Jumat, 26 Januari 2018

Catatan Kecil Setelah Melayat

KEPERGIAN YANG DINI


Selalu akan ada perasaan duka pada saat salah satu keluarga, kerabat, sanak, sahabat, teman,dan  kenalan kita meninggal dunia. Perasaan duka yang muncul kadarnya akan berbeda pada saat kita mendengar kematian atau melayat dan  menghadiri pemakaman seseorang. Semakin kental relasi dengan orang yang meninggal, semakin dalam perasaan duka tersebut.

Saya sering hadir untuk melayat, mendoakan, dan pemakaman seseorang. Namun, kadar duka saya akan sangat dalam ketika saya hadir untuk melayat atau pemakaman murid, anak yang saya didik selama beberapa tahun.

Pengalaman duka yang dalam kembali terulang ketika saya hadir untuk melayat Natasha Marvella (almarhumah). Kedukaan yang terasa sering membaut terasa diri begitu kosong bagai sarang yang ditinggalkan.

Kembali lagi satu anak didik saya terbaring karena kanker darah atau leukemia. Satu lagi pejuang kehidupan terbaring dalam peti mati di hadapan saya. Kedukaan mendalam dari keluarga dan dari semua teman mengiringi kepergian gadis manis,Natasha.

Hari Selasa, 23 Januari 2018, saya melayatnya di Rumah Duka Atmajaya, Heaven Funeral Home, Jl. Pluit Raya No. 2, Penjaringan, Jakarta Utara. Saya tahu, semakin tua, saya semakin cengeng. Semakin gampang mengeluarkan air mata. Karena itu, saya sudah menyiapkan diri untuk menangis di rumah duka. Layaklah kiranya kala kita pergi ke rumah duka, lalu menangis di dalamnya. Begitu pikiran saya.

Namun, Saudari-Saudara, saya mengurungkan diri untuk tidak memangis di sana. Saya berusaha sekuat tenaga agar air mata saya tidak jebol. Kenapa pasal?

Jawabannya karena saya malu dengan Mama Natasha, ibu kandung almarhumah. Saya malu karena melihat ketegaran dan keiklasan yang terpancar darinya. Saya malu karena saya, yang tak melakukan apa-apa untuk Natasha,  menangis di hadapan seorang perempuan hebat, yang sudah berjuang dengan seluruh hidupnya  untuk Natasha, anaknya.

Benar-benar saya tertohok oleh kepasarahan dan keiklasan seorang ibu yang melepas putri semata wayangnya pergi dalam sukacita abadi. Lantas saya siapa? Saya hanya perempuan yang cengeng, yang bisanya hanya menangis, sementara saya tak lakukan apa pun untuk Natasha.

Dengan begitu tenang, Mama Natasha, perempuan yang ditinggalkan mati oleh putri semata wayangnya itu, menyambut kami para pelayat. Tak ada riak kesedihan pada dirinya. Yang ada hanya kepasarahan yang tulus. Ketenangan dan kepasrahan itu terpancar membawa para pelayat pada satu pemahaman spiritual tentang kematian. Bahwa kematian bukan untuk ditangisi, melainkan untuk disyukuri. Karena semuanya ada waktunya.

Mama Natasha bercerita tentang seputar kepergian puterinya tercinta. Satu hal yang membuat saya tertohok lagi adalah bahwa Natasha dalam kesakitannya selama 2 tahun itu, ia mempelajari Al Kitab. Natasha begitu rindu akan Firman Allah. Ia bisa membaca dan mempelajari Al Kitab lebih dari 5 jam dalam sehari.  Dalam keadaan kesakitan pun, bahkan kala matanya kabur karena efek dari kanker yang dideritanya, Natasha masih tetap meminta mamanya membacakan Al Kitab.

Mama Natasha berkata bahwa kala keadaan seseorang seperti Natasha, makanan-minuman dan obat-obatan serta tindakan medis tak lagi bisa diandalkan, maka satu-satunya yang tersisa adalah iman. Iman pada Allah adalah satu-satunya yang mampu membuat seseorang bertahan untuk melewati berbagai penderitaan.

Mama natasha menunjukkan pamflet yang berilustrasi foto Natasha bertuliskan kutipan ayat Al Kitab dalam bahasa Inggris: Jesus said to her, “I am the resurrection and the life. The one who believes in me will live, even though they die (John 11:25). Akulah   kebangkitan   dan hidup;  barangsiapa percaya   kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati.”

Mama Natasha menjelaskan, ayat itu merupakan kutipan favorit Natasha. Anehnya, Natasha menghembuskan nafas terakhirnya juga pada pukul 11.25. Bila dilihat ayat John 11: 25 dalam versi bahasa Inggris nampak bahwa Yesus berkata kepada dia (perempuan),  Jesus said to her. Mama Natasha memaknai bahwa Yesus berkata pada dia, anak perempuannya, Natasha: “Akulah   kebangkitan   dan hidup; barangsiapa percaya   kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati.”

Bagi Mama natasha, semua itu bukan hal yang kebetulan belaka. Ia memandang dari kacamata iman bahwa itulah kasih dan kebesaran Tuhan yang ditujukan untuk Natasha.
Diungkapkan pula bahwa sebelum meninggal Natasha memberikan pesan kepada salah satu temannya (tidak disebutkan namanya) bahwa ia ingin saat dia meninggal ada satu ayat yang dituliskan pada petinya. Kutipan itu diambil dari Surat Paulus kepada Timoteus yang berbunyi :  Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman (2Timotius 4:7).

Ketika Mama Natasha mengobrol dengan kami, para guru SMP yang datang ke sana, tak ada raut kesedihan yang membuat seseorang nampak berat. Yang saya lihat adalah ketulusan iman dari seorang mahluk kepada Khalik- nya. Bercerita dengan tenang dan penuh sukacita, bahkan.

Saya dengan Ibu Maria berpandangan mata kala kami mendengar kesaksian iman yang luar biasa ini. Ketika kami mengobrol sepulang melayat di grab car sewaan kami, Bu Maria berkata, “Imanku tak ada apa-apanya. Aku masih sering mengeluh dan mengomel.”  Saya dan Ibu Nina mengamininya.

Natasha sudah mengakhiri pertarungannya dengan baik, bahkan teramat baik. Kini Ia telah mencapai garis finish. Yang lebih penting lagi adalah bahwa Natasha sudah memelihara iman.

Lantas saya berkata pada diri saya sendiri: pertaruganku belum berakhir. Sudahkah aku melakuakn pertarunagn ini dengan baik?

Selamat jalan, Natasha. Saya bangga menjadi gurumu!

(Ch. Enung Martina, Jelupang, 26 Januari 2018,  1 hari sebelum hari St. Angela) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar