan Buddha dengan jenggot yang sebenarnya khas India, bukan China.



Saya juga memasuki bangunan lain di samping pagoda, yaitu Istana Kwam Im. Di sini, bisa melakukan ramalan kuno Ciam Si. Ciam Si merupakan ramalan yang berdasarkan syair-syair kuno China. Beberapa batang bambu seperti sumpit lebar diletakkan dalam wadah bambu bulat. Masing-masing batang bambu berisikan nomor. Wadah bambu kemudian dikocok hingga mengeluarkan satu batang bambu. Dari nomor yang tertera di batang bambu, tinggal mencocokannya dengan kotak yang berada di sisi kiri dinding. Nah, di kotak tersebut kertas berisikan ramalan. Ramalan tertera dalam kanji-kanji khas tulisan China. Tetapi ada terjemahan dalam Bahasa Indonesia. Saya tidak melakukan ritual meramal ini. Bagi saya itu tidak penting. Saya lebih tertarik pada keindahan arsitektur bangunan dan patung-patungnya.

Bagi yang suka ramal-meramal, masih bisa melanjutkan ramalannya di bangunan samping Istana Kwan Im. Kita bisa berjalan  terus ke belakang vihara. Di sini kita bisa  berkenalan dengan kodok yang membawa koin, simbol dari keberuntungan. Di depan patung kodok raksasa terdapat kolam air. Di tengah kolam tersebut terdapat lonceng. Pengunjung dipersilahkan melempar koin ke lonceng. Jika lonceng terkena koin, konon doanya akan terkabul. Terdengar mudah? Nyatanya, terdapat replika koin China, koin kuno yang memiliki lubang di tengah, menghalangi lonceng ini. Koin replica raksasa tersebut berputar-putar mengelilingi lonceng. Sementara lonceng berada di tengah-tengah lubang koin. Di tepi kolam terdapat 5 bagian, yaitu “Bahagia”, “Harta”, “Panjang Umur”, “Kedudukan atau Pangkat”, dan “Keberuntungan”. Pengunjung tinggal mengambil posisi sesuai permohonan yang  dinginkan, lalu lempar koin ke arah lonceng. O, ya beberap teman berhasil, salah satunya Mama Tua: Ibu Maria!!!!

Begitulah perjalanan kami ke Pagoda nan menjulang itu! (Ch. Enung Martina)

https://www.youtube.com/watch?v=pT5bA6W1DJE



Tidak ada komentar:

Posting Komentar