Kembali mengajar setelah
libur lama tentunya mempunyai situasinya tersendiri. Apalagi sebelum liburan,
tepatnya di pengujung tahun pelajaran 2018-2019, goro-goro terjadi. Goro-goro
ini menyangkut pribadi saya secara khusus dan secara umum pengajar SMP. Luar
biasaaaaah!!!!
Hal ini mempengaruhi
perasaan dan hati saya. Meskipun begitu, ternyata saya mampu melaluinya dengan
elegan.
Ada beberapa orang
berbicara dan berbisik secara pribadi tentang persitiwa tragis akhir tahun tersebut.
Ada banyak pesan japri melalui WA. Isi
dari semua yang berbisik secara pribadi pada umumnya berbicara tentang pendapat
dan pengalaman mereka berkaitan dengan kejadian tersebut. Juga menyampaikan
penguatan kepada saya.
Akhirnya saya menjadi
mendapat kejelasan tentang banyak hal yang dialami oleh beberapa teman
menyangkut hal ini. Saya merasa semakin dikuatkan bahwa nurani saya yang
beberapa waktu yang lalu saya sangkal ternyata memang benar. Penyangkalannya
membuat saya melintir sakit perut karena asam lambung saya naik. Tubuh memang
tak bisa dibohongi.
Serta merta saya mempunyai
pandangan tentang setiap orang yang saya temui dalam komunitas saya di tempat
saya bekerja. Berbagai macam pribadi saya jumpai. Saat tertentu penilaian saya
terhadap seorang pribadi bisa saja berubah pada kala lain. Semua tergantung
pada sentuhan pengalaman pribadi saya dengan pribadi orang tersebut.
Saya mengalami perubahan
relasi dengan seorang pribadi yang awalnya kualitas relasi saya biasa-biasa
saja. Namun, dalam perkembangannya menjadi tidak biasa saja karena ternyata
pribadi itu adalah adik kandung dari teman seangkatan saya di perguruan tinggi.
Saya baru tahu saat liburan panjang ini. Ketika saya tahu, saya makin akrab.
Yang dahulu memanggil saya formal dengan sebutan Ibu Nung, sekarang dia
memanggil saya Ua Nung (untuk memberikan contoh pada anaknya cara memanggil
saya). Panggilan Ua menandakan panggilan kekeluargaan dalam silsilah keluarga
Sunda. Artinya sama dengan budhe, mama tua, tante. Pribadi itu menganggap saya
bukan lagi sekedar hubungan selewat, tetapi menganggap saya kakak perempuannya.
Kebalikannya, ada hubungan
yang dahulu kualitasnya sangat tinggi, sekarang menjadi biasa saja. Saya
awalnya mengagumi teman saya yang sangat komit dan total dalam bekerja.
Kinerjanya luar biasa. Datang pagi pulang petang. Pokoknya saya mengagumi
komitmen dia dalam bekerja. Saya mah tak
ada apa-apanya jika dibandingkan dengan dia dalam hal kinerja. Namun, kekaguman saya bisa berubah
menjadi menyangsikan karena totalitas yang dia lakukan ternyata untuk melarikan
diri dari tanggung jawab utamanya sebagai seorang ibu. Ternyata nilai-nilai
pribadinya sangat dangkal berkaitan dengan kejujuran, daya juang, dan
pendidikan anak. Ternyata teman yang saya kagumi tersebut seorang yang penakut,
suka melarikan diri, integritasnya rendah kalau berkaitan dengan harga dirinya.
Ternyata dia seorang penakut dan gengsinya sangat tinggi. Demi gengsinya dia
bersedia mengorbankan orang lain. Ternyata dia seorang yang suka menihilkan
kebaikan orang lain dan meniadakan jasa orang lain demi mencari pembenaran
sendiri. Ternyata dia bisa menggunakan cara ‘melankolis’ untuk mengancam atasan
agar semua keinginannya tercapai. Ternyata orang ini sangat tidak mempunyai
belas kasih terhadap siapa pun. Ternyata dia tak mempunyai rasa penyesalan
sedikit pun akan apa yang dia sudah lakukan terhadap orang lain. Ternyata
Selama bekerja dia hanya mengejar nama baik untuk mengibarkan namanya
tanpa mempedulikan bahwa ada orang lain
yang dikorbankan, bahkan anak kandungnya. Selama ini sama sekali tak kelihatan.
Yang nampak dia adalah pribadi yang disiplin, setia, pekerja keras, rapi,
sempurna, teliti, tak pernah salah, dan sangat bertanggung jawab.
Rupanya itu semua kamuflase.
Segala yang saya kagumi dari sosok ini, dalam seketika musnah tak berbekas.
Saya hanya melihat dengan mata nanar dan berkata: O, rupanya dia seperti itu. Apakah
tersisa rasa benci pada pribadi ini? Awalnya saya melihat sepertinya saya
membenci dia. Namun, ketika saya mengkonfirmasi hati saya dalam meditasi,
ternyata saya tidak membencinya. Namun, saya kecewa karena harapan saya tidak
terpenuhi pada pribadi ini. Bayangan yang semula muluk-muluk terhadap pribadi
ini, ternyata plekenyi tak terjadi. Harapan saya pribadi, teman saya
ini akan memiliki integritas tinggi: nyambung antara omongannya yang sangat
edukatif dan penuh nilai hidup dengan tindakannya. Ternyata harapan saya tidak
terpenuhi. Pribadi ini rupanya rapuh tak sekuat yang saya bayangkan. Ya, benar,
saya kecewa karena horizon harapan saya tak terpenuhi dari pribadi yang selama
ini saya kagumi.
Saya merasa jengkel menuju
pada kasihan. Akhirnya lama-lama dengan berjalannya waktu dan proses
rekonsiliasi pada diri saya, perasaan
saya flat, datar saja, netral tak ada
perasaan yang mendominasi pada dia. Hanya diri saya memutuskan untuk tidak
terlalu intens berhubungan dengan dia. Ada semacam ‘ warning’ untuk menjaga
jarak, untuk hanya seperlunya saja. Karena tak ada faedahnya.
Itulah kekaguman pada
tokoh manusia terkadang mengecewakan. Dengan bertambahnya kesadaran dan
kemampuan saya mencerna peristiwa, maka saya melihat pribadi ini dengan sangat
netral. Saya tetap berkomunikasi dengan dia. Menyapa, tersenyum, bercanda
sekadar yang diperlukan sesuai situasinya.
Beberpa teman bertanya
apakah pribadi ini sempat berbicara dan meminta maaf pada saya untuk goro-goro
di akhir tahun pelajaran? Saya mengatakan tidak pernah. Bagi saya itu pun tak
penting. Hal ini malah menguatkan penilaian saya akan pribadi ini. Jadi, saya berda
di jalur yang benar untuk melihat segalanya netral dan objektif. Dalam
kehidupan semuanya tak abadi. Semuanya berubah, tak ada yang sama. Hanya iman,
harapan, dan kasih yang mampu mencerna semua yang terjadi. Dan lebih daripada
itu, kasihlah di atas segala-galanya. (Ch. Enung Martina)