Kekaguman
Bila dilihat dari bentuk katanya ’kekaguman’
termasuk kata jadian yang disebut kata berimbuhan. Kata ini berasal dari kata dasar
’kagum’. Menurut kamus
’kagum’ artinya heran
(dengan rasa memuji), takjub, tercengang. Kata ’kekaguman’ artinya perasaan kagum, ketakjuban, dan keheranan.Selainitu,
kagum bermakna
rasa yang timbul setelah
rasa suka, kagum bias saja disebut dengan rasa suka yang
berlanjut sehingga akan bertahan lama. Kagum biasanya hanya pada 1 atau beberapa hal misalnya kagum pada seorang tokoh, karena kepandaiannya; kagum dengan artis, karena ketampanan dan kecantikannya atau yang sejenisnya.
Dalam kehidupan kita, kita sering
mengalami rasa kagum. Misalnya, saya sendiri kagum terhadap hal yang
indah-indah, yang nyeni, yang cantik,
yang ngganteng, yang menyentuh
nubari, dll. Saya mengagumi beberapa tokoh yang menurut saya mereka itu hebat
karena saya tidak bisa seperti mereka. Saya mengagumi tokoh yang ternama di
dunia sampai akhirat, juga yang tidak ternama. Kekaguman saya kepada mereka
karena saya tidak memiliki apa yang mereka miliki. Misalnya saya mengagumi para
penulis seperti Khalil Gibran, Paulo Coelho, Andera Hirata, Dewi Lestari, dll
karena karya mereka yang menginsipari. Saya juga kagum pada tokoh Kitab Suci
seperti Yesus, Abraham, Nuh, Ayub, Esther, dll. Saya juga kagum
pada Presiden pertama Indonesia, Soekarno juga saya
kagumkepadasalahsatutokohJawa, MbahMarijan.
Kekaguman pada seseorang membuat kita bersemangat karena kita terinspirasi
pada cara hidup mereka atau keberhasilan mereka. Kekaguman tidak semata karena
ganteng dan cantik secara fisik saja. Namun, juga hal yang sifatnya rohani.Bila
kita mengingat orang yang kita kagumi kita jadi ingin juga ketularan kehebatan
mereka.
Pada suatu liburan Lebaran dua tahun
lalu, ketika gema takbir berkumandang, saya duduk
berdua dengan adik ipar saya di beranda
sebuah pondok di tepi pantai sambil mendengarkan deburan ombak di laut lepas.
Malam itu kami duduk-duduk berdua saja sementara anak-anak dan para suami sibuk
bermain kartu. Ipar saya bercurhat ria tentang banyak hal. Salah satunya
tentang rasa kagum dan hormat yang berubah menjadi tidak simpatik dan cenderung
meremehkan. Apa pasalnya?
Ada seseorang yang layak dihormati dan dikagumi karena ia tokoh masyarakat.
Namun, dalam perjalanan waktu ipar saya jadi tahu belangnya tokoh ini. Rupanya
sepak terjangnya dia selama ini ternyata
menyembunyikan ’kebobrokan’ tokoh kita ini. Ipar saya kecewa karena yang layak
dikagumi ini ternyata... layak juga dicaci. Pokoknya malam itu kartu tokoh kita
ini terbuka di hadapan saya. Saya juga kaget awalnya meskipun tokoh ini bukan
tokoh yang saya kagumi. Saya kenal baik dengan tokoh kita ini, tetapi apa yang
diceritakan oleh adik ipar saya, di luar dugaan saya. Saya benar-benar kaget dengan cerita ipar
saya itu. Tidak sangka ya...begitulah
hidup penuh dengan misterinya.
Cerita seperti yang adik ipar saya bagikan, dalam kehidupan kita sering
kita temukan. Dari para tokoh yang dianggap panutan, tahu-tahu ada kabar di
media bahwa tokoh ini melakukan perbuatan yang tak kita sangka seperti itu.
Namun, saya tidak akan berkisah tentang
tokoh kita di atas karena itu bukan urusan saya juga bukan urusan pembaca.
Urusan saya sekarang berbicara tentang kekaguman. Kekaguman memang bisa saja
berakhir dengan kebencian bila ternyata tokoh yang kita kagumi menunjukkan sisi
kelemahannya apalagi kalau kelemahan itu selama ini tidak muncul. Selama ini
kita mengagumi tokoh karena
kelebihannya. Bahkan mungkin tokoh yang dikagumi ini kehilangan banyak
pengikut. Bisa juga berdampak pada usaha dan bisnisnya yang tidak segemilang
dulu.
Mengagumi juga ternyata ada seninya, ada kaidahnya. Kalau kita mengagumi secara buta, akhirnya akan berakhir
dengan kecewa. Saya mengagumi laki-laki yang menjadi pacar saya karena dia bla-bla-bla... sesuai dengan harapan
saya. Begitu saya tahu ternyata laki-laki tadi menampilkan hal yang berlawanan
dengan harapan saya, kekaguman saya pun pudar.
Mengagumi juga harus dewasa. Ketika kita mengagumi seseorang kita juga
sudah harus tahu bahwa orang itu tidak sempurna. Saya mengagumi Ir. Soekarno
(presiden RI pertama) karena pemikirannya, gagasan, dan pandangannya. Sisi lain
juga saya tidak suka dan tidak setuju dengan tokoh saya ini karena dia doyan kawin. Dia orang yang berpoligami.
Perempuan mana yang mendukung poligami? Kecuali beberapa perempuan yang ususnya sangat panjang.
Kekaguman jangan membabi buta karena akan berakhir dengan kecewa bahkan
kebencian. Kekaguman juga berarti kita melihat sisi lemah dari tokoh yang kita
kagumi. Kehebatan tokoh ini yang membuat saya terinspirasi, tetapi kelemahannya
juga membuat saya bercermin tentang arti kesempurnaan dan ketidaksempurnaan.
Kelemahan tokoh yang saya kagumi adalah bagian dari kemanusiaannya yang sangat
normal. Bahkan, saya melihat kelemahan tokoh yang saya kagumi ini membuat dia utuh
sebagai manusia.
Yang penting dari kekaguman kita pada seseorang, jangan hanya berhenti pada
sekadar rasa kagum saja. Namun, apa dampaknya bagi saya untuk membawa pada
kemajuan kehidupan saya. Semangatnya dan karakternya bisa dijadikan teladan
saya untuk saya menjadi lebih baik dan lebih maju. Demikian pula, kala saya
melihat kelemahan dari tokoh yang saya kagumi, hal ini bisa menjadai cermin
untuk saya. Untuk merefleksikan hidup saya yang juga mempunyai kelemahan.
Saya akan tetap mengagumi tokoh-tokoh nyata atau tak nyata dalam hidup saya
karena mengagumi itu sebuah hak. Saya mengambil pelajaran-pelajaran hidup dari tokoh yang saya
kagumi, jangan hanya semata-mata karena keren, ganteng, cantiknya, atau kaya saja. Belajarlah dari tokoh yang
kita kagumi tentang makna kasih yang ia lakoni dan daya juang yang ia miliki,
serta cara dia menghadapi masa-masa gelap dalam hidupnya. Saya tahu bahwa saya
tidak boleh mendewakan tokoh yang saya
kagumi, kecuali pada tokoh dunia-akhirat bagi hidup saya, Yesus, yang bagi saya
adalah sang Juru Selamat. Siapakah tokoh yang Anda kagumi?
(Ch. Enung Martina)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar