Setiap hari Selasa saya bertugas piket. Biasanya saya akan mengambil tempat pagi hari
untuk berpiket di tempat favorit saya, yaitu di bawah pohon nangka. Spot itu
paling saya sukai karena berdekatan
dengan tempat penyebrangan dari lapangan parkir yang berlokasi di unit SD. Jadi
setiap orang yang akan pergi ke SMP dan SMA atau TK akan melewati tempat saya
berdiri. Biasanya saya berdiri di situ sambil mengawasi anak-anak berlalu
lalang menuju kelasnya masing-masing. Saya senang karena bisa menyapa mereka
dan melihat bagaimana mereka dengan berbagai ekspresi menuju kelasnya.
Aneka
ekspresi yang biasanya saya lihat. Ada yang tersenyum manis siap menyongsong
hari. Ada yang cemberut bermuka bete. Ada yang nampak berbeban berat. Ada yang
kalem melangkah dengan pasti. Ada juga yang tak peduli melangkah dengan
serampangan. Berbagai ekspresi tersebut menunjukkan isi hati yang tak bisa saya
ketahui.
Suatu
pagi di hari Selasa yang cerah, tepatnya 3 Oktober 2017, saya terkagetkan
karena di sebrang jalan dari parkiran SD ada seorang ibu dengan Pak Rio, kawan saya guru SD yang sedang piket
dekat pos satpam, mereka menggandeng seorang anak SMP. Lha itu berarti murid saya
anak SMP karena saya guru SMP.
Lantas
atas seijin satpam saya menerobos kendaraan yang berseliweran untuk menyebrang mendekati anak tadi. Lalu saya menyebrang dan memastikan anak tersebut. Rupanya
salah seorang anak perempuan dari kelas VIII-C. anak itu sudah dibawa masuk ke
pos satpam. Ketika saya jenguk dia sedang dalam keadaan kejang.
Lalu
ibu yang menggandengnya tadi (ternyata itu mamanya) menyatakan bahwa
anak ini kena serangan kejang dan sesak nafas takut diejek
temannya karena salah seragam. Anak ini akan mengalami serangan seperti itu
kalau dia merasa takut dan tak bisa
mengatasai sesuatu.
Agak
lama saya menenangkan dia. Namun, usaha saya tak ada hasil. Karena dia masih
kejang. Akhirnya dia dibawa pulang. Hari itu dia tidak masuk sekolah.
Lantas
saya berkomentar dalam hati. Walah, kalau hanya gara-gara salah seragam saja
dia sudah mendapat serangan kejang. Apalagi kalau mendapat tekanan permasalahan
yang berat. Apa yang akan terjadi. Betapa rapuhnya mental anak ini. Lantas
saya mengingat masa SMP saya pada akhir tahun 70-an yang penuh dengan banyak
tantangan. Termasuk saya di-bully oleh teman dan guru saya karena saya beragama
katolik.
Jadinya
pagi itu saya melihat perbedaan antara generasi saya dan generasi anak
sekarang. Zaman saya dulu berjalan kaki ke sekolah dengan jarak 5 km sudah
biasa. Kepanasan dan kehujanan bukan masalah. Bahkan, perlakuan dari guru yang
mendidik pun lebih keras daripada saya yang jadi guru sekarang pun kami alami.
Itu pun tak menjadi masalah, malah menjadikan mental kami sekuat baja.
Sementara
anak sekarang mendapat tantangan dan kesusahan sedikit saja sudah mengeluh
panjang pendek. Inilah yang membaut para pengamat dan para ahli pendidikan
melihat anak sekarang sebagai generasi stoberi. Generasi yang manis tetapi
lembek di dalam. Rapuh dan mudah terlukai.
Dari
bentuk dan warnanya, strawberry itu menawan. Namun, di balik
keindahannya, ia ternyata begitu rapuh. Itu adalah ilustrasi dari strawberry
generation. Sebuah bagian dari suatu generasi yang rapuh meski terlihat
indah. Demikian Rhenald Kasali menggambarkan anak-anak di generasi ini.
Strawberry
Generation didefinisikan Rhenald sebagai generasi yang penuh dengan gagasan
kreatif, tetapi mudah menyerah dan gampang sakit hati. Generasi yang
menginginkan perubahan besar, tetapi menuntut jalan pintas dan berbagai
kemudahan.
Apa akibatnya jika mereka tidak dapat memeroleh semua hal dalam waktu
singkat? Mereka—strawberry generation—akan mudah marah, cenderung berputus asa,
lantas menyerah sebelum mencapai apa yang dinginkan. Sayang sekali, bukan?
Perlu diketahui bahwa kesuksesan bukanlah sesuatu yang instan, yang
diperoleh dengan jalan-jalan pintas. Kesuksesan membutuhkan waktu, ketekunan,
dan kesabaran. Seperti yang Rhenald selalu katakan, untuk menjadi seorang yang
sukses, mental “passanger” harus diubah menjadi “driver”; “fixed mindset” harus
diganti dengan “growth mindset”.
Menurut Rhenald, kesuksesan tidak bisa diraih melalui jalan pintas. Maka,
mentalitas rapuh itu harus diubah. "Passenger" harus menjadi "driver".
Fixed mindset digantikan growth mindset. Itulah tugas orang tua, guru, Gereja, lembaga
keagamaan lain, organisasi, dan masyarakat
untuk mendidik mereka ini siap menghadapi tantangan. Siap mengarungi
lautan kehidupan yang tidak mudah. Siap bila suatu saat harus terluka. Siap
bila suatu saat harus gagal. Karena kita tahu bahwa hidup terbentuk juga karena
adanya kesalahan dan kegagalan. Kesempurnaan
manusia itu karena adanya carut marut yang membaut semuanya menjadi
indah pada saatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar