Terdengar aneh dan janggal bukan
judul di atas? Memang. Karena biasanya hal yang negatif termasuk iri hati, mendatangkan hal yang buruk. Namun, kali ini
saya mau melihat dari sisi yang lain. Sebetulnya ketika menulis tulisan ini,
saya belum 100% terbebas dari perasaan tersebut. Mari kita melihatnya.
Tuhan selalu bekerja dengan cara yang tak pernah kita duga. Segala
peristiwa yang tak enak, bahkan teramat buruk, tidak bisa kita lewati tanpa
penyertaan-Nya.
Ketika kita mencoba untuk menjadi manusia yang berkualitas, jangan pernah
abaikan peran Tuhan dalam setiap prosesnya. Proses perbaikan diri kadang melibatkan
banyak pihak dan banyak hal. Kita tidak hanya dituntut
untuk untuk mengandalkan diri sendiri, tetapi juga mengandalkan orang lain,
memiliki wawasan yang luas untuk mengimbangi segala perkembangan yang terjadi
di sekitar kita, menjunjung tinggi nilai-nilai hidup, dan jangan lupa juga
meyakini bahwa Tuhan ada untuk memberi petunjuk yang terbaik.
Tuhan tahu pasti apa yang kita butuhkan dan apa yang terbaik bagi kita.
Ketika kita mengalami kegagalan, mungkin saat itu belum saatnya kita berhasil,
atau hal itu bukan yang terbaik bagi kita. Proses penyerahan diri memang bukan
sesuatu yang mudah, bahkan terkadang dalam prosesnya disertai dengan kemarahan.
Dalam peristiwa tertentu saya marah terhadap diri saya yang lalai untuk
melakukan sesuatu. Saya menyalahkan diri saya. Pada peristiwa lain saya
menyalahkan orang lain, dan bahkan saya juga menyalahkan Tuhan. Terkadang saya
merasakan bahwa hidup ini begitu tak adil. (Memang siapa bilang bahwa hidup itu
adil?) Ada banyak pertanyaan sekaligus keraguan dalam diri saya. Lantas seorang
teman pernah berkata bahwa hidup bukan untuk dipertanyakan tetapi untuk
dijalani. Benar juga sih, tetapi sekali-sekali bertanya boleh kan?
Peristiwa tertentu saya begitu iri hati terhadap orang lain. Keirihatian
saya terutama bila teman saya dulu, atau sahabat saya dulu, atau mantan pacar
saya dulu, ternyata hidupnya lebih sukses (menurut anggapan dan penglihatan
saya) daripada saya. Lantas saya berkata
dalam hati: kurang ajar dia! Kenapa dia lebih berhasil daripada saya? Kemudian
saya merasa panas hati, gerah, dan rasanya ingin menunjukkan kehebatan dan
kelebihan saya juga di depan hidung dia. Biar dia nyaho!
Astaga, gelombang perasaan negatif itu menguasai saya! Saya seolah
terpanggang di dalam gelombang api keirihatian. Perasaan tersebut tidak enak,
membuat saya tidak tenang, dan tidak bahagia.
Lantas pikiran waras saya datang lagi. Untuk apa iri hati? Memangnya
keberhasilan mereka itu membuat mereka bahagia juga. Belum tentu bukan? Mending
kamu sekarang, punya suami yang baik, punya anak tiga , punya.... ini.... punya
itu.... Lantas perasaan iri hati saya muncul lagi, tapi saya tidak punya
ini.... tidak punya anu....tidak punya.....
Stop! Rugi bener saya. Yang berhasil mereka, sementara saya tertekan dengan
perasaan iri hati saya dan emosi negatif itu berhasil membakar saya dengan
berbagai dampaknya. Eit, tunggu dulu! Ingat,
bukan mereka atau keberhasilan mereka yang membuat saya berperasaan negatif.
Kalau begitu siapa dong? Sayalah jawaban yang paling tepat. Mengapa? Saya yang
membuat mereka atau keberhasilan mereka menjadi masalah bagi diri saya. Saya
yang mendramatisir dan mengumbar perasaan saya. Mereka biasa-biasa saja (mungkin).
Saya yang menyediakan diri untuk terbakar emosi negatif.
OK, baiklah kalau begitu, saya akan memutuskan untuk tidak akan mengumbar
keirihatian saya. Saya adalah pribadi yang bebas untuk memutuskan apakah saya
terpengaruh atau tidak. Saya akan menyatakan dengan tegas bahwa saya yang
sekarang ini terwujud dari masa lalu
saya dan mengada pada kekinian saya,
serta akan menjadi pada masa depan
saya, saya nyatakan bahwa saya menjadi pribadi bebas!
Pribadi bebas adalah
pribadi yang bebas menentukan dirinya berbahagia untuk segala situasi. Ada
seseorang mengatakan bahwa kebebasan itu mempunyai dasar, tetapi dia tidak
mempunyai plafon. Kebebasan tiap orang berbeda plafonnya. Ada yang berplafon
rendah, ada pula yang plafonnya tinggi.
Yang berplafon tinggi pastinya akan mempunyai perasaan yang lebih lega dan
bahagia untuk keaadaan yang sulit sekali pun. Namun, kebalikannya yang
berplafon rendah. Ada masalah sedikit saja hidupnya sudah terasa hancur dan
merasa hidupnya paling menderita. Bahkan bagi orang yang berplafon tinggi satu
hal tidak menjadi masalah, bagi orang yang berplafon rendah bisa menjadi
masalah besar.
Saya adalah manusia
bebas. Maka, saya memutuskan untuk hidup berbahagia
dengan apa yang saya miliki: orang-orang yang saya cintai (suami yang
baik, tiga buah hati, dan orang –
orang yang menjadi bagian dalam hidup
saya.) So what gitu lho kalau saya
bahagia tanpa embel-embel ini itu (harta dan jabatan). Bahagia itu adalah hak dan takdir!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar