Hari kedua perjalanan keluarga kami adalah ke Ambarawa.
Tujuan kami ke Ambarawa adalah berziarah ke Gua Kerep. Perjalanan ini kami
lakukan setelah kami berkunjung ke rumah Mbok Reso, di Cinde Barat, Semarang.
Sepulangnya kami berkunjung, kami menuju hotel untuk mengambil barang-barang
dan untuk mandi-mandi agar badan terasa segar.
Waktu menunjukkan pukul 14.15 ketika kami keluar dari hotel.
Mobil pesanan kami sudah menunggu siap membawa kami ke Ambarawa. Maka
perjalanan kamipun dimulai. Pemandangan di kiri kanan jalan hijau merata
diselingi dengan perkampungan. Karena perut kenyang dan badan segar serta
pendingin udara di mobil, maka ketiga buah hatiku dan sang suami pun jatuh tertidur.
Tinggal saya yang memang tidak mudah tertidur di kendaraan. Duduk dengan
bersandar santai sambil menikmati hijaunya panorama di sepanjang jalan, membawa
saya pada perasaan kagum akan segala hal yang dilihat.
Ambarawa adalah sebuah kecamatan yang terletak di Kabupaten
Semarang, Jawa Tengah, Indonesia. Dari sumber yang saya baca ternyata Ambarawa
pada era kerajaan kerajaan Mataram (Amangkurat II) kawasan ini bernama
Limbarawa. Dulu Ambarawa pernah menjadi ibu kota Kabupaten. Ambarawa juga
disebut sebagai kota Palagan karena terdapat Musium Palagan Ambarawa. Museum Palagan
Ambarawa dikenal juga dengan sebutan Monumen Palagan Ambarawa. Di sini
merupakan lokasi terjadinya peperangan atau pertempuran dahsyat ketika melawan
Jepang yang berlangsung pada tahun 1945.
Ambarawa adalah sebuah kota kecil dengan sejuta pesona. Wisata
alam, wisata sejarah, hingga wisata kuliner semua ada di sini. Siapa yang tak
kenal Rawa Pening, danau purba dengan kisah mistis yang melegenda. Terletak di
kaki Gunung Ungaran, Ambarawa dikelilingi oleh barisan pegununga yang menawan.
Untuk penyuka kegiatan fisik trekking, kita bisa mendaki Gunung Ungaran atau
Merbabu.
Kecamatan Ambarawa adalah sebuah kota pasar yang terletak di
antara Semarang dan Salatiga. Dalam perjalanan itu, kita akan disuguhi dengan
pemandangan alam Rawa Pening, sebuah rawa yang membenatng panjang.
Menurut sumber yang saya baca ternyata asal muasal rawa
menurut geologist J. Van Bemellen, Rawapening merupakan cekungan danau
tektonik, yang terjadi dari peristiwa tektonik gravitasi, yaitu pergeseran
akibat gaya berat, yang mengakibatkan Gunung Telomoyo Purba, yang dikenal
sebagai Gunung Soropati, sobek dan menghasilkan sesar Klegung yang sekarang
sudah tidak aktif lagi. Pada Masa Pra-sejarah, sisi timur Gunung Soropati
bergeser ke arah timur laut, sehingga daerah antara Gunung Telomoyo dan
Pegunungan Payungrong mengalami depresi. Akibatnya, bagian kaki dasarnya patah
dan terlipat, sehingga membentuk cekungan yang terisi air hujan dan
menghasilkan banyak mata air dari patahan aquifer. Cekungan inilah yang dikenal
sebagai Rawapening. Rawa ini menjadi sumber air utama Sungai Tuntang, yang
bermuara ke Laut Jawa. Nah. Pada tahun 1921-1923, Pemerintah Hindia Belanda
membendung aliran air yang keluar dari Rawapening, dengan membangun Bendung
Gerak Jelok (lebar 43,25 m dengan 6 pintu radial) pada bagian hulu Sungai Tuntang,
untuk dialirkan ke turbin PLTA Jelok dan Timo yang berkapasitas 25 MW (Damar
Kumala, 2010).
Perjalanan kami akhirnya memasuki kota Ambarawa. Kami mulai memasuki Jalan
Tentara Pelajar. Tujuan kami akan berziarah ke Gua Maria Kerep Ambarawa yang
sering disingkat GMKA. Gua Kerep bukanlah nama yang asing lagi di telinga umat
Katolik Indonesia, khususnya umat dari Keuskupan Agung Semarang. Sejak beberapa
tahun terakhir, nama Gua Kerep juga mulai diakrabi oleh umat dari berbagai
keuskupan di Indonesia.
Bila dilihat di google map dari arah Semarang, GMKA cuma
berjarak 900 meter (dari Jalan Raya Semarang). Bagi peziarah yang baru pertama
kali berkunjung ke gua ini, cukup mengikuti petunjuk papan nama yang berada di
seberang jalan depan Terminal Ambarawa. Atau tepatnya di sebelah kanan SD
Pangudi Luhur Ambarawa atau sebelah Timur SMP Pangudi Luhur Ambarawa kemudia ke
arah utara.
Kesejukan hawa dan pesona alam yang menawan menyambut setiap
kehadiran kami. Nampak di kejauhan hamparan hijau sawah serta pepohonan di kaki
Gunung Ungaran terasa begitu ramah. Pesona alam ini seolah mengantarkan setiap hati menuju alam surgawi
Gua Maria Kerep.
Waktu menunjukkan sekitar pukul 15.30 ketika kami tiba di
lokasi Giua Maria Kerep. Keadaan saat kami datang cukup ramai. Hal ini terlihat
dari berderetnya mobil yang diparkir di sepanjang area parkiran. Padatnya
kendaraan dan keberadaan kios-kios souvenir yang berderet di sekitar lokasi
seakan tak mampu menembus kedamaian dan ketenangan area Gua Maria Kerep
Ambarawa. Keheningan terasa, terutama ketika kita memasuki arena gua.
Meskipun ini bulan Desember, tepatnya tanggal 24 Desember
2017, gua ini Nampak ramai dengan para peziarah yang datang untuk berdoa. Setelah
lebih dari setengah abad berdiri, kini GMKA tak pernah sepi dari para peziarah.
Nyaris setiap saat dari pagi hingga malam, selalu saja didatangi peziarah
sekalipun di luar Bulan Maria yang jatuh pada Bulan Mei dan Oktober.
Seperti saat kami datang. Penginapan
sekitar gua pun sudah full book. Ada
satu atau dua kamar yang masih kosong,
tetapi tidak kami pilih karena letaknya di lantai dua. Hal itu cukup
merepotkan, terutama untuk Bob, suami saya karena masalah dengan lututnya.
Akhirnya kami terlebih dahulu mengisi perut dengan santapan
nasi pcel, saren ayam, bacem teme-tahu, sate telur puyuh, soto ayam, kerupuk
gendar, serta minumannya jus jeruk baby yang segar dan asli tanpa campuran apa
pun. Harganya fantastic! Murah dan lezat!
Dalam perbincangan selama kami makan, pemilik warung
memberikan rekomendasi seorang saudaranya, Mbak Pur, yang punya rumah kosong
dan biasa disewakan. Akhirnya kami bertemu dengan Mbak Pur. Kami pun
tawar-menawar harga. Maka, dapatlah harga yang pantas berdasarkan sepakat dua
belah pihak untuk sebuah rumah penginapan.
Rumah itu terletak sekitar 300 meter dari lokasi Gua Maria. Rumah
itu terdiri dari 2 kamar tidur, 2 kamar mandi dan WC, dapur yang dilengkapi
kompor dan peralatan memasak, ruang keluarga yang bergabung dengan ruang depan,
dan teras kecil. Rumah yang pas untuk kami sekeluarga. Kami beristirahat
sejenak dan membersihkan diri karena sebentar lagi, pukul 17.00, kami akan
mengikuti Misa Natal pertama di Gereja Santo Yusuf, yang lebih dikenal dengan
Gereja Jago.
Gereja Katolik St.
Yusup- Paroki Ambarawa, Jawa Tengah, terletak di Jalan Mgr. Soegijapranata 56, Ambarawa. Gereja Jago, begitu biasanya orang menyebut
gereja ini, pada tahun 2 Agustus 1859 tersebut, bagian tenggara stasi Semarang
mulai dipisah. Berdirilah Gereja Ambarawa yang menjangkau wilayah; Ambarawa,
Salatiga, Solo, Madiun, Pacitan. Pada tahun 1862 sudah ada Jesuit Yohannes F
van der Hagen, SJ yang ditempatkan bertugas di Ambarawa dan Yogyakarta.
Tanggal 1 Oktober 1870, Pastoor J. Lijnen melakukan
peletakkan batu pertama guna mengawali pembangunan gedung gereja St. Yusup di
atas tanah pemberian pemerintah. Menjelang selesainya pembangunan, bulan Mei
1873 gereja yang sudah setengah jadi tiba-tiba roboh. Selanjutnya dilakukan
perbaikan. Tanggal 12 Desember 1875 bangunan gereja tersebut diberkati Pastoor.
J. Lijnen. Tahun 1876 sudah ada Jesuit yang ditempatkan bertugas di Semarang
untuk membantu pastoor diosesan.
Mengapa Gereja St. Yusuf Ambarawa disebut Gereja Jago? Mudah
saja jawabannya: karena di atas atap gereja ini terdapat patung ayam jago yang
menghadap ke timur. Yang menjadi pertanyaan mengapa harus ayam jago, tidak
binatang yang lain?
Ayam jago adalah salah satu simbol dalam Gereja Katolik
dengan makna paling tua dalam sejarah. Kita tahu bahwa kokok ayam jago
menandakan terbitnya matahari. Bisa dibilang, kokok ayam jago MENYAMBUT fajar.
Gelar Kristus yang bangkit adalah Sang Fajar atau Sang Timur (Latin: Oriens).
Secara umum, fajar juga menandakan harapan, harapan bahwa Tuhan akan datang,
saat di mana kegelapan dosa dikalahkan. Dengan demikian, ayam jago, sebagai
hewan yang menyambut fajar, melambangkan umat Allah yang berjaga-jaga dan
menyambut Kristus yang bangkit. Dalam kegelapan, kita bersabar sambil terus
waspada menunggu terbitnya Sang Fajar yang mengalahkan maut.
Selain itu, ayam jago juga mengingatkan kita akan kisah Santo
Petrus yang menyangkal Kristus tiga kali sebelum ayam berkokok. Simbol ayam
jago di atap gereja hendak memperingatkan kita agar kita terus berjaga-jaga
setiap waktu, menjaga iman kita tetap menyala dengan doa dan amal kasih, sebab
kita tidak tahu kapan Sang Fajar akan datang.
Merayakan Natal di tempat perziarahan membawa kesan yang
menarik dan mendalam. Kami sebagai tamu peziarah berkesempatan merayakan Natal
bersama umat Paroki Santo Yusuf Ambarawa pada Misa Raya pukul 17.00 WIB. Misa
Kudus diawali dengan pemberkatan Lilin Natal di depan gereja. Lilin Natal
kemudian diarak ke dalam gereja yang diikuti penyalaan lilin umat. Selama perarakan
dinyanyikan lagu Malam Kudus oleh koor yang bagus diikuti umat sehingga
tercipta suasana agung dan meriah. Dalam misa juga dilangsungkan pembabtisan
umat baru.
Misa berakhir sekitar pukul 19.00. Semua umat membubarkan
diri sambil bersalam-salaman mengucapkan selamat Natal. Kami keluar untuk
menuju ke penginapan kami di Gua Maria Kerep. Menyusur jalanan sepanjang Kota
Ambarawa, hal yang terlihat adalah
gedung-gedung tua peninggalan kolonial Belanda dan etnis Cina. Tak terbayang
berapa tepat usianya, mungkin sudah ratusan tahun.Inilah Ambarawa, kota kecil yang selalu menyisakan sejuta cerita. Bangunan Gereja Jago, yang baru kami tinggalkan, merupakan bangunan megah dengan arsitektur khas Negeri Kincir Angin ini sampai sekarang masih kokoh berdiri. Lekukan relief dan menara yang menjulang jelas-jelas menunjukkan betapa kentalnya nuansa Belanda pada bangunan tersebut. Walau terus berbenah dengan penambahan di sekitarnya, namun bangunan induk itu tetap dipertahankan keasliannya, seolah untuk seratus bahkan hingga seribu tahun mendatang, Gereja Jago akan tetap seperti itu adanya.
Berjalan sedikit agak ke tengah kota, akan kita jumpai SMP Pangudi Luhur. Sekolahan yang dahulu bernama MULO ini masih tampak jelas sentuhan arsitektur Belandanya. Pondasi bebatuan kali yang tampak menonjol agak tinggi, relung jendela dan daun pintunya yang serba besar, masih ditambah lagi dengan adanya sebuah Kapel lengkap dengan menara kecilnya. Semua itu tak lain adalah karya peninggalan jaman kolonial Belanda yang masih kokoh berdiri hingga saat ini.
Ambarawa mulai sepi dari hiruk pikuk harian. Beberapa orang
terlihat berjalan santai menikmati malam di kotanya. Kebanyakan toko-toko sudah
tutup digantikan dengan tenda-tenda penjual makanan malam.
Kami kembali ke penginapan. Sebelumnya kami mampir dulu di
kios makan di komplek Gua Maria Kerep untuk menikmati makan malam kami. Kali
ini menikmati makanan berkuah: mi-bakso, sate ayam, nasi putih, dan teh panas
manis. Perut kenyang, kami menuju ke Gua Maria untuk berdoa dulu sebelum masuk
di penginapan.
Suasana gua temaram karena hari mulai beranjak malam. Saya
mengambil tempat doa di pelataran yang agak jauh dari gua. Saya tidak nyaman
dengan wangi yang menyengat yang berasal dari parfum yang diguyurkan begitu
saja sekitar patung. Bagi saya itu malah membuat tidak konsentrasi berdoa. Saya
juga heran mengapa harus diguyur parfum? Alangkah lebih baik kalau wewangian
itu berasal dari yang alami seperti bunga mawar, melati, kantil, sedap malam,
dll. Malah harumnya lembut dan menyegarkan daripada diguyur parfum. Menurut
saya sesuatu yang berlebihan itu tidak pas. Termasuk wewangian yang terlalu
harum malah membuat pusing.
Tiba di penginapan, hari sudah menunjukkan pukul 23.30. Segera
membersihkan diri untuk menuju tempat tidur. Besok pagi petualangan baru
menanti. (Ch. Enung Martina)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar