Sabtu, 20 Januari 2018

NYEKAR MENELUSURI LELUHUR II : AMBARAWA


Hari kedua perjalanan keluarga kami adalah ke Ambarawa. Tujuan kami ke Ambarawa adalah berziarah ke Gua Kerep. Perjalanan ini kami lakukan setelah kami berkunjung ke rumah Mbok Reso, di Cinde Barat, Semarang. Sepulangnya kami berkunjung, kami menuju hotel untuk mengambil barang-barang dan untuk mandi-mandi agar badan terasa segar.

Waktu menunjukkan pukul 14.15 ketika kami keluar dari hotel. Mobil pesanan kami sudah menunggu siap membawa kami ke Ambarawa. Maka perjalanan kamipun dimulai. Pemandangan di kiri kanan jalan hijau merata diselingi dengan perkampungan. Karena perut kenyang dan badan segar serta pendingin udara di mobil, maka ketiga buah hatiku dan sang suami pun jatuh tertidur. Tinggal saya yang memang tidak mudah tertidur di kendaraan. Duduk dengan bersandar santai sambil menikmati hijaunya panorama di sepanjang jalan, membawa saya pada perasaan kagum akan segala hal yang dilihat.

Ambarawa adalah sebuah kecamatan yang terletak di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Indonesia. Dari sumber yang saya baca ternyata Ambarawa pada era kerajaan kerajaan Mataram (Amangkurat II) kawasan ini bernama Limbarawa. Dulu Ambarawa pernah menjadi ibu kota Kabupaten. Ambarawa juga disebut sebagai kota Palagan karena  terdapat Musium Palagan Ambarawa. Museum Palagan Ambarawa dikenal juga dengan sebutan Monumen Palagan Ambarawa. Di sini merupakan lokasi terjadinya peperangan atau pertempuran dahsyat ketika melawan Jepang yang berlangsung pada tahun 1945.

Ambarawa adalah sebuah kota kecil dengan sejuta pesona. Wisata alam, wisata sejarah, hingga wisata kuliner semua ada di sini. Siapa yang tak kenal Rawa Pening, danau purba dengan kisah mistis yang melegenda. Terletak di kaki Gunung Ungaran, Ambarawa dikelilingi oleh barisan pegununga yang menawan. Untuk penyuka kegiatan fisik trekking, kita bisa mendaki Gunung Ungaran atau Merbabu.

Kecamatan Ambarawa adalah sebuah kota pasar yang terletak di antara Semarang dan Salatiga. Dalam perjalanan itu, kita akan disuguhi dengan pemandangan alam Rawa Pening, sebuah rawa yang membenatng panjang.

Menurut sumber yang saya baca ternyata asal muasal rawa menurut geologist J. Van Bemellen, Rawapening merupakan cekungan danau tektonik, yang terjadi dari peristiwa tektonik gravitasi, yaitu pergeseran akibat gaya berat, yang mengakibatkan Gunung Telomoyo Purba, yang dikenal sebagai Gunung Soropati, sobek dan menghasilkan sesar Klegung yang sekarang sudah tidak aktif lagi. Pada Masa Pra-sejarah, sisi timur Gunung Soropati bergeser ke arah timur laut, sehingga daerah antara Gunung Telomoyo dan Pegunungan Payungrong mengalami depresi. Akibatnya, bagian kaki dasarnya patah dan terlipat, sehingga membentuk cekungan yang terisi air hujan dan menghasilkan banyak mata air dari patahan aquifer. Cekungan inilah yang dikenal sebagai Rawapening. Rawa ini menjadi sumber air utama Sungai Tuntang, yang bermuara ke Laut Jawa. Nah. Pada tahun 1921-1923, Pemerintah Hindia Belanda membendung aliran air yang keluar dari Rawapening, dengan membangun Bendung Gerak Jelok (lebar 43,25 m dengan 6 pintu radial) pada bagian hulu Sungai Tuntang, untuk dialirkan ke turbin PLTA Jelok dan Timo yang berkapasitas 25 MW (Damar Kumala, 2010).
Perjalanan kami akhirnya memasuki  kota Ambarawa. Kami mulai memasuki Jalan Tentara Pelajar. Tujuan kami akan berziarah ke Gua Maria Kerep Ambarawa yang sering disingkat GMKA. Gua Kerep bukanlah nama yang asing lagi di telinga umat Katolik Indonesia, khususnya umat dari Keuskupan Agung Semarang. Sejak beberapa tahun terakhir, nama Gua Kerep juga mulai diakrabi oleh umat dari berbagai keuskupan di Indonesia.

Bila dilihat di google map dari arah Semarang, GMKA cuma berjarak 900 meter (dari Jalan Raya Semarang). Bagi peziarah yang baru pertama kali berkunjung ke gua ini, cukup mengikuti petunjuk papan nama yang berada di seberang jalan depan Terminal Ambarawa. Atau tepatnya di sebelah kanan SD Pangudi Luhur Ambarawa atau sebelah Timur SMP Pangudi Luhur Ambarawa kemudia ke arah utara.
Kesejukan hawa dan pesona alam yang menawan menyambut setiap kehadiran kami. Nampak di kejauhan hamparan hijau sawah serta pepohonan di kaki Gunung Ungaran terasa begitu ramah. Pesona alam ini seolah  mengantarkan setiap hati menuju alam surgawi Gua Maria Kerep.

Waktu menunjukkan sekitar pukul 15.30 ketika kami tiba di lokasi Giua Maria Kerep. Keadaan saat kami datang cukup ramai. Hal ini terlihat dari berderetnya mobil yang diparkir di sepanjang area parkiran. Padatnya kendaraan dan keberadaan kios-kios souvenir yang berderet di sekitar lokasi seakan tak mampu menembus kedamaian dan ketenangan area Gua Maria Kerep Ambarawa. Keheningan terasa, terutama ketika kita memasuki arena gua.  
Meskipun ini bulan Desember, tepatnya tanggal 24 Desember 2017, gua ini Nampak ramai dengan para peziarah yang datang untuk berdoa. Setelah lebih dari setengah abad berdiri, kini GMKA tak pernah sepi dari para peziarah. Nyaris setiap saat dari pagi hingga malam, selalu saja didatangi peziarah sekalipun di luar Bulan Maria yang jatuh pada Bulan Mei dan Oktober. Seperti  saat kami datang. Penginapan sekitar gua pun sudah  full book. Ada satu atau dua  kamar yang masih kosong, tetapi tidak kami pilih karena letaknya di lantai dua. Hal itu cukup merepotkan, terutama untuk Bob, suami saya karena masalah dengan lututnya.

Akhirnya kami terlebih dahulu mengisi perut dengan santapan nasi pcel, saren ayam, bacem teme-tahu, sate telur puyuh, soto ayam, kerupuk gendar, serta minumannya jus jeruk baby yang segar dan asli tanpa campuran apa pun. Harganya fantastic! Murah dan lezat!
Dalam perbincangan selama kami makan, pemilik warung memberikan rekomendasi seorang saudaranya, Mbak Pur, yang punya rumah kosong dan biasa disewakan. Akhirnya kami bertemu dengan Mbak Pur. Kami pun tawar-menawar harga. Maka, dapatlah harga yang pantas berdasarkan sepakat dua belah pihak untuk sebuah rumah penginapan.

Rumah itu terletak sekitar 300 meter dari lokasi Gua Maria. Rumah itu terdiri dari 2 kamar tidur, 2 kamar mandi dan WC, dapur yang dilengkapi kompor dan peralatan memasak, ruang keluarga yang bergabung dengan ruang depan, dan teras kecil. Rumah yang pas untuk kami sekeluarga. Kami beristirahat sejenak dan membersihkan diri karena sebentar lagi, pukul 17.00, kami akan mengikuti Misa Natal pertama di Gereja Santo Yusuf, yang lebih dikenal dengan Gereja Jago.
Gereja Katolik St. Yusup- Paroki Ambarawa, Jawa Tengah, terletak di Jalan  Mgr. Soegijapranata 56, Ambarawa.  Gereja Jago, begitu biasanya orang menyebut gereja ini, pada tahun 2 Agustus 1859 tersebut, bagian tenggara stasi Semarang mulai dipisah. Berdirilah Gereja Ambarawa yang menjangkau wilayah; Ambarawa, Salatiga, Solo, Madiun, Pacitan. Pada tahun 1862 sudah ada Jesuit Yohannes F van der Hagen, SJ yang ditempatkan bertugas di Ambarawa dan Yogyakarta.

Tanggal 1 Oktober 1870, Pastoor J. Lijnen melakukan peletakkan batu pertama guna mengawali pembangunan gedung gereja St. Yusup di atas tanah pemberian pemerintah. Menjelang selesainya pembangunan, bulan Mei 1873 gereja yang sudah setengah jadi tiba-tiba roboh. Selanjutnya dilakukan perbaikan. Tanggal 12 Desember 1875 bangunan gereja tersebut diberkati Pastoor. J. Lijnen. Tahun 1876 sudah ada Jesuit yang ditempatkan bertugas di Semarang untuk membantu pastoor diosesan.
Mengapa Gereja St. Yusuf Ambarawa disebut Gereja Jago? Mudah saja jawabannya: karena di atas atap gereja ini terdapat patung ayam jago yang menghadap ke timur. Yang menjadi pertanyaan mengapa harus ayam jago, tidak binatang yang lain?

Ayam jago adalah salah satu simbol dalam Gereja Katolik dengan makna paling tua dalam sejarah. Kita tahu bahwa kokok ayam jago menandakan terbitnya matahari. Bisa dibilang, kokok ayam jago MENYAMBUT fajar. Gelar Kristus yang bangkit adalah Sang Fajar atau Sang Timur (Latin: Oriens). Secara umum, fajar juga menandakan harapan, harapan bahwa Tuhan akan datang, saat di mana kegelapan dosa dikalahkan. Dengan demikian, ayam jago, sebagai hewan yang menyambut fajar, melambangkan umat Allah yang berjaga-jaga dan menyambut Kristus yang bangkit. Dalam kegelapan, kita bersabar sambil terus waspada menunggu terbitnya Sang Fajar yang mengalahkan maut.
Selain itu, ayam jago juga mengingatkan kita akan kisah Santo Petrus yang menyangkal Kristus tiga kali sebelum ayam berkokok. Simbol ayam jago di atap gereja hendak memperingatkan kita agar kita terus berjaga-jaga setiap waktu, menjaga iman kita tetap menyala dengan doa dan amal kasih, sebab kita tidak tahu kapan Sang Fajar akan datang.

Merayakan Natal di tempat perziarahan membawa kesan yang menarik dan mendalam. Kami sebagai tamu peziarah berkesempatan merayakan Natal bersama umat Paroki Santo Yusuf Ambarawa pada Misa Raya pukul 17.00 WIB. Misa Kudus diawali dengan pemberkatan Lilin Natal di depan gereja. Lilin Natal kemudian diarak ke dalam gereja yang diikuti penyalaan lilin umat. Selama perarakan dinyanyikan lagu Malam Kudus oleh koor yang bagus diikuti umat sehingga tercipta suasana agung dan meriah. Dalam misa juga dilangsungkan pembabtisan umat baru.
Misa berakhir sekitar pukul 19.00. Semua umat membubarkan diri sambil bersalam-salaman mengucapkan selamat Natal. Kami keluar untuk menuju ke penginapan kami di Gua Maria Kerep. Menyusur jalanan sepanjang Kota Ambarawa, hal  yang terlihat adalah gedung-gedung tua peninggalan kolonial Belanda dan etnis Cina. Tak terbayang berapa tepat usianya, mungkin sudah ratusan tahun.

Inilah Ambarawa, kota kecil yang selalu menyisakan sejuta cerita. Bangunan Gereja Jago, yang baru kami tinggalkan, merupakan bangunan megah dengan arsitektur khas Negeri Kincir Angin ini sampai sekarang masih kokoh berdiri. Lekukan relief dan menara yang menjulang jelas-jelas menunjukkan betapa kentalnya nuansa Belanda pada bangunan tersebut. Walau terus berbenah dengan penambahan di sekitarnya, namun bangunan induk itu tetap dipertahankan keasliannya, seolah untuk seratus bahkan hingga seribu tahun mendatang, Gereja Jago akan tetap seperti itu adanya.
Berjalan sedikit agak ke tengah kota, akan kita jumpai SMP Pangudi Luhur. Sekolahan yang dahulu bernama MULO ini masih tampak jelas sentuhan arsitektur Belandanya. Pondasi bebatuan kali yang tampak menonjol agak tinggi, relung jendela dan daun pintunya yang serba besar, masih ditambah lagi dengan adanya sebuah Kapel lengkap dengan menara kecilnya. Semua itu tak lain adalah karya peninggalan jaman kolonial Belanda yang masih kokoh berdiri hingga saat ini.

Ambarawa mulai sepi dari hiruk pikuk harian. Beberapa orang terlihat berjalan santai menikmati malam di kotanya. Kebanyakan toko-toko sudah tutup digantikan dengan tenda-tenda penjual makanan malam.
Kami kembali ke penginapan. Sebelumnya kami mampir dulu di kios makan di komplek Gua Maria Kerep untuk menikmati makan malam kami. Kali ini menikmati makanan berkuah: mi-bakso, sate ayam, nasi putih, dan teh panas manis. Perut kenyang, kami menuju ke Gua Maria untuk berdoa dulu sebelum masuk di penginapan.

Suasana gua temaram karena hari mulai beranjak malam. Saya mengambil tempat doa di pelataran yang agak jauh dari gua. Saya tidak nyaman dengan wangi yang menyengat yang berasal dari parfum yang diguyurkan begitu saja sekitar patung. Bagi saya itu malah membuat tidak konsentrasi berdoa. Saya juga heran mengapa harus diguyur parfum? Alangkah lebih baik kalau wewangian itu berasal dari yang alami seperti bunga mawar, melati, kantil, sedap malam, dll. Malah harumnya lembut dan menyegarkan daripada diguyur parfum. Menurut saya sesuatu yang berlebihan itu tidak pas. Termasuk wewangian yang terlalu harum malah membuat pusing.
Tiba di penginapan, hari sudah menunjukkan pukul 23.30. Segera membersihkan diri untuk menuju tempat tidur. Besok pagi petualangan baru menanti. (Ch. Enung Martina)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar