Minggu, 11 Februari 2018

RASA KAGUM

Kekaguman

Bila dilihat dari bentuk katanya ’kekaguman’ termasuk kata jadian yang disebut kata berimbuhan. Kata ini berasal dari kata dasar ’kagum’. Menurut kamus ’kagum’ artinya heran (dengan rasa memuji), takjub, tercengang. Kata ’kekaguman’ artinya perasaan kagum, ketakjuban, dan keheranan.Selainitu, kagum bermakna rasa yang timbul setelah rasa suka, kagum bias saja disebut dengan rasa suka yang berlanjut sehingga akan bertahan lama. Kagum biasanya hanya pada 1 atau beberapa hal misalnya kagum pada seorang tokoh, karena kepandaiannya; kagum dengan artis, karena ketampanan dan kecantikannya atau yang sejenisnya.

Dalam kehidupan kita, kita sering mengalami rasa kagum. Misalnya, saya sendiri kagum terhadap hal yang indah-indah, yang nyeni, yang cantik, yang ngganteng, yang menyentuh nubari, dll. Saya mengagumi beberapa tokoh yang menurut saya mereka itu hebat karena saya tidak bisa seperti mereka. Saya mengagumi tokoh yang ternama di dunia sampai akhirat, juga yang tidak ternama. Kekaguman saya kepada mereka karena saya tidak memiliki apa yang mereka miliki. Misalnya saya mengagumi para penulis seperti Khalil Gibran, Paulo Coelho, Andera Hirata, Dewi Lestari, dll karena karya mereka yang menginsipari. Saya juga kagum pada tokoh Kitab Suci seperti Yesus, Abraham, Nuh, Ayub, Esther, dll. Saya juga kagum pada Presiden pertama Indonesia, Soekarno juga saya kagumkepadasalahsatutokohJawa, MbahMarijan.

Kekaguman pada seseorang membuat kita bersemangat karena kita terinspirasi pada cara hidup mereka atau keberhasilan mereka. Kekaguman tidak semata karena ganteng dan cantik secara fisik saja. Namun, juga hal yang sifatnya rohani.Bila kita mengingat orang yang kita kagumi kita jadi ingin juga ketularan kehebatan mereka.

Pada suatu liburan Lebaran dua tahun  lalu,  ketika gema takbir berkumandang, saya duduk berdua  dengan adik ipar saya di beranda sebuah pondok di tepi pantai sambil mendengarkan deburan ombak di laut lepas. Malam itu kami duduk-duduk berdua saja sementara anak-anak dan para suami sibuk bermain kartu. Ipar saya bercurhat ria tentang banyak hal. Salah satunya tentang rasa kagum dan hormat yang berubah menjadi tidak simpatik dan cenderung meremehkan. Apa pasalnya?

Ada seseorang yang layak dihormati dan dikagumi karena ia tokoh masyarakat. Namun, dalam perjalanan waktu ipar saya jadi tahu belangnya tokoh ini. Rupanya sepak terjangnya dia  selama ini ternyata menyembunyikan ’kebobrokan’ tokoh kita ini. Ipar saya kecewa karena yang layak dikagumi ini ternyata... layak juga dicaci. Pokoknya malam itu kartu tokoh kita ini terbuka di hadapan saya. Saya juga kaget awalnya meskipun tokoh ini bukan tokoh yang saya kagumi. Saya kenal baik dengan tokoh kita ini, tetapi apa yang diceritakan oleh adik ipar saya, di luar dugaan saya.  Saya benar-benar kaget dengan cerita ipar saya itu.  Tidak sangka ya...begitulah hidup penuh dengan misterinya.

Cerita seperti yang adik ipar saya bagikan, dalam kehidupan kita sering kita temukan. Dari para tokoh yang dianggap panutan, tahu-tahu ada kabar di media bahwa tokoh ini melakukan perbuatan yang tak kita sangka seperti itu.

Namun, saya tidak akan berkisah tentang tokoh kita di atas karena itu bukan urusan saya juga bukan urusan pembaca. Urusan saya sekarang berbicara tentang kekaguman. Kekaguman memang bisa saja berakhir dengan kebencian bila ternyata tokoh yang kita kagumi menunjukkan sisi kelemahannya apalagi kalau kelemahan itu selama ini tidak muncul. Selama ini kita mengagumi tokoh  karena kelebihannya. Bahkan mungkin tokoh yang dikagumi ini kehilangan banyak pengikut. Bisa juga berdampak pada usaha dan bisnisnya yang tidak segemilang dulu.

Mengagumi juga ternyata ada seninya, ada kaidahnya. Kalau kita mengagumi secara buta, akhirnya akan berakhir dengan kecewa. Saya mengagumi laki-laki yang menjadi pacar saya karena dia bla-bla-bla... sesuai dengan harapan saya. Begitu saya tahu ternyata laki-laki tadi menampilkan hal yang berlawanan dengan harapan saya, kekaguman saya pun pudar.

Mengagumi juga harus dewasa. Ketika kita mengagumi seseorang kita juga sudah harus tahu bahwa orang itu tidak sempurna. Saya mengagumi Ir. Soekarno (presiden RI pertama) karena pemikirannya, gagasan, dan pandangannya. Sisi lain juga saya tidak suka dan tidak setuju dengan tokoh saya ini karena dia doyan kawin. Dia orang yang berpoligami. Perempuan mana yang mendukung poligami? Kecuali beberapa perempuan yang ususnya sangat panjang.

Kekaguman jangan membabi buta karena akan berakhir dengan kecewa bahkan kebencian. Kekaguman juga berarti kita melihat sisi lemah dari tokoh yang kita kagumi. Kehebatan tokoh ini yang membuat saya terinspirasi, tetapi kelemahannya juga membuat saya bercermin tentang arti kesempurnaan dan ketidaksempurnaan. Kelemahan tokoh yang saya kagumi adalah bagian dari kemanusiaannya yang sangat normal. Bahkan, saya melihat kelemahan tokoh yang saya kagumi ini membuat dia utuh sebagai manusia.

Yang penting dari kekaguman kita pada seseorang, jangan hanya berhenti pada sekadar rasa kagum saja. Namun, apa dampaknya bagi saya untuk membawa pada kemajuan kehidupan saya. Semangatnya dan karakternya bisa dijadikan teladan saya untuk saya menjadi lebih baik dan lebih maju. Demikian pula, kala saya melihat kelemahan dari tokoh yang saya kagumi, hal ini bisa menjadai cermin untuk saya. Untuk merefleksikan hidup saya yang juga mempunyai kelemahan.

Saya akan tetap mengagumi tokoh-tokoh nyata atau tak nyata dalam hidup saya karena mengagumi itu sebuah hak. Saya mengambil  pelajaran-pelajaran hidup dari tokoh yang saya kagumi, jangan hanya semata-mata karena keren, ganteng, cantiknya,  atau kaya saja. Belajarlah dari tokoh yang kita kagumi tentang makna kasih yang ia lakoni dan daya juang yang ia miliki, serta cara dia menghadapi masa-masa gelap dalam hidupnya. Saya tahu bahwa saya tidak boleh  mendewakan tokoh yang saya kagumi, kecuali pada tokoh dunia-akhirat bagi hidup saya, Yesus, yang bagi saya adalah sang Juru Selamat. Siapakah tokoh yang Anda kagumi?
(Ch. Enung Martina)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar