Whiz Prime
Megamas Manado yang terletak di Jl. Piere Tendean Boulevard, Manado, Sulawesi
Utara merupakan hotel yang menjadi tempat penginapan kami. Kawasan Mega Mas ini merupakan kawasan hasil
reklamasi pantai yang dimulai sejak tahun 1996. kawasan ini sekarang menjadi kawasan bisnis
yang digunakan untuk pusat perbelanjaan, hotel, restoran, dan aneka tempat
hiburan.
Ketika
pemandu wisata menjelaskan bahwa kawasan ini merupakan hasil reklamasi, saya
jadi teringat tentang pro dan kontra reklamasi pantai di Teluk Jakarta. Karena
saya penasaran tentang reklamasi di Manado ini yang sekarang hasilnya sudah
menjadi bagian pusat kota ini, saya
akhirnya mencari beberapa informasi tentang reklamasi ini.
Pesatnya pertumbuhan penduduk di kota Manado tentu mendorong
pembangunan dan pengadaan lahan baru untuk dihuni maupun kebutuhan komersial.
Namun, dengan terfokusnya pembangunan pada satu daerah dan tidak meratanya
pembangunan di daerah lain pasti akan mendorong masyarakat untuk menetap dan
melakukan kegiatan perniagaan pada daerah yang dianggap sudah maju dan
menjanjikan. Hal inilah yang mendorong gencarnya pembangunan di daerah kota
Manado. Lalu bagaimana dengan luas wilayah kota Manado sendiri? Bukankah jika
pembangunan terus dilakukan justru akan berakibat pada berkurang atau bahkan
tidak tersisanya lahan untuk pembangunan? Dari hal inilah muncul “konsep
pembangunan ke depan” yang dinamakan reklamasi pantai.
Dilihat dari segi ekonomi mungkin reklamasi pantai adalah
solusi pembangunan yang sangat menjanjikan, tetapi jika dilihat dari segi
ekologi apakah reklamasi pantai cukup menjanjikan? Itulah yang menjadi
pertanyaan saya yang sebenarnya itu pertanyaan retoris. Semua orang sudah tahu
jawaban atas pertanyaan tadi.
Reklamasi pantai bukanlah hal yang baru di kota Manado,
pesatnya perkembangan teknologi dan pembangunan serta terus bertambahnya jumlah
penduduk mendorong reklamasi pantai untuk segera dilakukan. Namun, apa yang terlihat di kawasan Boulevard, reklamasi
pantai menjadi sarana bisnis yang menjanjikan dan bukannya menjadi lahan untuk
dihuni. Reklamasi memberikan keuntungan dan dapat membantu kota dalam
rangka penyediaan lahan untuk berbagai keperluan, penataan daerah pantai,
pengembangan wisata bahari, dan terutama untuk kawasan perbisnisan.
Pertanyaan retoris saya tentang dampak bagi lingkungan
ternyata sudah nampak di depan mata saya. Di depan hotel tempat kami menginap
dibangun deretan restoran yang aktif
buka pada sore hari sampai jauh malam. Nah, deretan restoran ini agak
mengganggu panorama ke laut lepas dari jalan raya di depan hotel karena
pemandangan terhalang oleh bagunan restoran-restoran tadi. Selain itu, para
pedagang makanan di restoran tersebut
juga membuang limbahnya sembarangan ke sela-sela tumpukan batu-batu besar yang
ditumpuk di tepi laut. Aroma limbah di sekitar restoran itu agak menganggu
penciuman. Saya jadi teringat kuliner
saya di Pantai Jimbaran, Bali beberapa tahun yang lalu. Kami makan di meja yang
ditata pemilik restoran di pantai. Sambil menikmati laut lepas para pengunjung
bisa menikmati pesanannya. Suasananya sungguh romantis. Sepertinya Menado bisa
meniru ala Bali. Meskipun pantai di Jimbaran dan di Bulevard seperti langit dan
bumi. Namun, laut tetaplah laut akan menampakkan keindahannya tersendiri.
Itu dampak negatif yang saya lihat. Dampak lain yang
mengakibatkan rusaknya biota laut pasti terjadi. Hal itu juga berdampak bagi
para nelayan tradisional di sekitar kawasan ini yang pasti hasil tangkapannya berkurang. Pembangunan ada, pasti juga
ada harga yang harus dibayar, bukan?
Saya berjalan-jalan di sekitar kawasan ini bersama kawan
saya, Ibu Devota Maria Layan. Kami berkeliling seputar kompleks hotel kami. Pada acara bebas, kami menikmati makan malam kami di restoran tepi pantai dengan menu bertema BABI!!!! Saya memesan miba (mi babi), bu Maria memesan babi panggang. Masalah rasa? Jangan tanya! So pasti sedap Jo!
Hari kedua, kami nekat mencari Gereja Katolik terdekat dari hotel. Kami keluar
dari kamar pukul 05.15. Dengan modal bertanya pada resepsionis hotel dan
beberapa orang bapak yang ada di sekitar kompleks Bolevard Mega Mas. Dari
seorang bapak yang sedang menyapu di depan salah satu restoran, kami mendapat
petunjuk ke arah Katedral Manado.
Akhirnya kami berjalan ke arah jalan raya. Begitu ada angkot
lewat kami hentikan dan naiklah kami. Ketika kami menyebutkan tujuan kami Abang
Angkot agak mengerenyitkan alis. Alur kendaraan di sini satu arah. Jadi kami
melewati jalan yang sama yang kami mlewati beberapa kali dengan bis kami.
Akhirnya kami diturunkan persis di depan pintu Katedral St. Joseph Manado.
Persis ketika Pastur pemimpin Misa memberikan kata pengantar, kami pun masuk
dari pintu samping. Umat yang mengikuti misa pagi tidak begitu banyak seperti
pada umumnya misa pagi di luar misa wajib. Umat yang hadir kebanyakan para
suster dan anak-anak sekolah. Kami menduga anak asrama yang ada di sekitar
komplek situ.
Pulangnya kami berjalan kaki berdasarkan petunjuk dari
seorang ibu, salah satu umat di misa pagi tadi. Dari Katedral kami menyebrang
dan masuk jalan gang di samping komplek sekolah. Kami ikuti insting bahwa
pantai tepat lurus di depan kami. Kami jalan lurus terus. Hingga akhirnya kami
melihat pantai. Nah, ternyata sangat dekat jarak pantai dengan katedral. Pantas
saja sopir angkot mengerenyitkan alisnya waktu kami menyebutkan tujuan kami ke
Katedral.
Kami berhsil bereksplorasi di Kota manado. Keberhasilan
eksplorasi kami, Ibu Maria wartakan
kepada teman-teman. hasilnya besok pagi kami mendapat teman 7 orang ikut misa
pagi. Akhirnya kami misa pagi bersembilan. (Ch. Enung Martina)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar