KEPERGIAN
YANG DINI
Selalu
akan ada perasaan duka pada saat salah satu keluarga, kerabat, sanak, sahabat,
teman,dan kenalan kita meninggal dunia.
Perasaan duka yang muncul kadarnya akan berbeda pada saat kita mendengar
kematian atau melayat dan menghadiri
pemakaman seseorang. Semakin kental relasi dengan orang yang meninggal, semakin
dalam perasaan duka tersebut.
Saya
sering hadir untuk melayat, mendoakan, dan pemakaman seseorang. Namun, kadar
duka saya akan sangat dalam ketika saya hadir untuk melayat atau pemakaman murid,
anak yang saya didik selama beberapa tahun.
Pengalaman
duka yang dalam kembali terulang ketika saya hadir untuk melayat Natasha
Marvella (almarhumah). Kedukaan yang terasa sering membaut terasa diri begitu
kosong bagai sarang yang ditinggalkan.
Kembali
lagi satu anak didik saya terbaring karena kanker darah atau leukemia. Satu
lagi pejuang kehidupan terbaring dalam peti mati di hadapan saya. Kedukaan
mendalam dari keluarga dan dari semua teman mengiringi kepergian gadis
manis,Natasha.
Hari Selasa, 23 Januari 2018, saya melayatnya di
Rumah Duka Atmajaya, Heaven Funeral Home, Jl. Pluit Raya No. 2,
Penjaringan, Jakarta Utara. Saya tahu, semakin tua, saya semakin cengeng.
Semakin gampang mengeluarkan air mata. Karena itu, saya sudah menyiapkan diri
untuk menangis di rumah duka. Layaklah kiranya kala kita pergi ke rumah duka,
lalu menangis di dalamnya. Begitu pikiran saya.
Namun, Saudari-Saudara, saya mengurungkan diri
untuk tidak memangis di sana. Saya berusaha sekuat tenaga agar air mata saya
tidak jebol. Kenapa pasal?
Jawabannya karena saya malu dengan Mama Natasha,
ibu kandung almarhumah. Saya malu karena melihat ketegaran dan keiklasan yang
terpancar darinya. Saya malu karena saya, yang tak melakukan apa-apa untuk
Natasha, menangis di hadapan seorang
perempuan hebat, yang sudah berjuang dengan seluruh hidupnya untuk Natasha, anaknya.
Benar-benar saya tertohok oleh kepasarahan dan
keiklasan seorang ibu yang melepas putri semata wayangnya pergi dalam sukacita
abadi. Lantas saya siapa? Saya hanya perempuan yang cengeng, yang bisanya hanya
menangis, sementara saya tak lakukan apa pun untuk Natasha.
Dengan begitu tenang, Mama Natasha, perempuan
yang ditinggalkan mati oleh putri semata wayangnya itu, menyambut kami para
pelayat. Tak ada riak kesedihan pada dirinya. Yang ada hanya kepasarahan yang
tulus. Ketenangan dan kepasrahan itu terpancar membawa para pelayat pada satu
pemahaman spiritual tentang kematian. Bahwa kematian bukan untuk ditangisi,
melainkan untuk disyukuri. Karena semuanya ada waktunya.
Mama Natasha bercerita
tentang seputar kepergian puterinya tercinta. Satu hal yang membuat saya
tertohok lagi adalah bahwa Natasha dalam kesakitannya selama 2 tahun itu, ia
mempelajari Al Kitab. Natasha begitu rindu akan Firman Allah. Ia bisa membaca
dan mempelajari Al Kitab lebih dari 5 jam dalam sehari. Dalam keadaan kesakitan pun, bahkan kala
matanya kabur karena efek dari kanker yang dideritanya, Natasha masih tetap
meminta mamanya membacakan Al Kitab.
Mama Natasha berkata bahwa
kala keadaan seseorang seperti Natasha, makanan-minuman dan obat-obatan serta
tindakan medis tak lagi bisa diandalkan, maka satu-satunya yang tersisa adalah
iman. Iman pada Allah adalah satu-satunya yang mampu membuat seseorang bertahan
untuk melewati berbagai penderitaan.
Mama natasha menunjukkan
pamflet yang berilustrasi foto Natasha bertuliskan kutipan ayat Al Kitab dalam
bahasa Inggris: Jesus said to her, “I am the resurrection and the
life. The one who believes in me will live, even though they die
(John 11:25). Akulah kebangkitan
dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia
akan hidup walaupun ia sudah mati.”
Mama Natasha menjelaskan,
ayat itu merupakan kutipan favorit Natasha. Anehnya, Natasha menghembuskan
nafas terakhirnya juga pada pukul 11.25. Bila dilihat ayat John 11: 25 dalam
versi bahasa Inggris nampak bahwa Yesus berkata kepada dia (perempuan), Jesus said to her. Mama Natasha memaknai bahwa Yesus
berkata pada dia, anak perempuannya, Natasha: “Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa
percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati.”
Bagi Mama natasha, semua itu
bukan hal yang kebetulan belaka. Ia memandang dari kacamata iman bahwa itulah
kasih dan kebesaran Tuhan yang ditujukan untuk Natasha.
Diungkapkan pula bahwa
sebelum meninggal Natasha memberikan pesan kepada salah satu temannya (tidak
disebutkan namanya) bahwa ia ingin saat dia meninggal ada satu ayat yang
dituliskan pada petinya. Kutipan itu diambil dari Surat Paulus kepada Timoteus
yang berbunyi : Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis
akhir dan aku telah memelihara iman (2Timotius 4:7).
Ketika Mama Natasha
mengobrol dengan kami, para guru SMP yang datang ke sana, tak ada raut
kesedihan yang membuat seseorang nampak berat. Yang saya lihat adalah ketulusan
iman dari seorang mahluk kepada Khalik- nya. Bercerita dengan tenang dan penuh
sukacita, bahkan.
Saya dengan Ibu Maria
berpandangan mata kala kami mendengar kesaksian iman yang luar biasa ini. Ketika
kami mengobrol sepulang melayat di grab car sewaan kami, Bu Maria berkata, “Imanku
tak ada apa-apanya. Aku masih sering mengeluh dan mengomel.” Saya dan Ibu Nina mengamininya.
Natasha sudah mengakhiri
pertarungannya dengan baik, bahkan teramat baik. Kini Ia telah mencapai garis
finish. Yang lebih penting lagi adalah bahwa Natasha sudah memelihara iman.
Lantas saya berkata pada
diri saya sendiri: pertaruganku belum berakhir. Sudahkah aku melakuakn
pertarunagn ini dengan baik?
Selamat jalan, Natasha. Saya
bangga menjadi gurumu!
(Ch. Enung Martina, Jelupang, 26 Januari
2018, 1 hari sebelum hari St. Angela)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar